Oleh Mujianto, M.Pd.
Sengaja saya memakai
judul di atas, agar semakin terngiang di kepala. Ada tugas besar bahwa makna
Ramadan dan Idul Fitri harus membekas pada diri kita, dan orang-orang di
sekitar kita pun ikut bahagia karena merasakan perubahan kita semakin lebih
baik.
Sebelum Ramadan datang,
kita selalu menantinya dengan penuh kerinduan. Setelah ia pergi meninggalkan,
kita tetap melestarikan kebaikan dan ibadah di luar Ramadan. Jangan lagi
memaknai Ramadan sekadar bulan menahan lapar dan haus. Pengertian itu sudah
lewat. Itu makna dulu ketika kita masih belajar berpuasa. Orang dengan usia dua
puluh atau bahkan lima puluh tahun saat ini, tentu sudah mampu memaknai Ramadan
lebih dari itu.
Kesempatan bertemu bulan
Ramadan adalah rezeki yang tidak terhingga. Apabila kita beramal dengan baik
selama Ramadan, marilah kita pertahankan dan tingkatkan setelahnya. Namun, jika
kita termasuk orang-orang yang lalai dalam kewajiban dan menjauhi larangan
selama Ramadan, mari segerakan diri kita bersimpuh, memohon ampun, sebelum
menyesal. Seperti penyesalan seseorang yang di depannya diperlihatkan azab, dan
ia mengatakan: “Seandaianya aku dapat kembali ke dunia, niscaya aku akan
termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Az-Zumar: 58).
Melestarikan Spirit Idul Fitri
Banyak
versi terjemahan kata Idul Fitri (id dan al-Fithr) di dalam masyarakat. Menurut
kamus bahasa Arab, kata Idul Fitri (‘id al-fithr) berarti kembali berbuka
setelah sebulan penuh berpuasa di siang hari bulan Ramadan. Bisa juga berarti ‘id
al-fithrah, kembali ke sifat bawaan ketika lahir. Yaitu bersih, dan suci
setelah sebulan penuh ditempa berbagai amalan Ramadan.
Dari
pengertian di atas, kita berharap termasuk orang yang beridul fitri. Kita
kembali ke fithrah, jati diri yang paling murni. Selanjutnya muncul pertanyaan,
siapakah orang yang beridul fitri itu? Yaitu mereka yang telah melakukan
berbagai upaya pembersian dan penyucian diri melalui amaliah-amaliah di momen
Ramadan.
Ramadan
baginya menjadi mega training spiritual. Selain menimbulkan semangat
perubahan diri, juga memiliki energi spiritual baru yang mampu memproteksi diri
dari berbagai penyakit hati, dan dosa-dosa yang biasa terkoleksi.
Dampak
dari orang yang kembali fitrah, terlihat dari orang-orang sekitar yang ikut
merasakan perubahannya. Sebuah contoh, Seorang pimpinan perusahaan atau lembaga
yang sebelumnya dirasakan oleh bawahan, karyawan, satpam, hingga OB-nya mudah
marah, sombong, dan angkuh sehingga membuat orang tidak betah, kini berubah
menjadi murah senyum, rendah hati, dan ramah, sehingga bisa dijadikan teladan
dalam bekerja. Suasana batin di tempat kerja pun berubah, karena semua merasa
bahagia dan mampu bekerja sesuai tanggung jawab masing-masing, tanpa tendensi.
Kalau
Idul Fitri kita sebut sebagai hari raya kemenangan, sedangkan kita tidak tampak
perubahan sebagai mana fitrah sejati manusia, maka kemenangan itu tidak akan
ada. Kita tetap dalam kekalahan. Ibarat pejuang yang telah menang melawan
penjajah, maka tampak perubahan kehidupan yang aman dan lebih sejahtera. Tugas
selanjutnya adalah mempertahankan kemenangan itu.
Inilah yang disebut
Ramadan berkah, Ramadan mabrur, seraya membuka pintu kemenangan sambil berucap dengan
untaian doa dan maaf setulus hati, minal a’idin wal faizin. Mohon maaf
lahir dan batin. Wallahu a’lam.
Tulisan yg sangat bagus dan bermanfaat. Semoga amalan2 yg kita lakukan di bln ramadhan kemarin diterima oleh Allah SWT dan kita bisa istiqomah utk tetap meneruskannya di bln2 diluar ramadhon. Aamiin ....🤲🤲🤲
BalasHapusAamiin Ya Rabbal 'aalamiin
HapusAlhamdulillah bisa bermanfaat. Masih belajar nulis, Bu.