Selasa, 19 Agustus 2025

Diam Pada Waktunya Adalah yang Terbaik

Oleh Mujianto, M.Pd.


Dalam kehidupan, diam sering kali disalahartikan sebagai bentuk kelemahan, ketundukan, atau bahkan kekalahan. Diam, dalam banyak konteks, justru menunjukkan kekuatan batin, pengendalian diri, dan kedewasaan emosional yang tidak dimiliki oleh semua orang.

Orang yang memilih diam bukan karena takut atau menyerah, melainkan karena ia tahu bahwa tidak semua hal perlu ditanggapi. Terkadang, diam adalah pilihan sadar untuk tidak menambah luka dalam relasi, untuk tidak menanggapi kebodohan dengan kebodohan, dan untuk menjaga martabat diri.

Ada kekuatan besar dalam memilih diam di saat yang tepat. Diam di sini bukan diartikan tidak tahu apa-apa, tetapi diam yang penuh kesadaran, diam yang memang dipilih, karena merupakan langkah cerdas. Diam bukan berarti tidak peduli, melainkan cara elegan untuk tidak ikut terbakar dalam kekacauan. Ketika situasi tak memungkinkan kita untuk didengar secara utuh, maka diam adalah bentuk kebijaksanaan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita cukup kuat untuk tidak membuktikan apa pun kepada siapa pun. Dan pada akhirnya, waktu dan kebenaran akan berbicara lebih lantang daripada semua argumen.

Diam juga memiliki batas dan konteks. Ada kalanya diam justru bisa disalahartikan jika dilakukan terus-menerus tanpa keberanian untuk bersuara ketika ketidakadilan terjadi. Oleh karena itu, diam yang bermakna bukanlah pasif atau apatis, melainkan sikap yang terkontrol, dan penuh kesadaran. Diam yang bijaksana tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berbicara.

 

Orang Licik dengan Segala Keunikannya

Menghadapi orang yang licik bukanlah perkara mudah. Selain memiliki dua wajah, mereka juga pandai memanipulasi. Mereka tahu bagaimana memancing reaksi, memutarbalikkan fakta agar menguntungkan diri sendiri, dan  akhirnya membuat orang lain yang merasa bersalah.

Sikap orang licik sangat tidak mengenakkan, selain ucapannya yang tidak bisa dipegang, hari ini berkata A, besok B, juga sering menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka buat sendiri.

Bereaksi dengan marah atau terburu-buru justru membuat kita masuk ke dalam permainan mereka. Di sinilah sikap diam menjadi senjata yang paling kuat karena ia bukan hanya menghindarkan kita dari jebakan, tetapi juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa dikendalikan oleh kelicikan.

Orang yang licik biasanya haus perhatian dan ingin melihat orang lain terpancing oleh provokasi mereka. Dengan tetap diam, kita memotong sumber kekuatan mereka. Diam bukan berarti kita tidak tahu atau tidak berdaya, melainkan kita memilih untuk tidak bermain dalam arena yang mereka ciptakan. Ini adalah bentuk kecerdasan emosional dan ketegasan yang tersembunyi. Sikap diam memberi pesan yang tegas: “Aku tahu permainanmu, tapi aku tidak tertarik untuk ikut serta.”

Diam memungkinkan kita mengamati dengan lebih jernih. Kita dapat melihat pola, strategi, dan kelemahan orang yang licik tanpa harus terburu-buru menanggapi. Diam memberi ruang bagi kebenaran untuk terungkap dengan sendirinya, karena tipu daya tidak akan bertahan lama di hadapan waktu. Kekhasan orang licik adalah terus berusaha membangun citra palsu.

Dalam diam, kita tidak merendahkan diri ke level permainan yang curang. Kita tidak perlu membalas dengan cara yang sama, karena kita tahu nilai kita lebih tinggi daripada permainan itu. Diam bukan kelemahan, tapi kekuatan yang tak mudah diganggu.

Mereka yang diam dengan kesadaran dan kendali penuh, padahal ia mampu menjawab, dan menguraikan tanggapan sebagai bentuk perlawanan, namun tidak melakukannya, mereka itu adalah pemenang. Wallahu a’lam bis-shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar