Rabu, 06 Mei 2020

MEMULAI DARI MANA MENDIDIK ANAK?



Oleh: Mujianto
Ada sebuah riwayat, baginda Rasulullah SAW pernah didatangi oleh salah satu umatnya  yang mengelukan tentang perilaku kelima anaknya yang kurang terpuji, dan sulit diatur. Baginda Nabi pun memberikan jawaban agar anak si orang tua itu bisa berubah menjadi lebih baik. Beliau berkata, “Wahai orang tua yang baik, mulai saat ini ubahlah satu demi satu perilakumu menjadi lebih baik, Insya’Allah anak-anakmu akan berubah menjadi lebih baik.”

Dalam perspektif Islam, proses pendidikan anak sebenarnya dimulai jauh sebelum si anak diciptakan di dunia ini. Yaitu melalui orang tuanya.

Mari kita mengingat sejenak siapa orang tua Imam Syafi’i. Tentu kita berpikir, seperti apakah orang tuanya, atau bagaimana mereka mempersiapkan diri sebelum menjadi orang tua.

Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Idris berjalan meyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut terbawa air, karena sedang sangat lapar, ia ambil buah itu dan langsung memakannya.

Ketika Idris sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya. Idris berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana da pohon delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.

Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah ia dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah baya.

“Saya telah memakan buah delima Anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah Anda mengikhlaskannya?” kata Idris. Orang tua itu terdiam sebentar, lalu menatap tajam kepada pemuda itu. “Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja di sini menjaga dan membersihkan kebun saya selamasebulan tanpa gaji,” kata si bapak kepada Idris.

Demi memelihara perutnya dari makanan yang tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya. Sebulan pun berlalu. Idris kemudian menemui pemilik kebun.

“Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun Anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah saya makan?” “Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya. Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.”

Idris terdiam. Ia merasa cobaan ini terlalu berat, akan tetapi ia harus memenuhi persyaratan itu. Idris pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan disaksikan beberapa orang.

Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh yang ditemui, namun seorang gadis cantik. Idris pun bergegas keluar dan langsung menemui mertuanya, bertanya perihal seorang gadis yang ditemuinya.

Si pemilik kebun menyampaikan bahwa yang ditemui Idris adalah benar-benar istrinya, yaitu putrinya sendiri. Tidak ada orang lain. Si pemilik kebun menjelaskan bahwa ia menyebut putrinya buta karena selalu menjaga pandangan yang dilarang, tuli karena selalu menjaga telinga dari pendengaran yang haram, bisu karena selalu menjaga dari ucapan yang tidak bermanfaat, dan lumpuh karena badanya tidak pernah digerakkan untuk melakukan maksiat.

Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja. Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak halal. Ia jadikan Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Syafi’I, seorang ulama besar, panutan jutaan kaum muslim di dunia.

Cerita di atas mengingatkan kita bahwa waktu mendidik anak yang tepat ternyata sudah harus dipersiapkan sejak awal, bahkan sebelum melangsungkan pernikahan. Cerita di atas juga memberikan penguatan kepada kita pada peribahasa, bahwa “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Walaupun orang tua nantinya tidak menjadi unsur tunggal sebagai penentu masa depan anak, karena pendidikan adalah proses panjang, proses seumur hidup.

Dalam pandangan psikologi pendidikan, diketahui bahwa sebagian besar perilaku anak adalah “mirroring” atau cerminan dari perilaku orang tuanya. Maka bisa kita ambil strateginya, bahwa mendidik yang efektif  haruslah dengan contoh atau suri tauladan. Anak akan meniru apa yang ia lihat bukan apa yang ia dengar. Sangat tidak efektif sekali, seorang ayah menyuruh anaknya salat berjamah di masjid, sedangkan ia masih di rumah. Seorang ibu menyuruh putrinya yang duduk di bangku SMP agar tidak berlebihan bermain medsos, tetapi ia sendiri tidak pernah lepas dari gatgetnya.

Ayah dan Bunda yang saya hormati.  Menutup tulisan ini, mungkin perlu kita baca kutipan dalam batu nisan Westminster Abbey, sang genius, arsitek istana Kerajaan Inggris. Sebagai pesan terakhirnya. Beginilah isinya:

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi mengubah dunia. Lalu seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah, maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi, celakanya mereka pun tidak mau diubah. Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari; andai saja yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku, kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia.’

Ayah dan Bunda, tidak ada kata terlambat, tetap semangat. Mulailah dari diri kita sendiri!. Wallahu a’lam.

                                                                                                             Sidoarjo, 6 Mei 2020





Tidak ada komentar:

Posting Komentar