Selasa, 16 Februari 2021

Sebelum Ada Penyesalan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Suasana di jalanan saat ini sepi. Kegiatan banyak berhenti. Sejak munculnya virus corona, berbagai daerah di seluruh pelosok negeri mulai menerapkan peraturan untuk menggalakkan gerakan #dirumahaja.

Pandemi ini bukan hanya menggerogoti manusia saja, sektor ekonomi hingga pendidikan juga ikut merasakan dampaknya. Gerakan #dirumahaja bukanlah waktu untuk bersantai dan merebahkan diri. Seperti, Desy yang seorang guru. Di tengah-tengah menjalankan tugas sebagai guru, ia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu.

Desy masih sibuk dengan pekerjaannya. Walau di rumah, ia tidak bisa lepas dari laptop dan HP-nya. Selain menyiapkan materi dan tugas mrngajar, ia juga harus mengoreksi dan menilai tugas siswa-siswinya. Sampai Haidar, anaknya sendiri  tidak bisa ia temani. Sedangkan suaminya bekerja di Lombok, dan pulang satu bulan sekali.

Di rumah, selain Desy, Haidar ditemani neneknya. Karena si nenek usianya sudah lanjut, jadi belum bisa membantu Haidar belajar.

“Haidar, Bunda sayang sama Haidar. Bunda janji bisa menemani Haidar.” Ujar Desy kepada anaknya di telepon. Karena ia sedang mengikuti rapat kerja di sekolahnya selama 2 hari. Sekolahnya tidak jauh, sekitar 5 km dari rumahnya. Sebenarnya agenda raker  selesai pukul 5 sore, tapi karena ada permintaan diskusi interen dengan kepala sekolah, jadinya ia sampai di rumah pukul 9 malam. Dan ia dapati Haidar sudah tidur pulas di kamar tidurnya.

“Ya, Haidar. Ini bunda sedang rapat, nanti bunda cepat pulang kok”

“Ya, Haidar tidak sabar menunggu Bunda.”

“Ya, Sayang”

Di dalam hati Desy, ia harus bisa pulang sebelum anaknya tidur. Ia harus bisa mendampingi anaknya mengerjakan tugas sekolahnya. Apalagi Haidar ingin nilai rapornya semester ini naik, dan rankingnya lebih baik. Setelah menerima telepon dari anaknya, konsentrasi Desy seketika buyar.

“Ibu Desy, Ibu Desy …”

“Oooo eh, ya Pak?” Desy gelagapan, pada saat raker sedang berlangsung, pak Joko, kepala sekolahnya mendekatinya yang sedang termenung.

“Bu Desy mohon maaf ini saya sampaikan sekarang, nanti setelah raker ini, ibu jangan pulang dulu, karena pihak yayasan mengintruksikan diadakan rapat intern kepala sekolah dan wakil-wakilnya untuk berdiskusi mendesain pembelajaran daring. Apalagi Bu Desy adalah waka kurikulum sekolah ini, jadi Bu Desy harus hadir.”

“Bu Desy sedang sakit?”

“Tidak Pak, alhamdulillah saya sehat.”

“Alhamdulillah sampai bertemu nanti ya.”

“I.. Iya Pak.”

Desy terdiam. Malam ini ia sudah berjanji menemani Haidar. Bagaimana ini? Ia mengecewakan lagi.

Dret…. dret….

HP Desy bergetar. Sepertinya ada pesan masuk. Ia buka. Ternyata wali kelas Haidar. Pesan itu berisi; Assalamualaikum Bunda Haidar, ananda Haidar belum mengirimkan tugas kemarin, yaitu tugas di buku tematik halaman 42, dan belum menyetorkan voice note hafalan surat al Kafirun. Hari ini juga ada tugas dari guru B. Arab dan PJOK.

Seketika dada Desy sesak, terasa ada benda padat yang menghantamnya. Pesan WA itu menambah keresahan hatinya. Tugas anaknya menumpuk. Kasihan Haidar.

Desy pun hari itu pulang malam, jam 10 sampai rumahnya. Pintu dibuka oleh ibunya.

“Haidar sudah tidur, dia tampak kecewa padamu. Ibu hanya bisa menenangkan hatinya, dan menemani ia mengerjakan tugas sekolahnya yang kemarin.” Kata ibu Desy.

“Ya Bu, ku minta maaf. Pulangku malam lagi. Tadi ada permintaan rapat dengan pihak yayasan.” Ujar Desy.

“Kamu jangan minta maaf sama ibu, mintalah maaf sana sama Haidar” ujar sang ibu.

Desy mengangguk. “Aku peduli sama Haidar Bu. Aku sayang Haidar.” Ujar Desy.

“Ibu tahu itu. Semua orang tua pasti mencintai anaknya. Dan kamu harus bisa menunjukkan itu kepada Haidar.” Ujar sang ibu sambil beranjak ke kamar meninggalkan Desy.

Desy masuk kamar anaknya. Ia usap-usap rambut anaknya, ia pandangi dan tak terasa air matanya menetes jatuh. Perasaannya berkecamuk. Kapan ada waktu untuk anakku. Tidak ada yang salah dengan profesiku. Yang salah adalah diriku sendiri, yang tidak bisa membagi waktu.

Hari ini, hari Ahad. Semuanya sudah bangun dan sholat subuh. Termasuk Haidar.

“Bunda, boleh ya aku mau main, bersepeda sama temanku, tidak jauh-jauh kok, hanya di jalan kampung.” Ujar Haidar ke ibunya.

“O.. ya Nak boleh, Haidar hati-hati ya. Hari ini bunda tidak kemana-mana. Nenek hari ini menghadiri pengajian di kampung sebelah. Tapi bunda di rumah, siap menemani Haidar.” Jawab ibunya.

Desy mengantarkan Haidar ke rumah temannya, sambil mengawasinya bersepeda. Ia tersenyum, karena melihat anaknya ceria bermain bersama teman-temannya. Di selah-selah mengawasi anaknya, teringat tugasnya sebagai guru untuk menyiapkan tugas untuk siswa-siswinya besok. Mumpung haidar lagi bermain dengan teman-temannya, sebaiknya ku kerjakan saja tugasku saat ini.

Desy masuk kamarnya. Membuka laptop dan mengerjakan tugasnya. Selang beberapa menit, Haidar sudah pulang, dan Desy tidak sadar anaknya telah memperhatikannya dari pintu kamarnya yang terbuka.

Tiba-tiba terdengar suara “pyaaaarrr!” dari arah dapur. Desy kaget. Sepertinya suara gelas atau piring pecah. Desy segera beranjak keluar kamar dan lari ke arah dapur.

Dilihatnya Haidar tampak menangis kesakitan. Darah mengalir dari jari kakinya. Pecahan gelas berserakan kemana-mana.

“Maafkan Haidar ya Bunda,” ujar Haidar dengan rasa ketakutan.

“Tidak apa-apa sayang. Tenang ya, nanti bunda bersihkan dan obati luka Haidar” Kata Desy.

“Tadi ada apa sayang?”

Haidar yang masih terisak dan sudah duduk di meja makan.

“Tadi Haidar mau buatin jus tomat untuk Bunda, tapi Haidar nggak bisa nyalain blender. Jadi Haidar iris saja kecil-kecil pakai pisau biar lembut. Pas lagi ngiris, haidar kaget karena jari haidar perih kena iris pisau. Lalu tanganku menyenggol gelas. Maafin aku Bunda.” Kata Haidar.

Desy peluk anaknya dengan erat. “Mengapa Haidar pakai buatin jus tomat segala.” Ujar Desy  sambil mengelus rambut anaknya.

“Haidar kasihan lihat Bunda, setiap hari harus lihat laptop dan HP, nanti mata Bunda bisa sakit, Haidar buatin jus tomat.” Ujar  Haidar.

Desy menatap anaknya. Tak terasa menetes air matanya membasahi punggung anaknya. Begitu perhatian Haidar kepada dirinya. Tidak seperti dirinya, masih belum bisa maksimal menjadi seorang ibu. Ia masih belum bisa membagi waktu antara pekerjaan dan hak anaknya. Seandainya ia tidak bekerja, gaji suaminya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga mereka. Pikirannya berkecamuk.

“Kamu tunggu disini ya Nak, bunda mau bersihkan pecahan gelasnya.”

Setelah dikumpulkan pecahan gelas dengan sapu, Desy hendak mencari plastik untuk wadah pecahan gelas, tapi tidak ketemu. Sebagai gantinya ia cari koran bekas di gudang belakang rumah. Sebelum mengambil koran itu, ia sempat membaca judul berita di koran itu. Tertulis besar di tengah “Seorang Ibu Menyesal, Anaknya Tidak Tertolong”

Innalillah, jangan sampai aku seperti judul berita itu. Tentang seorang ibu yang menyesal. Ia bergegas menuju anaknya. Ia peluk erat-erat anaknya. Ia ciumi wajah anaknya. Di dalam hati ia berbisik. Maafkan bunda sayang, hanya sedikit waktu yang kucurahkan untukmu. Waktu bersamamu tak bisa terulang. Waktu tak akan menungguku.