Minggu, 25 Mei 2025

Karya Buku

 

Karya Buku

Antologi

Kumpulan Artikel 

“Waktu Tak Akan Kembali”


Kumpulan Artikel 

“Jejak-Jejak Para Tokoh”

 

Kumpulan Artikel 

“Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Masa Depan”

 


 

Kumpulan Cerpen 

“Mendidik dengan Cinta Berbuah Bahagia”


Kumpulan Puisi 

“Tujuh Hari dalam Giat Puisi



Karya Solo

“Dirimu Adalah Masa Depanmu”



Kamis, 22 Mei 2025

Profil Kang Muji


Nama                             : Mujianto, M.Pd.

Tempat, tanggal lahir       : Gresik, 8 Juni 1986

Alamat                           : Jl. Kolonel Sugiono no.36, Wedoro Timpian, Waru Sidoarjo

No. WA.                        : 085649217891

Jenis kelamin                  : laki-laki

Agama                           : Islam

Status                             : Menikah

Pendidikan terkhir           : S2/tahun 2019

 

Pendidikan Formal:

  1. S2 Pendidikan Agama Islam, Universitas Sunan Giri lulus tahun 2019
  2. S1 Pendidikan Agama Islam, STAI Taswirul Afkar lulus tahun 2014
  3. SMA Assa’adah, Bungah, Gresik lulus tahun 2005
  4. SMP NU-1 Gresik lulus tahun 2002
  5. MI Da’watul Khoiriyyah lulus tahun 1999

 

Pendidikan Pesantren dan Pelatihan:

1. Pesantren Al-Ishlah Bungah, Gresik

2. Sertifikasi Public Speaking dengan gelar C.Ps. dari Lembaga Action Training Indonesia

 3. Sertifikasi Motivator dengan gelar non akademik C.Mt. dari Lembaga Action Training Indonesia

4. Pelatihan Menulis Artikel di Rumah Menulis Alqalam

5. Pelatihan Menulis Artikel dan Esai di WR. Academy Angkatan 10

Prestasi:

1. Juara 1 Lomba menulis Artikel Opini Tema Kurikulum 2013, Yayasan AL Muslim Jatim

 2. Juara 2 Lomba menulis Cerita Inspiratif Ramadan Bersama Al-Qur’an, Yayasan Cinta Al-Qur’an Ar-Rasyid, Jakarta, th. 2021.

3. Juara favorit 1 Lomba Penulisan Blog, KKG PAI Surabaya th. 2021.

4. Juara 3 Lomba Pembelajaran Daring KKG PAI Sukolilo th. 2022

Pengalaman Mengajar :

  1. Guru al-Qur’an di TPQ al-Karomah Wiyung Surabaya th. 2006-2014
  2. Guru al-Qur’an di yayasan Al- Muslim Sidoarjo th. 2010-2012
  3. Koordinator al-Qur’an di SMP-SMA Al Muslim Sidoarjo th. 2013-2015
  4. Koordinator al-Qur’an di SD Islam Raden Patah Surabaya th. 2019-2024
  5. Guru PAI di SD Islam Raden Patah Surabaya th. 2016-sekarang

Rabu, 21 Mei 2025

KEMATANGAN EMOSI

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Dan sesungguhnya, Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”

(QS. An Najm : 43)

 

Emosi adalah inti dari pengalaman manusia yang paling mendasar, berperan sebagai jembatan antara pikiran, tubuh, dan lingkungan sosial. Setiap emosi mengandung informasi penting yang membantu individu menafsirkan situasi dan membuat keputusan yang adaptif. Misalnya, rasa cemas bisa menjadi sinyal akan adanya ancaman yang perlu diantisipasi, sementara rasa bahagia bisa menjadi petanda Tindakan seseorang diterima oleh orang di sekitarnya atau ia sedang menerima sesuatu yang disenangi.

Emosi bukanlah sesuatu yang statis atau tunggal, ia sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, budaya, dan konteks sosial. Cara seseorang mengekspresikan atau mengelola emosi sering kali mencerminkan nilai-nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.

 

Kematangan Emosi Tidak Berbanding Lurus dengan Tingkatan Usia

Kematangan emosi sering kali dikaitkan dengan usia. Semakin tua seseorang, semakin bijak ia dianggap. Namun kenyataannya, usia tidak selalu berjalan seiring dengan kedewasaan emosional. Ada orang muda yang mampu bersikap tenang dan dewasa menghadapi konflik, sementara ada pula yang sudah berumur namun masih reaktif dan egois. Ini membuktikan bahwa kematangan emosi bisa dicapai lebih cepat, asalkan seseorang secara sadar mau belajar dan mengembangkan dirinya.

Menurut Elizabeth Bergner Hurlock dalam buku Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, kematangan emosi adalah hasil dari proses perkembangan yang ditandai dengan kemampuan untuk bertindak secara realistis, stabil secara emosional, serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fleksibel.

Kunci utama dalam mempercepat kematangan emosi adalah kesadaran diri (self-awareness). Seseorang yang mau mengenali pola pikir dan perasaan pribadinya lebih terbuka terhadap refleksi dan perubahan. Ini bisa dimulai dari hal sederhana seperti mencatat emosi harian, menyadari reaksi terhadap stres, hingga bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang bisa saya pelajari dari situasi ini?” Kesadaran ini membuat seseorang lebih mampu mengelola emosinya secara dewasa, meskipun usianya masih muda.

Kematangan emosi bukan hasil dari jumlah berapa kali ulang tahun yang dirayakan, tapi dari kesediaan untuk terus belajar, berintrospeksi, dan membuka diri terhadap pengalaman hidup. Kita tidak harus menunggu tua untuk menjadi dewasa secara emosional.

Lingkungan juga berperan penting. Mereka yang tumbuh dalam keluarga atau komunitas yang mendukung komunikasi terbuka, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk belajar dari kesalahan, cenderung lebih cepat berkembang secara emosional. Di sisi lain, pengalaman sulit seperti menghadapi kegagalan, konflik, atau kehilangan, bila direspon dengan sikap terbuka dan reflektif, juga bisa menjadi pemicu percepatan kematangan emosi. Pengalaman-pengalaman ini memperkaya sudut pandang dan melatih ketahanan batin.

 

Melihat Masalah dari Sudut Pandang yang Beragam

Anak muda yang mudah berempati dan terbiasa melihat dunia dari sudut pandang orang lain akan lebih mudah mengembangkan sensitivitas sosial. Ini memperkaya interaksi dan menjauhkan dari sikap egois. Latihan empati bisa dilakukan melalui membaca, berdiskusi, terlibat dalam kegiatan sosial, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi. Semakin luas pengalaman sosial yang dimiliki, semakin cepat pula seseorang bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang secara emosional.

Membangun kematangan emosi juga menuntut kemampuan untuk mengelola masalah yng datang dan menunda kepuasan. Dalam era digital yang serba instan, kemampuan ini menjadi sebuah kelebihan tersendiri. Melatih disiplin diri, seperti menahan emosi saat marah atau memilih kata-kata dengan hati-hati saat berdiskusi, seseorang mulai membentuk kontrol diri yang kuat. Inilah fondasi dari kedewasaan emosional: bertindak bukan karena emosi sesaat, tapi karena kesadaran nilai dan tujuan jangka panjang.

Siapa pun, secepat mungkin bisa tumbuh lebih dewasa dan matang secara emosional. Melangkah lebih tenang, bijak, dan terkendali, demi membangun hubungan yang lebih sehat dan hidup yang lebih bermakna. Wallahu a’lam

Kamis, 08 Mei 2025

MEMANGKAS KETERBATASAN


Oleh Mujianto, M.Pd.


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar." (Q.S. Al-Baqarah: 155)

 

Kita pasti pernah merasakan situasi seperti ini, merasa rendah diri karena tidak mempunyai amalan hebat ataupun sebuah karya yang bermanfaat untuk sebuah wasilah menuju impian yang begitu tinggi seperti surga.

Kita pun takjub dan minder melihat orang-orang yang menyumbangkan hartanya dalam jumlah besar, ada yang sudah menyelesaikan hafalan 30 juz al-Qur’an, ada yang telah mempelajari dan hafal ratusan bahkan ribuan hadis, lalu ada yang terlampau baik dengan akhlak dan ilmunya, juga ada yang bertaruh nyawa bersungguh-sungguh berjuang dengan jabatan yang diamanahkan kepadanya. Semua terasa mustahil bagi kita untuk bisa menirunya.

Perjalanan menuju surga bukanlah jalan yang mulus dan bebas hambatan. Ia dipenuhi ujian, dan rintangan. Karakter sebagian manusia dominan akan rasa minder karena merasa banyak keterbatasan pada dirinya. Keterbatasan ini bisa berupa kelemahan diri, kesalahan masa lalu, atau keterbatasan ilmu. Namun, Islam tidak pernah menuntut kesempurnaan, yang dituntut adalah kesungguhan. Maka memangkas keterbatasan bukan berarti menghapuskan semua kekurangan, tetapi mengelolanya agar tidak menjadi alasan untuk menyerah. Keterbatasan justru bisa menjadi ladang pahala ketika dihadapi dengan kesabaran dan tawakal kepada Allah.

Memangkas keterbatasan juga berarti menjadikan kelemahan sebagai peluang untuk mendekat kepada Allah. Ketika merasa tidak mampu, saat itulah hati diajak untuk bersandar penuh kepada-Nya. Allah tidak melihat hasil semata, tapi perjuangan dan keikhlasan dalam proses. Seseorang yang berjalan dengan terseok-seok namun tetap istiqamah, lebih mulia dari mereka yang berhenti meski pernah berlari kencang. Oleh karena itu, tidak perlu menunggu sempurna untuk melangkah menuju surga. Bahkan dalam keterbatasan, Allah telah menyiapkan rahmat dan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang terus berusaha.

Mari kita perhatikan hadis Nabi. “Dari Jabir berkata: Aku mendengar nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga oleh amalnya dan tidak juga diselamatkan dari neraka karenanya, tidak juga aku kecuali karena rahmat dari Allah.” (HR. Muslim).

Surga bukanlah milik mereka yang tidak pernah jatuh, tapi milik mereka yang terus bangkit dan memperbaiki diri. Semangat menuju surga adalah bentuk cinta kepada Allah dan rindu akan kehidupan abadi yang dijanjikan-Nya. Dengan niat yang benar, usaha yang terus diperbarui, dan doa yang tidak putus, setiap langkah kecil akan menjadi saksi besar di hadapan-Nya kelak. Wallahu a’lam.

                        Surabaya, 8 Mei 2025

 

Rabu, 07 Mei 2025

HARTA YANG PALING BERHARGA

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Berbicara tentang harta, sebagian besar orang tertuju pada uang dan aset yang dimiliki. Seperti tanah, bangunan, kendaraan ataupun perhiasan.

Kebanyakan orang berlomba-lomba mencari pekerjaan yang baik dengan gaji yang tinggi, lalu punya ini dan itu, selain agar dikatakan berhasil, juga sebagai bentuk garansi kesuksesan yang diperjuangkan. Hal itu tidak salah, namun jika membuat seseorang menjadikan dunia sebagai poros kehidupan dan harta sebagai faktor kesuksesan yang sesungguhnya tentu itu keliru.

Miskin belum tentu menemui kesengsaraan, kaya pun belum tentu mendapatkan kebahagiaan. Inilah salah satu kenyataan yang sering diabaikan.  

Pemaknaan yang lebih mendalam tentang harta menunjukkan bahwa nilai sejatinya tidak selalu terletak pada hal-hal yang bisa dihitung atau disentuh. Harta sejati bisa berupa waktu, kesehatan, ilmu, keluarga atau hubungan yang bermakna tanpa tendensi dengan orang di sekitar kita.

Dalam kehidupan yang kompetitif ini, banyak orang menyadari bahwa kebahagiaan sejati justru berasal dari hal-hal yang tidak dapat dibeli. Ketika seseorang kehilangan kesehatan atau waktu bersama keluarga, barulah ia menyadari betapa berharganya hal-hal tersebut dibandingkan dengan kekayaan materi.

Dalam konteks spiritual, harta yang berharga adalah kedekatan seseorang dengan Tuhan dan kedamaian batin yang lahir dari kehidupan yang lurus. Banyak ajaran agama menekankan bahwa kekayaan duniawi bersifat fana, sementara amal baik, keikhlasan, dan keimanan adalah bekal sejati yang akan bertahan hingga akhirat. Maka dari itu, pemahaman tentang harta yang berharga membutuhkan refleksi yang jujur, apakah kita mengejar sesuatu yang benar-benar abadi, atau hanya terpaku pada kesenangan sesaat? Dengan memahami hal ini, manusia tidak akan salah dalam melangkah dalam mengisi hari-hari kehidupannya.

Salah satu penyesalan terbesar ketika manusia berada di alam kubur adalah ia baru menyadari bahwa ia tidak membawa apa-apa, tanpa membawa bekal. Harta yang ia usahakan dengan banting tulang tidak berdampak apa-apa untuk kehidupan setelah di dunia.. Yang salah bukan hartanya tetapi orientasi dan penggunaannya. Harta hanya dimaknai sebagai pemuas dahaga dunianya saja, tidak bernilai akhirat.

Pada sudut pandang sebagai orang tua, perlu disadari bahwa aset yang ia butuhkan adalah anak yang salih. Anak yang bekal ilmu agamanya memadai dan akan terus mendoakan orang tuanya. Dengan kesadaran ini, orang tua yang bijak tidak akan terlampau marah dan kecewa jika anak tak berhasil dalam karirnya, atau tidak disebut orang kaya di kampungnya.

Anak salih adalah harta, kesehatan adalah harta, dan waktu yang tersisa ini adalah harta. Janganlah bersedih, berbahagialah selalu untuk menyongsong kehidupan berikutnya!

                        Surabaya, 7 Mei 2025

 

Minggu, 04 Mei 2025

NEPOTISME

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

"Semua kebijakan dapat diukur dengan keadilan."

(Aristoteles)

 

Siapapun orangnya saat punya jabatan, kedudukan tertentu atau kehidupan yang lebih baik pasti punya naluri ingin membantu atau menata kehidupan sanak keluarganya. Seperti memberi pekerjaan, menempatkan posisi yang strategis atau minimal memberi informasi atau arahan tertentu yang bermanfaat.   

Namun, kita juga tidak ingin membahagaikan sanak keluarga kita itu dengan cara yang tidak baik. Seperti tanpa melalui proses yang semestinya atau menabrak sebuah peraturan karena sedang punya pengaruh penting. Jangan sampai terjadi, saat kita memberikan sesuatu kepada keluarga ada hak orang lain yang terambil. Betapa sedihnya orang lain itu. Ia tidak terpilih bukan karena ia tidak cakap atau tidak lolos prosesnya tetapi karena ia tidak punya keluarga (orang dalam) di sana yang bisa memilihnya. Kita pun termasuk orang yang sudah melakukan perbuatan nepotisme, suatu perbuatan yang dilarang oleh agama.

Pada kondisi seperti ini kita sedang diuji dengan jabatan dan kedudukan, sehingga harus ada kekuatan untuk menahan diri walau kita sedang mempunyai jabatan yang dirasa dengan posisi itu mudah sekali untuk menempatkan atau mengangkat keluarga kita pada posisi tertentu.

Menurut KBBI, nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah: tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

            Rasulullah pernah menyinggung terkait Nepotisme dalam Hadis sahih riwayat al - Bukhari (1987: no 3508): "Dari Husaid bin Hudairi r.a., seorang sahabat dari kaum Anshar berkata kepada Rasululllah SAW : Tidaklah engkau angkat aku sebagai amil sebagaimana si fulan?” Rasul menjawab : "Kalian akan menjumpai sepeninggalku tindakan mengutamakan kepentingan sendiri (sikap nepotisme), maka sabarlah kalian sampai bertemu denganku di telaga al-Kautsar (di hari kiamat).” 

 

Bertentangan dengan Prinsip Keadilan

             Islam sangat menekankan pentingnya berlaku adil dalam semua aspek kehidupan. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa: 58).

Nepotisme mengabaikan nilai keadilan karena memberikan kesempatan berdasarkan hubungan, bukan kompetensi atau kemampuan. Nepotisme bisa menyerang siapa saja, tanpa menunggu seseorang mempunyai kedudukan dan jabatan yang tinggi. Semua mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. Pilihan jalan terbaik ada di depan mata. Jalan menuju rida-Nya. Wallahu a’lam

 Senin, 5 Mei 2025