Oleh Mujianto, M.Pd.
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin.”
(HR. al-Bukhari).
Ujaran dari seorang
pemimpin sejati bukan sekadar rangkaian kata yang diucapkan di depan publik,
tetapi cerminan dari karakter, dan visi yang dipegang teguh. Kata-kata
pemimpin sejati seperti halnya mutiara, memiliki bobot moral yang kuat karena tidak lahir dari
kepentingan pribadi dan sesaat, melainkan dari kesadaran akan tanggung jawab besar yang diemban.
Ujaran seorang pemimpin
sejati tentunya tidak dimaksudkan untuk mencari tepuk tangan, ataupun sekadar
balasan ucapan terima kasih tetapi untuk membangkitkan kesadaran, dan membentuk
arah.
Pemimpin sejati memahami bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya memiliki dampak sosial yang luas. Ia tidak berbicara tanpa berpikir atau hanya untuk menangguk popularitas. Sebaliknya, ia menimbang setiap kalimat dengan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan perpecahan, kesalahpahaman, atau bahkan konflik. Ia sadar bahwa kata-kata yang keluar dari lisannya bisa menjadi alat pemersatu atau sebaliknya, penghancur.
Ciri utama ujaran
pemimpin sejati adalah kejujuran. Ia tidak menutup-nutupi fakta atau
menyembunyikan kebenaran demi menjaga citra. Di situlah integritasnya diuji, ketika
ia berani berkata benar dalam situasi yang sulit.
Lebih dari itu, ujaran
dari pemimpin sejati bersifat membangun dan menginspirasi. Ia tidak menggunakan
kata-kata untuk merendahkan, menakut-nakuti, atau mengintimidasi yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin dengan kebijaksanaan yang tinggi akan memilih
diksi yang menguatkan semangat kolektif, membangkitkan rasa percaya diri, serta
menanamkan harapan yang masuk akal dan bisa diperjuangkan bersama. Walau dalam
masa SULIT sekalipun.
Ujaran yang dilontarkan
pemimpin sejati juga mencerminkan rasa hormat terhadap keragaman. Ia tidak
mengutamakan satu kelompok dan mengabaikan yang lain. Kata-katanya merangkul
semua lapisan ataupun golongan. Pemimpin sejati mampu menggunakan redaksi bahasa
yang memperkuat semangat persatuan dan kesetaraan di tengah perbedaan.
Di era digital saat ini,
ujaran pemimpin menyebar lebih cepat dan lebih luas dari sebelumnya. Karena
itu, tanggung jawab moral atas ucapan menjadi semakin besar. Pemimpin sejati
tidak boleh terpancing untuk menyampaikan ujaran yang dangkal, provokatif, atau
menyudutkan pihak tertentu hanya karena tekanan opini publik atau kepentingan
politik jangka pendek. Ia harus mampu menahan diri dan tetap mengedepankan
kebijaksanaan, bahkan di tengah riuh rendahnya informasi yang saling bersilang.
Pemimpin sejati juga tahu
kapan saatnya berbicara dan kapan saatnya diam. Tidak semua situasi menuntut
respon cepat berupa ujaran publik. Kadang, keheningan yang tenang dan penuh
pertimbangan justru lebih bermakna daripada ucapan yang terburu-buru. Ketika ia
akhirnya berbicara, kata-katanya akan memiliki dampak yang lebih kuat karena
lahir dari kontemplasi, bukan reaksi spontan.
Ujaran dari pemimpin
sejati adalah cerminan jiwanya. Menurut Andrias Harefa Dalam buku Delapan
Langkah Menjadi Pemimpin Autentik Berintegritas, digambarkan bahwa pemimpin
autentik memiliki “compass” nilai-nilai utama yang memandu tutur kata dan
tindakan mereka secara konsisten.
Kepercayaan publik kepada
seorang pemimpin akan terbangun dari melihat integritasnya. Konsistensi antara
ucapan dan tindakan adalah tanda integritas sejati. Pemimpin tidak hanya
berbicara dengan rangkaian kalimat indah, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan nyata. Wallahu a’lam
bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar