Senin, 21 Oktober 2019

Santri dalam Bingkai Sejarah dan Tantangan di Era Digital



Oleh: Mujianto


Penghargaan pemerintah terhadap eksintensi santri tampaknya terus dilakukan. Setelah penetapan  22 oktober dalam keputusan presiden nomor 22 tahun 2015, sebagai Hari Santri Nasional, beberapa minggu yang lalu ditetapkan pula Undang-Undang Pesantren. Hal ini membuat santri dan institusi pesantren menjadi naik kelas serta dipandang setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya

Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan kaum santri dan kiai. Sejarah membuktikan, tanpa negara memanggil pun para santri yang dikenal dengan kaum sarungan telah terpanggil bersama dengan pejuang lainnya bahu-membahu bercucuran keringat, darah, air mata, dan doa merebut kembali kedaulatan negara Republik Indonesia dari penjajah.

Hari Santri merupakan sebuah hari untuk memperingati peran besar kaum kiai dan santri dalam perjuangannya melawan penjajah, yang bertepatan dengan resolusi jihad dari mbah KH. Hasyim pada tanggal 22 Oktober 1945. Yang sebelumnya Presiden Jokowi berpendapat pada tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.

Mereka yang ikut berjuang dan mempunyai peran dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh pendiri Nahdatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad, dan Abdul Rahman dari Matlaul Anwar.

Belum lagi para perwira atau prajurit Pembela Tanah Air yang ternyata banyak berasal dari kalangan santri. Santri yang kerap dikenal berkutat seputar urusan agama, ternyata mau ikut berperang, berjuang bersama-sama melawan penjajah. Sehingga perjuangan para santri harus diperingati menjadi salah satu Hari Besar di Indonesia, walaupun tidak menjadi hari libur.

Tantangan untuk Santri

            Santri kadang dalam mindset  banyak orang adalah anti teknologi, gagap informasi dan ketinggalan zaman. Santri harus bisa membuktikan, bahwa pandangan seperti itu tidaklah benar. Santri zaman sekarang cakap berinternet, dan luas dalam berwawasan, namun tetap dalam koridor seorang santri, yaitu santun dan berakhlakul karimah.

            Di era digital saat ini banyak orang terprovokasi oleh informasi yang masih belum bisa dibuktikan kebenarannya. Siapapun kalau tidak berhati-hati mengakses informasi internet bisa saja termakan oleh informasi hoax, akhirnya berdebat sengit dan berujung saling membenci dengan orang yang tidak sepaham dengannya.

            Seorang santri selain harus bisa membaca kritis sebagai bagian dari literasi, juga  harus bisa memanfaatkan media digital untuk mempublikasikan dakwah-dakwah positif.

            Kita bersyukur sudah bermunculan konten kajian-kajian keislaman dari santri dan kiai di youtube, facebook dan instagram yang semuanya itu bisa menjadi penghadang bagi ajaran dan aliran-aliran yang sudah dilarang di negeri ini.

            Sebagai penutup tulisan sederhana ini, mari kita belajar dari makna kata ‘santri’, yang sudah populer di kalangan santri. Kata ‘santri’ ditulis dalam bahasa Arab terdiri dari lima huruf yaitu sin, nun, ta, ra, dan ya. Huruf  yang pertama adalah huruf  Sin singkatan dari Safiqul khairi (pelopor kebaikan). Dimanapun berada santri harus bisa menjadi pelopor dalam kebaikan.

Huruf  yang kedua adalah Nun singkatan dari Nasibul ulama (penerus ulama). Seorang santri memiliki ikatan emosional dengan kiai sangat mengkristal. Seorang kiai ingin ada kaderisasi yang bisa meneruskan perjuangannya. Huruf yang ketiga adalah huruf Ta’, singkatan dari Tarikul Ma’ashi (meninggalkan maksiat). Kaum santri senantiasa menjauhi kemaksiatan. Huruf yang keempat adalah Ra’, singkatan dari Radhiyallahu  (Ridha Allah). Kaum santri menomorsatukan kebaikan dalam rangka mencari ridha Allah Swt.

Huruf yang terakhir adalah Ya’, akronim dari Yaqin  (yakin atau optimis). Santri harus selalu optimis menjalani hidup dan mengharap keselamatan di dunia, lebih-lebih di akhirat. Wallahu a’lam. Bersama Santri Damailah Negeri! Semoga bermanfaat!