Saya teringat pada suatu kesempatan, mendadak saya ditanya oleh teman yang sama profesinya sebagai guru. “Sebenarnya apa sih arti kata pengabdian itu, apakah saya harus menetap di sana, saya bisa dikatakan orang yang mengabdi? Terus seandainya saya tidak di sana lagi, tetapi saya bisa berbuat yang bermanfaat dibandingkan dengan orang-orang yang masih tinggal di sana tapi tidak banyak melakukan sesuatu yang berarti, apakah saya bisa dikatakan mengabdi?”. Pertanyaan teman saya yang penuh perasaan emosi mendalam ini, saya respon dengan senyuman dan hening sesaat.
Di
berbagai kondisi dan situasi banyak sekali orang yang mengklaim dirinya telah
memberikan pengabdian. Apa definisi sesungguhnya dari pengabdian itu?.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pengabdian (peng.ab.di.an) merupakan
proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan. Menurut W.J.S.
Poerwadarminta, salah satu tokoh sastra Indonesia dan ahli perkamusan, mengabdi
adalah suatu penyerahan diri kepada “suatu” yang dianggap lebih. Dilakukan
dengan ikhlas, bahkan pengorbanan yang dapat berupa materi, perasaan, atau jiwa
raga.
Dengan begitu,
pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat atau pun tenaga
sebagai perwujudan kesetiaan. Pengabdian juga berarti seseorang mampu
memberikan lebih dari sekadar yang diminta.
Munculnya
pengabdian karena adanya tanggung jawab dan amanah yang diberikan kepadanya.
Seseorang yang mampu melaksanakan tanggung jawabnya, maka ia disebut orang yang
mengabdi. Sebaliknya, jika ia tidak melaksanakan tanggung jawabnya maka ia
disebut tidak mengabdi. Jadi, pengabdian tidak ada hubungan yang selaras dengan
fisik seseorang berada atau tidak di tempat itu.
Contoh
sederhana, seorang peserta didik yang lulus dan akan meninggalkan sekolahnya,
kemudian ia diberi amanah agar bisa menjaga nama baik almamaternya dengan
menjaga diri dan bersikap baik di masyarakat atau di sekolah selanjutnya. Si
peserta didik ini mampu menjalankan amanah tersebut, sesungguhnya ia telah
mengabdi.
Kata
pengabdian memiliki konotasi positif dan mulia. Pengabdian bisa juga diarahkan
kepada siapa pun dan apa pun. Bila diarahkan kepada Allah SWT., maka disebut
pengabdian kepada Allah SWT. hal ini sejalan dengan firman Allah SWT., yang
artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Apa pun status dan
kedudukan umat Islam, apakah pejabat, konglomerat atau rakyat. Tidak ada
perbedaan untuk yang tinggal di benua Eropa maupun di Asia, semua memiliki
tugas yang sama dan akan dihisab dan balasan sesuai kadar kualitas ibadah dan
pengabdiannya kepada Allah SWT., bukan jumlah usianya atau berapa lama ia
berada di dunia.
Apabila diarahkan kepada
keluarga, maka disebut pengabdian kepada keluarga. Bila diarahkan kepada
masyarakat, disebut sebagai pengabdian kepada masyarakat.
Kembali ke makna
sesungguhnya, bahwa pengabdian berhubungan dengan tanggung jawab. Walaupun kita
tidak hidup bersama di suatu keluarga bersama saudara, orang tua, bahkan anak
dan istri karena suatu hal, tetapi karena kita punya tanggung jawab masing-masing
maka kita terus menjalankan pengabdian. Begitu halnya di masyarakat, bangsa dan
negara.
Makna Pengabdian yang Dikonotasikan Negatif
Makna pengabdian bisa
berkonotasi negatif. Hal ini disebabkan penggunaan makna pengabdian yang
diarahkan untuk maksud-maksud yang bersifat manipulatif.
Menurut G. Hendra
Purwanto dalam tulisan di Manajemen.blogspot.com., Praktik
manipulatif makna pengabdian biasanya dalam konteks organisasi atau lembaga
yang menggunakan kata “pengabdian” dalam rangka menyembunyikan ketidakmampuan pimpinan bahkan keengganannya menghargai anggotanya yang bekerja lebih atau berprestasi.
Kata “pengabdian” digunakan organisasi tersebut untuk mendorong para anggotanya
agar tetap bekerja di situ dan menjaga profesonalismenya saja tanpa ada upaya untuk
mengapresiasi yang semestinya.
Terlepas dari konotasi negatif tersebut, dan kembali ke teman saya. Saya berusaha menjelaskan dengan runtut dan saya beri kesimpulan. Bahwa, pengabdian itu berhubungan dengan peran dan kualitas kinerja seseorang. Walau sudah tidak di tempat itu lagi, tetapi seseorang itu tetap dan bisa memberikan sumbangsih, bisa pikiran, pendapat, tenaga atau materi untuk memberikan manfaat pada organisasi atau lembaga tersebut. Tanpa itu, walau jasad kita masih bersemayam di tempat organisasi atau lembaga itu, kita tidaklah dikatakan mengabdi dalam arti yang sesungguhnya. Mendengar jawaban itu, teman saya pun membalas dengan tersenyum. Wallahu a’lam.
Terima kasih inspirasinya. Selama ini yang saya pahami, mengabdi itu ya harus tetap di tempat itu. Kalau sudah tidak di tempat itu, biasanya dikatakan tidak mau mengabdi. Ternyata pemahaman itu salah. 👍👍
BalasHapus