Selasa, 26 Agustus 2025

Kepatuhan Tanpa Berpikir

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Kepatuhan adalah salah satu elemen penting dalam menjaga keteraturan sosial. Tanpa kepatuhan terhadap hukum, dan norma, masyarakat bisa terjerumus ke dalam kekacauan. Namun, terdapat sisi gelap dari kepatuhan yang jarang dibicarakan, yaitu kepatuhan tanpa berpikir.

Kepatuhan tanpa berpikir adalah bentuk kepatuhan di mana seseorang menaati perintah, atau aturan tanpa mempertanyakan validitas, etika, atau logikanya. Dalam konteks ini, kepatuhan bukan lagi cerminan tanggung jawab, melainkan penyerahan diri secara pasif terhadap kekuasaan, atau kepentingan tertentu.

Hal itu membuktikan bahwa seseorang dapat mematikan nalar dan empati dirinya sendiri hanya demi “melakukan yang diperintahkan.” Kepatuhan seperti itu menjadi ladang subur bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Kepatuhan tanpa berpikir tentu berhubungan dengan tanggung jawab moral seseorang. Seseorang sering merasa tidak bersalah, padahal ia melakukan sesuatu benar-benar salah dan cukup enteng dijawab dengan kalimat “karena saya hanya menjalankan perintah.” Dalih seperti ini sering dipakai untuk bersembunyi. Janganlah kita lupa bahwa kepatuhan tidak menghapuskan tanggung jawab pribadi, dan semua ada nilai dan dampak yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalam dunia yang kompleks ini, tantangan moral dan etika semakin rumit. Kepatuhan buta tidak lagi bisa dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Tentu, diperlukan keberanian untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah yang saya taati ini benar?” Tanpa pertanyaan kritis seperti itu, seseorang hanya akan bergerak seperti robot, patuh tapi tidak sadar, hidup tapi tidak merdeka.

 

Terjadi di Banyak Institusi, Termasuk Lembaga Pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, guru seharusnya menjadi agen perubahan dan pembimbing moral yang aktif berpikir kritis. Namun, realitas di banyak sekolah menunjukkan hal sebaliknya, guru justru kerap menjadi pelaksana pasif kebijakan sekolah tanpa mempertanyakan relevansi, efektivitas, atau dampaknya terhadap peserta didik.

Dalam hal kepatuhan, guru mempunyai cobaan tersendiri. Sebagai seorang bawahan atau pelaksana, tentunya siap menjalankan perintah dari kepala satuan pendidikannya maupun sistem yang lebih tinggi. Namun, kepatuhan sebaiknya tetap dibarengi dengan nalar kritis, bukan tentang menawar tugas yang diberikan, tetapi berpikir mendalam, sebagai bentuk perhatian menemukan celah, apakah kebijakan ini akan baik bagi satuan pendidikannya?, dan adakah sesuatu cara yang lebih hebat dari itu?. Nalar kritis ini akan kembali kepada kualitas dan kemajuan lembaga, walaupun tidak mudah untuk dilakukan, karena membutuhkan keberanian dan kecerdasan.

Pada lembaga dengan sistem manajemen yang baik, guru akan diberikan ruang, dipersilakan mempertanyakan kebijakan secara konstruktif. Guru pun bisa menjalankan perannya sebagai pendidik sejati, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mampu memperjuangkan kualitas pendidikan yang lebih baik.

Mendorong guru untuk berpikir kritis terhadap kebijakan bukan berarti mendorong pembangkangan, melainkan menghidupkan kembali profesionalisme. Sekolah bukanlah pabrik yang hanya menjalankan instruksi, tetapi komunitas intelektual. Ketika guru hanya patuh tanpa berpikir, maka pendidikan kehilangan jiwanya.

Agama Islam sangat menghargai akal dan pikiran sebagai alat untuk memahami sesuatu yang benar dan yang salah. Rasulullah SAW. pun mendorong umatnya untuk bertanya dan mencari ilmu. Dalam Surah Al-Zumar ayat 9 disebutkan: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” Ini menjadi dalil bahwa kepatuhan yang ideal dalam Islam adalah yang dilandasi oleh pemahaman dan kesadaran,

Kembali kepada dunia pendidikan, pendidikan tidak hanya mengajarkan murid dari yang tidak bisa menjadi bisa tentang sesuatu hal, tetapi juga membangun kesadaran kritis, berpikir mendalam, menumbuhkan keberanian moral dan tanggung jawab individu. Wallahu a’lam bis-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar