Suasana
di jalanan saat ini sepi. Kegiatan banyak berhenti. Sejak munculnya virus
corona, berbagai daerah di seluruh pelosok negeri mulai menerapkan peraturan
untuk menggalakkan gerakan #dirumahaja.
Pandemi
ini bukan hanya menggerogoti manusia saja, sektor ekonomi hingga pendidikan
juga ikut merasakan dampaknya. Gerakan #dirumahaja bukanlah waktu untuk
bersantai dan merebahkan diri. Seperti, Desy yang seorang guru. Di
tengah-tengah menjalankan tugas sebagai guru, ia juga harus melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang ibu.
Desy
masih sibuk dengan pekerjaannya. Walau di rumah, ia tidak bisa lepas dari
laptop dan HP-nya. Selain menyiapkan materi dan tugas mrngajar, ia juga harus
mengoreksi dan menilai tugas siswa-siswinya. Sampai Haidar, anaknya
sendiri tidak bisa ia temani. Sedangkan
suaminya bekerja di Lombok, dan pulang satu bulan sekali.
Di rumah,
selain Desy, Haidar ditemani neneknya. Karena si nenek usianya sudah lanjut, jadi
belum bisa membantu Haidar belajar.
“Haidar,
Bunda sayang sama Haidar. Bunda janji bisa menemani Haidar.” Ujar Desy kepada
anaknya di telepon. Karena ia sedang mengikuti rapat kerja di sekolahnya selama
2 hari. Sekolahnya tidak jauh, sekitar 5 km dari rumahnya. Sebenarnya agenda
raker selesai pukul 5 sore, tapi karena
ada permintaan diskusi interen dengan kepala sekolah, jadinya ia sampai di
rumah pukul 9 malam. Dan ia dapati Haidar sudah tidur pulas di kamar tidurnya.
“Ya,
Haidar. Ini bunda sedang rapat, nanti bunda cepat pulang kok”
“Ya,
Haidar tidak sabar menunggu Bunda.”
“Ya,
Sayang”
Di dalam
hati Desy, ia harus bisa pulang sebelum anaknya tidur. Ia harus bisa
mendampingi anaknya mengerjakan tugas sekolahnya. Apalagi Haidar ingin nilai
rapornya semester ini naik, dan rankingnya lebih baik. Setelah menerima telepon
dari anaknya, konsentrasi Desy seketika buyar.
“Ibu
Desy, Ibu Desy …”
“Oooo eh,
ya Pak?” Desy gelagapan, pada saat raker sedang berlangsung, pak Joko, kepala
sekolahnya mendekatinya yang sedang termenung.
“Bu Desy
mohon maaf ini saya sampaikan sekarang, nanti setelah raker ini, ibu jangan
pulang dulu, karena pihak yayasan mengintruksikan diadakan rapat intern kepala
sekolah dan wakil-wakilnya untuk berdiskusi mendesain pembelajaran daring.
Apalagi Bu Desy adalah waka kurikulum sekolah ini, jadi Bu Desy harus hadir.”
“Bu Desy
sedang sakit?”
“Tidak
Pak, alhamdulillah saya sehat.”
“Alhamdulillah
sampai bertemu nanti ya.”
“I.. Iya
Pak.”
Desy
terdiam. Malam ini ia sudah berjanji menemani Haidar. Bagaimana ini? Ia
mengecewakan lagi.
Dret….
dret….
HP Desy
bergetar. Sepertinya ada pesan masuk. Ia buka. Ternyata wali kelas Haidar.
Pesan itu berisi; Assalamualaikum Bunda Haidar, ananda Haidar belum mengirimkan
tugas kemarin, yaitu tugas di buku tematik halaman 42, dan belum menyetorkan
voice note hafalan surat al Kafirun. Hari ini juga ada tugas dari guru B. Arab
dan PJOK.
Seketika
dada Desy sesak, terasa ada benda padat yang menghantamnya. Pesan WA itu
menambah keresahan hatinya. Tugas anaknya menumpuk. Kasihan Haidar.
Desy pun
hari itu pulang malam, jam 10 sampai rumahnya. Pintu dibuka oleh ibunya.
“Haidar
sudah tidur, dia tampak kecewa padamu. Ibu hanya bisa menenangkan hatinya, dan
menemani ia mengerjakan tugas sekolahnya yang kemarin.” Kata ibu Desy.
“Ya Bu,
ku minta maaf. Pulangku malam lagi. Tadi ada permintaan rapat dengan pihak
yayasan.” Ujar Desy.
“Kamu
jangan minta maaf sama ibu, mintalah maaf sana sama Haidar” ujar sang ibu.
Desy
mengangguk. “Aku peduli sama Haidar Bu. Aku sayang Haidar.” Ujar Desy.
“Ibu tahu
itu. Semua orang tua pasti mencintai anaknya. Dan kamu harus bisa menunjukkan
itu kepada Haidar.” Ujar sang ibu sambil beranjak ke kamar meninggalkan Desy.
Desy
masuk kamar anaknya. Ia usap-usap rambut anaknya, ia pandangi dan tak terasa
air matanya menetes jatuh. Perasaannya berkecamuk. Kapan ada waktu untuk anakku.
Tidak ada yang salah dengan profesiku. Yang salah adalah diriku sendiri, yang
tidak bisa membagi waktu.
Hari ini,
hari Ahad. Semuanya sudah bangun dan sholat subuh. Termasuk Haidar.
“Bunda, boleh
ya aku mau main, bersepeda sama temanku, tidak jauh-jauh kok, hanya di jalan
kampung.” Ujar Haidar ke ibunya.
“O.. ya
Nak boleh, Haidar hati-hati ya. Hari ini bunda tidak kemana-mana. Nenek hari
ini menghadiri pengajian di kampung sebelah. Tapi bunda di rumah, siap menemani
Haidar.” Jawab ibunya.
Desy
mengantarkan Haidar ke rumah temannya, sambil mengawasinya bersepeda. Ia
tersenyum, karena melihat anaknya ceria bermain bersama teman-temannya. Di
selah-selah mengawasi anaknya, teringat tugasnya sebagai guru untuk menyiapkan
tugas untuk siswa-siswinya besok. Mumpung haidar lagi bermain dengan
teman-temannya, sebaiknya ku kerjakan saja tugasku saat ini.
Desy
masuk kamarnya. Membuka laptop dan mengerjakan tugasnya. Selang beberapa
menit, Haidar sudah pulang, dan Desy tidak sadar anaknya telah memperhatikannya
dari pintu kamarnya yang terbuka.
Tiba-tiba
terdengar suara “pyaaaarrr!” dari arah dapur. Desy kaget. Sepertinya suara
gelas atau piring pecah. Desy segera beranjak keluar kamar dan lari ke arah
dapur.
Dilihatnya
Haidar tampak menangis kesakitan. Darah mengalir dari jari kakinya. Pecahan
gelas berserakan kemana-mana.
“Maafkan
Haidar ya Bunda,” ujar Haidar dengan rasa ketakutan.
“Tidak
apa-apa sayang. Tenang ya, nanti bunda bersihkan dan obati luka Haidar” Kata
Desy.
“Tadi ada
apa sayang?”
Haidar
yang masih terisak dan sudah duduk di meja makan.
“Tadi
Haidar mau buatin jus tomat untuk Bunda, tapi Haidar nggak bisa nyalain
blender. Jadi Haidar iris saja kecil-kecil pakai pisau biar lembut. Pas lagi
ngiris, haidar kaget karena jari haidar perih kena iris pisau. Lalu tanganku
menyenggol gelas. Maafin aku Bunda.” Kata Haidar.
Desy
peluk anaknya dengan erat. “Mengapa Haidar pakai buatin jus tomat segala.” Ujar
Desy sambil mengelus rambut anaknya.
“Haidar
kasihan lihat Bunda, setiap hari harus lihat laptop dan HP, nanti mata Bunda
bisa sakit, Haidar buatin jus tomat.” Ujar Haidar.
Desy
menatap anaknya. Tak terasa menetes air matanya membasahi punggung anaknya.
Begitu perhatian Haidar kepada dirinya. Tidak seperti dirinya, masih belum bisa
maksimal menjadi seorang ibu. Ia masih belum bisa membagi waktu antara
pekerjaan dan hak anaknya. Seandainya ia tidak bekerja, gaji suaminya lebih
dari cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga mereka. Pikirannya
berkecamuk.
“Kamu
tunggu disini ya Nak, bunda mau bersihkan pecahan gelasnya.”
Setelah
dikumpulkan pecahan gelas dengan sapu, Desy hendak mencari plastik untuk wadah
pecahan gelas, tapi tidak ketemu. Sebagai gantinya ia cari koran bekas di
gudang belakang rumah. Sebelum mengambil koran itu, ia sempat membaca judul
berita di koran itu. Tertulis besar di tengah “Seorang Ibu Menyesal, Anaknya Tidak
Tertolong”
Innalillah,
jangan sampai aku seperti judul berita itu. Tentang seorang ibu yang menyesal.
Ia bergegas menuju anaknya. Ia peluk erat-erat anaknya. Ia ciumi wajah anaknya.
Di dalam hati ia berbisik. Maafkan bunda sayang, hanya sedikit waktu yang
kucurahkan untukmu. Waktu bersamamu tak bisa terulang. Waktu tak akan
menungguku.
Tulisan yang keren. Mengandung pelajaran buat wanita yang memutuskan untuk berkarir. Termasuk saya, merasa tersentil dengan tulisan ini. Kerapkali karena pekerjaan, waktu untuk anak jadi banyak berkurang
BalasHapus