Senin, 10 Juni 2024

Benarkah Akhlak Lebih Tinggi dari Ilmu?

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

            Banyak quotes atau kata mutiara yang dikemas dalam poster tersebar di medsos yang isinya membandingkan posisi ilmu dan akhlak. Juga nitizen yang ikut menanggapi sebuah unggahan video di medsos dengan ungkapan yang sama tentang perangai seseorang yang dilihatnya tidak baik. Lalu berkomentar, kurang lebih seperti ini, “Akhlak lebih tinggi dari Ilmu.”

Penulis tertarik membuat catatan. Karena perlu dipahami secara mendalam dulu. Apa itu akhlak? Apakah akhlak tidak bagian dari suatu ilmu? Apakah orang yang berakhlak tidak membutuhkan ilmunya ? Lalu, apakah akhlak hanya diartikan sebatas sopan dan santun? Dengan demikian, posisi ilmu ada dimana? Hal ini, menarik sekali untuk dibincangkan.

Akhlak yang sudah kita ketahui, terbagi menjadi dua. Akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak madzmumah (tercela). Akhlak terpuji cakupannya begitu luas, di antaranya meliputi sifat jujur, amanah, adil, dermawan, gigih, bijaksana, rela berkorban, sopan, santun, dll. Menurut Prof. Dr. M. Zainuddin, MA., guru besar bidang Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim, “Output pendidikan tercermin dari akhlak seseorang. Kata akhlak di sini sering diartikan secara sempit. Orang-orang memahami akhlak sebatas sopan santun. Padahal, akhlak karimah itu mencakup berbagai kebajikan.”

Akhlak Tidak Sebatas Sopan dan Santun

            Pasti kita semua punya sosok idola. Kita mengidolakan sosok tersebut salah satunya karena kesantunan dan kesopanannya. Bisa sosok kepala daerah, seorang ustaz atau bahkan artis. Kita sering melihat di layar kaca atau secara langsung dalam suatu kesempatan. Mungkin ada yang sangat berlebihan mengagumi idolanya, hingga mengabaikan bahkan menjatuhkan sosok lain karena dianggap “tidak lebih” dari sosok idolanya.  

Namun, beberapa waktu kemudian, kita pun dibuat tercengang. Yang kita idolakan itu, yang tampak santun itu, yang lembut tutur katannya itu, ternyata masuk jeruji besi, ada yang terbukti korupsi, kekerasan, menipu banyak orang dsb. Kita pun dibuat kecewa. Tidak mengira. Ternyata kesantunannya selama ini, hanya sebagai kedok atas kejahatan dan kepentingannya pribadi. Kita pun melihat sang idola di layar kaca masih tampak santun, wajah menunduk dengan tangan terborgol dan memakai baju tahanan.

Pertanyaannya, sebagai intropeksi, bolehkah kita menyalahkan diri sendiri sebagai muhasabah? Jawabannya sangat boleh. Bahkan harus. Karena dengan pemahaman sempit kita tentang makna sebuah akhlak, kita merendahkan atau su’udzon kepada sosok-sosok lain yang tidak sebanding dengan idola kita itu.

Akhlak Melekat pada Tanggung Jawab

Akhlak melekat pada tanggung jawab seseorang. Mungkin dari kita pernah dinasihati dengan suara tegas atau bahkan “dipukul” oleh ayah kita, karena tidak salat. Apakah kita menganggap ayah kita tidak berakhlak? Tentu, kita tidak berani menganggap seperti itu. Karena memang ilmu dan tanggung jawabnnya seperti itu. Orang tua menasihati anaknya dengan nada tegas karena sebelumnya dengan nada lirih tidak digubris. Dan orang tua boleh “memukul” anaknya yang tidak salat ketika tiba usia 10 tahun.

Setiap individu manusia yang masih hidup di dunia mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. Allah Swt. menyebut kita semua adalah khalifah fil-ard. (pemimpin di muka bumi). Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka dari itu setiap pemimpin dalam menjalankan perannya harus berdasarkan ilmu. Dengan ilmu itu, kita akan berhasil dalam menjalankan peran kita dan siap mempertanggunjawabkan di hadapan Allah Swt.

Barometer seseorang dikatakan berakhlak bisa dilihat dari kesungguhan dalam menjalankan tanggung jawabnya, karena orang sukses yang sebenarnya dalam menjalankan perannya pasti dibarengi dengan ilmu. Dan di dalam ilmu itu ada bagian mengajarkan tatanan akhlak yang baik.

Kita ambil salah satu contoh, yaitu peran guru. Siapa pun yang menjalankan peran guru, jika mau sukses yang sebenarnya harus tahu ilmunya. Dan di dalam ilmu itu pasti ada bagian yang mengatur tentang unsur akhlaknya. Di kampus calon sarjana guru akan mempelajari mata kuliah dasar-dasar pendidikan, teori belajar, filsafat pendidikan, bimbingan konseling, hingga psikologi pendidikan. Yang di jurusan tarbiyah ada tambahan ilmu akhlak,dan metode pendidikan agama Islam. Di kalangan santri ada kitab yang sudah masyhur salah satunya yaitu Ta’limul muta’allim yang memberikan panduan bagi guru dan murid agar sukses dalam menjalankan perannya.

Tidak hanya peran guru, semua peran profesi, atau tanggung jawab dengan tujuan baik pasti mengedepankan cara dan akhlak yang baik. dan semua harus dicari ilmunya. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari ilmu. Ilmu dan akhlak selalu beriringan. Akhlak yang baik bersumber dari ilmu yang baik. Sabda Rasulullullah Saw. yang selalu terngiang. Barang siapa mencari dunia maka dengan ilmu, barang siapa mencari akhirat maka dengan ilmu. Dan barang siapa mencari keduanya, maka dengan ilmu pula.

Tulisan sederhana ini hanya untuk mengurai wawasan dan membawa pesan kepada diri pribadi. Pesan pertama, semoga penulis tidak mudah berburuk sangka mengatakan seseorang kurang berakhlak dsb. hanya melihat tampilan luarnya saja. Ketika kita mendengar orang berkata kotor pada dasarnya ia kurang ilmu. Seperti anak kecil lewat di depan orang tua tanpa membungkuk. Apakah anak itu tidak berakhlak? Mungkin lebih tepatnya, bisa kita katakan, anak itu belum tahu ilmunya. Pesan kedua, menuntut ilmu tidak boleh berhenti hingga akhir hayat. Baginda Nabi Saw berpesan dalam hadisnya, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.” 

Ilmu dan akhlak berjalan beriringan. Keduanya adalah bekal utama khalifah fil-ard yang rahmatan lil ‘aalamiin. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat!

                                                                                                Waru, 11 Juni 2024