Rabu, 06 Mei 2020

BAGAIMANA JIKA ANAK SAYA TIDAK SUKA SEKOLAH?



Oleh: Mujianto, M.Pd.

Mari sejenak kita menengok fenomena pendidikan di sekolah beberapa tahun yang lalu. Tepatnya di tahun 2006. Seorang anak bernama M. Izza Ahsin Sidqi, kelas 2 SMP di salah satu sekolah favorit di Salatiga. Anak yang kedua orang tuanya guru ini, menyatakan mengundurkan diri dari sekolah lantaran ada gejolak di dalam hatinya. Dia ingin bebas, fokus mengejar cita-citanya menjadi penulis, yang dirasanya tidak akan tercapai kalau dia masih datang bersekolah. Dan paling mengejutkan dia merasa tidak mampu belajar sesuai yang dimaksudkan oleh Kurikulum Pendidikan Indonesia. Kegelisahan dan harapannya tentang sekolah dia tuangkan di dalam salah satu bukunya “Dunia Tanpa Sekolah”

 

Para ayah dan bunda yang  berbahagia, pernahkah anak ayah dan bunda  malas atau tidak mau sekolah. Kalau pernah. Bagaimana, sulitkah membujuknya? atau minimal dibuat bingung, mencari apa penyebabnya.

 

Sekolah merupakan rutinitas yang biasa dijalankan anak setiap hari. Mereka harus bangun pagi, mengikuti pelajaran di sekolah hingga siang bahkan sore hari, lalu masih lagi ditambah PR. Kadang-kadang terjadi suatu masalah yang menyebabkan si anak malas atau menolak ke sekolah. Ada anak yang menolak secara terang-terangan, ada juga yang menolak dengan cara kiasan. Seperti pura-pura sakit.

 

Tulisan ini berusaha tidak menyinggung tentang adanya bulliying atau anak berat mengerjakan tugas sekolah sebagai penyebab anak tidak mau beramgkat ke sekolah. Tulisan ini berusaha menggugah cara pandang kita memahami makna sekolah, memilih sikap yang benar dan mengawal anak-anak kita menuju kesuksesannya.

 

Konon Soichiro Honda, pemilik usaha industri otomotif Honda Motor, pernah menyampaikan pendapatnya mengenai sekolah.

 

“Sekolah terlalu banyak memberi apa yang saya tidak ingin ketahui, tapi justru sangat sedikit memberikan apa yang sungguh-sungguh saya ingin ketahui. Oleh karena itu, saya hanya pergi ke sekolah apabila saya merasa ingin mengetahui sesuatu yang tidak saya temukan di luar sekolah.”

 

Dalam artikel di kompas, 27 Agustus 2012, saat akan ada rencana diselenggarakannya kurikulum baru, kurikulum 2013, Boediono (Wapres RI ke 11) dengan tegas menyampaikan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan. Maka muncullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa “berat”, tetapi tidak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.

 

Ayah dan bunda yang berbahagia. Setelah membaca pandangan tokoh di atas, apa yang harus kita lakukan? Saya tidak bermaksud mengajak memandang negatif sebuah lembaga sekolah, sembari membayangkan dulu ketika SMP gunanya apa ya saya belajar Sinus-Cosinus-Tangen, mengapa tidak diberikan saat SMA di jurusan IPA atau di perguruan tinggi jurusan matematika atau sejenisnya saja.

 

Ayah dan bunda harus terus semangat mendorong anak agar terus bersekolah sampai setinggi-tingginya. Yang menjadi catatan adalah yang pertama, kita di rumah menjadi lebih sayang kepada anak, menjadi pendamping yang dengan sadar, mengerti bahwa anak-anak sudah membawa sebagian beban dari sekolah.

 

Yang kedua, saat pembagian rapor tiba, ayah dan bunda tidak terburu-buru mau marah, panik jika sebagian besar nilai anak tidak semakin bagus, atau ranking yang semakin turun. Karena ayah dan bunda sudah semakin paham karena masa depan anak-anak bukan ditentukan oleh nilai rapor apalagi ranking kelas.  Apakah ayah dan bunda pernah ditanya saat sesi wawancara ketika melamar kerja? Tentu tidak. Yang sering, pertanyaannya adalah tentang kemampuan dan komitmen.

 

Yang ketiga, mengenal potensi dan bakat anak itu penting. Ketika orang tua sudah memahami potensi dan bakat anak, orang tua tersebut akan semakin mudah mengarahkan anaknya memilih bidang keahlian yang akan ditempuhnya. Di sekolah, orang tua bisa mengikutkan anaknya pada kegiatan ekstrakurikuler atau pengembangan diri.

 

So, pendidikan adalah proses panjang. Bersekolah adalah bagian dari proses itu. Anak-anak harus didorong antusias dan tetap bahagia berangkat ke sekolah. Selain belajar, anak-anak juga berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga sekolah. Jika ada masalah di sekolah, berkomunikasilah dengan gurunya, sambil terus mendampingi mereka menggali potensi dan mengembangkannya dari rumah. Wallahu A’lam.

                                                                                                Sidoarjo, 5 Mei 2020

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar