Mari
sejenak kita menengok fenomena pendidikan di sekolah beberapa tahun
yang lalu. Tepatnya di tahun 2006. Seorang anak bernama M. Izza Ahsin
Sidqi, kelas 2 SMP di salah satu sekolah favorit di Salatiga. Anak yang
kedua orang tuanya guru ini, menyatakan mengundurkan diri dari sekolah lantaran
ada gejolak di dalam hatinya. Dia ingin bebas, fokus mengejar cita-citanya
menjadi penulis, yang dirasanya tidak akan tercapai kalau dia masih datang
bersekolah. Dan paling mengejutkan dia merasa tidak mampu belajar sesuai yang
dimaksudkan oleh Kurikulum Pendidikan Indonesia. Kegelisahan dan harapannya
tentang sekolah dia tuangkan di dalam salah satu bukunya “Dunia Tanpa Sekolah”
Para
ayah dan bunda yang berbahagia, pernahkah anak ayah dan
bunda malas atau tidak mau sekolah. Kalau pernah. Bagaimana,
sulitkah membujuknya? atau minimal dibuat bingung, mencari apa penyebabnya.
Sekolah
merupakan rutinitas yang biasa dijalankan anak setiap hari. Mereka harus bangun
pagi, mengikuti pelajaran di sekolah hingga siang bahkan sore hari, lalu masih
lagi ditambah PR. Kadang-kadang terjadi suatu masalah yang menyebabkan si anak
malas atau menolak ke sekolah. Ada anak yang menolak secara terang-terangan,
ada juga yang menolak dengan cara kiasan. Seperti pura-pura sakit.
Tulisan
ini berusaha tidak menyinggung tentang adanya bulliying atau
anak berat mengerjakan tugas sekolah sebagai penyebab anak tidak mau beramgkat
ke sekolah. Tulisan ini berusaha menggugah cara pandang kita memahami makna
sekolah, memilih sikap yang benar dan mengawal anak-anak kita menuju
kesuksesannya.
Konon
Soichiro Honda, pemilik usaha industri otomotif Honda Motor, pernah
menyampaikan pendapatnya mengenai sekolah.
“Sekolah
terlalu banyak memberi apa yang saya tidak ingin ketahui, tapi justru sangat
sedikit memberikan apa yang sungguh-sungguh saya ingin ketahui. Oleh karena
itu, saya hanya pergi ke sekolah apabila saya merasa ingin mengetahui sesuatu
yang tidak saya temukan di luar sekolah.”
Dalam
artikel di kompas, 27 Agustus 2012, saat akan ada rencana
diselenggarakannya kurikulum baru, kurikulum 2013, Boediono (Wapres RI ke 11)
dengan tegas menyampaikan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas
mengenai substansi pendidikan. Maka muncullah kecenderungan untuk memasukkan
apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban
berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa “berat”, tetapi tidak
jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.
Ayah
dan bunda yang berbahagia. Setelah membaca pandangan tokoh di atas, apa yang
harus kita lakukan? Saya tidak bermaksud mengajak memandang negatif sebuah
lembaga sekolah, sembari membayangkan dulu ketika SMP gunanya apa ya saya
belajar Sinus-Cosinus-Tangen, mengapa tidak diberikan saat SMA di jurusan IPA
atau di perguruan tinggi jurusan matematika atau sejenisnya saja.
Ayah
dan bunda harus terus semangat mendorong anak agar terus bersekolah sampai
setinggi-tingginya. Yang menjadi catatan adalah yang pertama, kita di rumah
menjadi lebih sayang kepada anak, menjadi pendamping yang dengan sadar,
mengerti bahwa anak-anak sudah membawa sebagian beban dari sekolah.
Yang
kedua, saat pembagian rapor tiba, ayah dan bunda tidak terburu-buru mau marah,
panik jika sebagian besar nilai anak tidak semakin bagus, atau ranking yang
semakin turun. Karena ayah dan bunda sudah semakin paham karena masa depan
anak-anak bukan ditentukan oleh nilai rapor apalagi ranking
kelas. Apakah ayah dan bunda pernah ditanya saat sesi wawancara
ketika melamar kerja? Tentu tidak. Yang sering, pertanyaannya adalah tentang
kemampuan dan komitmen.
Yang
ketiga, mengenal potensi dan bakat anak itu penting. Ketika orang tua sudah
memahami potensi dan bakat anak, orang tua tersebut akan semakin mudah
mengarahkan anaknya memilih bidang keahlian yang akan ditempuhnya. Di sekolah,
orang tua bisa mengikutkan anaknya pada kegiatan ekstrakurikuler atau
pengembangan diri.
So,
pendidikan adalah proses panjang. Bersekolah adalah bagian dari proses itu.
Anak-anak harus didorong antusias dan tetap bahagia berangkat ke sekolah.
Selain belajar, anak-anak juga berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga
sekolah. Jika ada masalah di sekolah, berkomunikasilah dengan gurunya, sambil
terus mendampingi mereka menggali potensi dan mengembangkannya dari rumah.
Wallahu A’lam.
Sidoarjo,
5 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar