Oleh: Mujianto
Ada sebuah riwayat, baginda Rasulullah SAW pernah didatangi oleh salah satu
umatnya yang mengelukan tentang perilaku
kelima anaknya yang kurang terpuji, dan sulit diatur. Baginda Nabi pun
memberikan jawaban agar anak si orang tua itu bisa berubah menjadi lebih baik.
Beliau berkata, “Wahai orang tua yang baik, mulai saat ini ubahlah satu demi
satu perilakumu menjadi lebih baik, Insya’Allah anak-anakmu akan berubah
menjadi lebih baik.”
Dalam perspektif Islam, proses pendidikan anak
sebenarnya dimulai jauh sebelum si anak diciptakan di dunia ini. Yaitu melalui
orang tuanya.
Mari kita mengingat sejenak siapa orang tua
Imam Syafi’i. Tentu kita berpikir, seperti apakah orang tuanya, atau bagaimana
mereka mempersiapkan diri sebelum menjadi orang tua.
Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Idris
berjalan meyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut terbawa
air, karena sedang sangat lapar, ia ambil buah itu dan langsung memakannya.
Ketika Idris sudah menghabiskan setengah buah
delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah
delima yang dimakan itu bukan miliknya. Idris berhenti makan. Ia kemudian
berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana da pohon
delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di
pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.
Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon
delima itu, dan bertemulah ia dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah
baya.
“Saya telah memakan buah delima Anda. Apakah
ini halal buat saya? Apakah Anda mengikhlaskannya?” kata Idris. Orang tua itu
terdiam sebentar, lalu menatap tajam kepada pemuda itu. “Tidak bisa semudah itu.
Kamu harus bekerja di sini menjaga dan membersihkan kebun saya selamasebulan
tanpa gaji,” kata si bapak kepada Idris.
Demi memelihara perutnya dari makanan yang
tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya. Sebulan pun berlalu. Idris
kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan
kebun Anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah
saya makan?” “Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya.
Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.”
Idris terdiam. Ia merasa cobaan ini terlalu
berat, akan tetapi ia harus memenuhi persyaratan itu. Idris pun dinikahkan
dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan
disaksikan beberapa orang.
Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik
kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis
buta, tuli, bisu dan lumpuh yang ditemui, namun seorang gadis cantik. Idris pun
bergegas keluar dan langsung menemui mertuanya, bertanya perihal seorang gadis
yang ditemuinya.
Si pemilik kebun menyampaikan bahwa yang
ditemui Idris adalah benar-benar istrinya, yaitu putrinya sendiri. Tidak ada
orang lain. Si pemilik kebun menjelaskan bahwa ia menyebut putrinya buta karena
selalu menjaga pandangan yang dilarang, tuli karena selalu menjaga telinga dari
pendengaran yang haram, bisu karena selalu menjaga dari ucapan yang tidak
bermanfaat, dan lumpuh karena badanya tidak pernah digerakkan untuk melakukan
maksiat.
Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris
begitu saja. Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak
halal. Ia jadikan Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama
Syafi’I, seorang ulama besar, panutan jutaan kaum muslim di dunia.
Cerita di atas mengingatkan kita bahwa waktu
mendidik anak yang tepat ternyata sudah harus dipersiapkan sejak awal, bahkan
sebelum melangsungkan pernikahan. Cerita di atas juga memberikan penguatan
kepada kita pada peribahasa, bahwa “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Walaupun
orang tua nantinya tidak menjadi unsur tunggal sebagai penentu masa depan anak,
karena pendidikan adalah proses panjang, proses seumur hidup.
Dalam pandangan psikologi pendidikan,
diketahui bahwa sebagian besar perilaku anak adalah “mirroring” atau cerminan
dari perilaku orang tuanya. Maka bisa kita ambil strateginya, bahwa mendidik
yang efektif haruslah dengan contoh atau
suri tauladan. Anak akan meniru apa yang ia lihat bukan apa yang ia dengar. Sangat
tidak efektif sekali, seorang ayah menyuruh anaknya salat berjamah di masjid,
sedangkan ia masih di rumah. Seorang ibu menyuruh putrinya yang duduk di bangku
SMP agar tidak berlebihan bermain medsos, tetapi ia sendiri tidak pernah lepas
dari gatgetnya.
Ayah dan Bunda yang saya hormati. Menutup tulisan ini, mungkin perlu kita baca kutipan dalam batu nisan
Westminster Abbey, sang genius, arsitek istana Kerajaan Inggris. Sebagai pesan
terakhirnya. Beginilah isinya:
‘Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku
bermimpi mengubah dunia. Lalu seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,
kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah, maka cita-cita itu pun agak
kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya
hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku
yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling
dekat denganku. Tetapi, celakanya mereka pun tidak mau diubah. Dan kini
sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari; andai saja
yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku
sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi
dan dorongan mereka bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku, kemudian
siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia.’
Ayah dan Bunda, tidak ada kata terlambat, tetap semangat. Mulailah dari
diri kita sendiri!. Wallahu a’lam.
Sidoarjo,
6 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar