Oleh Mujianto, M.Pd.
Dalam kehidupan, diam
sering kali disalahartikan sebagai bentuk kelemahan, ketundukan, atau bahkan
kekalahan. Diam, dalam banyak konteks, justru menunjukkan kekuatan batin, pengendalian
diri, dan kedewasaan emosional yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Orang yang memilih diam
bukan karena takut atau menyerah, melainkan karena ia tahu bahwa tidak semua
hal perlu ditanggapi. Terkadang, diam adalah pilihan sadar untuk tidak menambah
luka dalam relasi, untuk tidak menanggapi kebodohan dengan kebodohan, dan untuk
menjaga martabat diri.
Ada kekuatan besar dalam
memilih diam di saat yang tepat. Diam di sini bukan diartikan tidak tahu
apa-apa, tetapi diam yang penuh kesadaran, diam yang memang dipilih, karena
merupakan langkah cerdas. Diam bukan berarti tidak peduli, melainkan cara
elegan untuk tidak ikut terbakar dalam kekacauan. Ketika situasi tak
memungkinkan kita untuk didengar secara utuh, maka diam adalah bentuk
kebijaksanaan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita cukup kuat untuk
tidak membuktikan apa pun kepada siapa pun. Dan pada akhirnya, waktu dan
kebenaran akan berbicara lebih lantang daripada semua argumen.
Diam juga memiliki batas
dan konteks. Ada kalanya diam justru bisa disalahartikan jika dilakukan
terus-menerus tanpa keberanian untuk bersuara ketika ketidakadilan terjadi.
Oleh karena itu, diam yang bermakna bukanlah pasif atau apatis, melainkan sikap
yang terkontrol, dan penuh kesadaran. Diam yang bijaksana tahu kapan harus
berhenti dan kapan harus berbicara.
Orang Licik dengan Segala Keunikannya
Menghadapi orang yang
licik bukanlah perkara mudah. Selain memiliki dua wajah, mereka juga pandai memanipulasi.
Mereka tahu bagaimana memancing reaksi, memutarbalikkan fakta agar
menguntungkan diri sendiri, dan akhirnya
membuat orang lain yang merasa bersalah.
Sikap orang licik sangat
tidak mengenakkan, selain ucapannya yang tidak bisa dipegang, hari ini berkata
A, besok B, juga sering menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka buat
sendiri.
Bereaksi dengan marah
atau terburu-buru justru membuat kita masuk ke dalam permainan mereka. Di
sinilah sikap diam menjadi senjata yang paling kuat karena ia bukan hanya
menghindarkan kita dari jebakan, tetapi juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa
dikendalikan oleh kelicikan.
Orang yang licik biasanya
haus perhatian dan ingin melihat orang lain terpancing oleh provokasi mereka.
Dengan tetap diam, kita memotong sumber kekuatan mereka. Diam bukan berarti
kita tidak tahu atau tidak berdaya, melainkan kita memilih untuk tidak bermain
dalam arena yang mereka ciptakan. Ini adalah bentuk kecerdasan emosional dan
ketegasan yang tersembunyi. Sikap diam memberi pesan yang tegas: “Aku tahu
permainanmu, tapi aku tidak tertarik untuk ikut serta.”
Diam memungkinkan kita
mengamati dengan lebih jernih. Kita dapat melihat pola, strategi, dan kelemahan
orang yang licik tanpa harus terburu-buru menanggapi. Diam memberi ruang bagi
kebenaran untuk terungkap dengan sendirinya, karena tipu daya tidak akan
bertahan lama di hadapan waktu. Kekhasan orang licik adalah terus berusaha
membangun citra palsu.
Dalam diam, kita tidak
merendahkan diri ke level permainan yang curang. Kita tidak perlu membalas
dengan cara yang sama, karena kita tahu nilai kita lebih tinggi daripada
permainan itu. Diam bukan kelemahan, tapi kekuatan yang tak mudah diganggu.
Mereka yang diam dengan
kesadaran dan kendali penuh, padahal ia mampu menjawab, dan menguraikan
tanggapan sebagai bentuk perlawanan, namun tidak melakukannya, mereka itu
adalah pemenang. Wallahu a’lam bis-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar