Oleh: Mujianto
Penghargaan pemerintah terhadap eksintensi santri tampaknya terus dilakukan. Setelah penetapan 22
oktober dalam keputusan presiden nomor 22 tahun 2015, sebagai Hari Santri Nasional, beberapa minggu yang lalu ditetapkan pula Undang-Undang Pesantren.
Hal ini membuat santri dan institusi pesantren menjadi naik kelas serta dipandang
setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya
Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan kaum santri dan kiai. Sejarah membuktikan, tanpa negara memanggil pun para santri yang dikenal
dengan kaum sarungan telah terpanggil bersama dengan pejuang lainnya
bahu-membahu bercucuran keringat, darah, air mata, dan doa merebut kembali
kedaulatan negara Republik Indonesia dari penjajah.
Hari Santri merupakan sebuah hari untuk memperingati peran besar kaum
kiai dan santri dalam perjuangannya melawan penjajah, yang bertepatan dengan
resolusi jihad dari mbah KH. Hasyim pada tanggal 22 Oktober 1945. Yang
sebelumnya Presiden Jokowi berpendapat pada tanggal 1 Muharram sebagai Hari
Santri Nasional.
Mereka yang ikut berjuang dan mempunyai peran dalam menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain KH. Hasyim Asy’ari
yang merupakan salah satu tokoh pendiri Nahdatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan pendiri
Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad, dan Abdul
Rahman dari Matlaul Anwar.
Belum lagi para perwira atau prajurit Pembela Tanah Air yang
ternyata banyak berasal dari kalangan santri. Santri yang kerap dikenal berkutat seputar urusan agama, ternyata mau ikut berperang, berjuang bersama-sama melawan penjajah. Sehingga perjuangan para santri
harus diperingati menjadi salah satu Hari Besar di Indonesia, walaupun tidak menjadi hari libur.
Tantangan untuk Santri
Santri kadang dalam mindset banyak orang adalah anti teknologi, gagap informasi
dan ketinggalan zaman. Santri harus bisa membuktikan, bahwa pandangan
seperti itu tidaklah benar. Santri zaman sekarang cakap berinternet, dan luas dalam berwawasan, namun tetap dalam koridor seorang santri, yaitu santun dan
berakhlakul karimah.
Di era digital
saat ini banyak orang terprovokasi oleh informasi yang masih belum bisa
dibuktikan kebenarannya. Siapapun kalau tidak berhati-hati mengakses informasi
internet bisa saja termakan oleh informasi hoax, akhirnya berdebat sengit dan
berujung saling membenci dengan orang yang tidak sepaham dengannya.
Seorang santri selain harus bisa membaca kritis sebagai bagian dari literasi, juga harus bisa memanfaatkan media digital untuk mempublikasikan
dakwah-dakwah positif.
Kita bersyukur
sudah bermunculan konten kajian-kajian keislaman dari santri dan kiai di
youtube, facebook dan instagram yang semuanya itu bisa menjadi penghadang bagi
ajaran dan aliran-aliran yang sudah dilarang di negeri ini.
Sebagai penutup
tulisan sederhana ini, mari kita belajar dari makna kata ‘santri’, yang sudah
populer di kalangan santri. Kata ‘santri’ ditulis dalam bahasa Arab terdiri
dari lima huruf yaitu sin, nun, ta, ra, dan ya. Huruf yang pertama adalah huruf Sin singkatan dari Safiqul khairi (pelopor
kebaikan). Dimanapun berada santri harus bisa menjadi pelopor dalam kebaikan.
Huruf yang kedua adalah Nun singkatan
dari Nasibul ulama (penerus ulama). Seorang santri memiliki ikatan emosional
dengan kiai sangat mengkristal. Seorang kiai ingin ada kaderisasi yang bisa
meneruskan perjuangannya. Huruf yang ketiga adalah huruf Ta’, singkatan dari
Tarikul Ma’ashi (meninggalkan maksiat). Kaum santri senantiasa menjauhi
kemaksiatan. Huruf yang keempat adalah Ra’, singkatan dari Radhiyallahu (Ridha Allah). Kaum santri menomorsatukan
kebaikan dalam rangka mencari ridha Allah Swt.
Huruf yang terakhir adalah Ya’, akronim dari Yaqin (yakin atau optimis). Santri harus selalu optimis
menjalani hidup dan mengharap keselamatan di dunia, lebih-lebih di akhirat. Wallahu
a’lam. Bersama Santri Damailah Negeri! Semoga bermanfaat!