Oleh: Mujianto
Dalam suatu
kesendirian sebelum tidur saya sering merenung tentang sesuatu hal yang siang
hari saya temui. Biasanya saya tulis poin-poinnya di HP, lalu saya tuangkan
dalam bentuk tulisan. Seperti halnya saat saya menyimak khutbah idul Adha. Menyimak
dengan seksama kisah dan ulasan tentang pengorbanan Nabi Ibrahim mendapat
perintah menyembelih Nabi Isma’il.
Muncul suatu
pertanyaan, apakah kita benar-benar memahami apa hikmah di balik peristiwa Idul
Adha lebih dari sebuah pengorbanan? Apakah kita pernah merenung bagaimana
mungkin Nabi Ibrahim bisa langsung percaya dengan validitas sebuah mimpi,
apalagi isi mimpinya adalah untuk menyembelih putra kesayangannya. Bagaimana
kalau mimpi itu terjadi pada diri kita. Tentu kebanyakan dari kita akan mencari
alasan untuk tidak menghiraukan mimpi tersebut.
Padahal, kalau
kita perhatikan, semakin pandai seseorang maka semakin tinggi tingkat
rasionalitasnya. Seperti para penemu, dan para filsuf. Begitu juga dengan Nabi
Ibrahim, beliau sering mengedepankan rasionya. Mungkin pernah diceritakan oleh
guru agama kita, ketika Nabi Ibrahim berdebat dengan raja Namrud yang mengaku
sebagai Tuhan.
Namrud meminta Nabi Ibrahim membuktikan ketuhanan Allah. Nabi
Ibrahim menjawab bahwa Allah Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Sang raja
kemudian membunuh orang di sampingnya dengan pedang, dan merasa menang karena
dia juga bisa mematikan layaknya seorang Tuhan. Nabi Ibrahim pun melanjutkan
dengan mengatakan bahwa Allah yang menerbitkan matahari dari arah timur ke
barat, dan meminta Namrud menerbitkannya dari arah Barat. Namrud tidak bisa. Sang
raja pun kalah dalam perdebatan itu.
Banyak kisah di Al-Qur’an yang menunjukkan ketajaman pikiran Nabi
Ibrahim. Seperti di surat al-An’am ayat 74-78. Namun kenapa saat bermimpi
mendapatkan perintah menyembelih putranya bisa langsung percaya? Jawabannya
adalah karena cinta. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh melebihi
kecintaan kepada putranya. Ketajaman rasionalitas Nabi Ibrahim tidak menjauhkan
dirinya dari kebenaran, justru membawanya dalam kemantapan bahwa keimanannya
harus diuji.
Pengorbanan tertinggi Nabi Ibrahim sebelum menyembelih putranya
adalah pembenaran atas mimpinya sendiri. Pengorbanan tidak bisa dipisahkan
dengan cinta. Mari kita ingat lagi bahwa perintah pertama peristiwa kurban
adalah menyembelih Isma’il seorang anak yang lama diidam-idamkan. Bukan
menyembelih kambing. Nabi Ibrahim adalah seorang yang kaya raya. Allah sudah
tahu kalau Ibrahim sering bersedekah, berkurban ratusan unta dan ribuan
kambing. Oleh karena itu Allah menguji cinta dan keimanan Nabi Ibrahim. Bagaimana
kalau diuji menyembelih putranya yang tentunya lebih ia cintai dibandingkan
kekayaannya.
Isma’il adalah gambaran apa saja yang kita cintai, yang kita
banggakan. Seperti jabatan, harta, popularitas,
atau ilmu yang semua itu atas pemberian
Allah dan siap kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Kita pun berusaha dan senantiasa berdoa. Semoga keluarga kita
seperti keluarga Nabi Ibrahim. Keluarga yang dinaungi oleh rasa cinta. Sosok
ayah yang menebarkan cinta, ibu yang penuh cinta dan anak sholih yang meneguhkan
rasa cinta. Cinta kepada Allah harus melebihi cinta pada segala-galanya. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar