Oleh
Mujianto, M.Pd.
Berbicara
tentang harta, sebagian besar orang tertuju pada uang dan aset yang dimiliki. Seperti tanah, bangunan, kendaraan ataupun perhiasan.
Kebanyakan
orang berlomba-lomba mencari pekerjaan yang baik dengan gaji yang tinggi, lalu
punya ini dan itu, selain agar dikatakan berhasil, juga sebagai bentuk garansi
kesuksesan yang diperjuangkan. Hal itu tidak salah, namun jika membuat
seseorang menjadikan dunia sebagai poros kehidupan dan harta sebagai faktor
kesuksesan yang sesungguhnya tentu itu keliru.
Miskin
belum tentu menemui kesengsaraan, kaya pun belum tentu mendapatkan kebahagiaan.
Inilah salah satu kenyataan yang sering diabaikan.
Pemaknaan
yang lebih mendalam tentang harta menunjukkan bahwa nilai sejatinya tidak
selalu terletak pada hal-hal yang bisa dihitung atau disentuh. Harta sejati
bisa berupa waktu, kesehatan, ilmu, keluarga atau hubungan yang bermakna tanpa tendensi
dengan orang di sekitar kita.
Dalam
kehidupan yang kompetitif ini, banyak orang menyadari bahwa kebahagiaan sejati
justru berasal dari hal-hal yang tidak dapat dibeli. Ketika seseorang
kehilangan kesehatan atau waktu bersama keluarga, barulah ia menyadari betapa
berharganya hal-hal tersebut dibandingkan dengan kekayaan materi.
Dalam
konteks spiritual, harta yang berharga adalah kedekatan seseorang dengan Tuhan
dan kedamaian batin yang lahir dari kehidupan yang lurus. Banyak ajaran agama
menekankan bahwa kekayaan duniawi bersifat fana, sementara amal baik,
keikhlasan, dan keimanan adalah bekal sejati yang akan bertahan hingga akhirat.
Maka dari itu, pemahaman tentang harta yang berharga membutuhkan refleksi yang
jujur, apakah kita mengejar sesuatu yang benar-benar abadi, atau hanya terpaku
pada kesenangan sesaat? Dengan memahami hal ini, manusia tidak akan salah dalam
melangkah dalam mengisi hari-hari kehidupannya.
Salah satu penyesalan terbesar ketika manusia berada di alam kubur adalah ia baru menyadari bahwa ia tidak membawa apa-apa, tanpa membawa bekal. Harta yang ia usahakan dengan banting tulang tidak berdampak apa-apa untuk kehidupan setelah di dunia.. Yang salah bukan hartanya tetapi orientasi dan penggunaannya. Harta hanya dimaknai sebagai pemuas dahaga dunianya saja, tidak bernilai akhirat.
Pada
sudut pandang sebagai orang tua, perlu disadari bahwa aset yang ia butuhkan
adalah anak yang salih. Anak yang bekal ilmu agamanya memadai dan akan terus
mendoakan orang tuanya. Dengan kesadaran ini, orang tua yang bijak tidak akan
terlampau marah dan kecewa jika anak tak berhasil dalam karirnya, atau tidak
disebut orang kaya di kampungnya.
Anak
salih adalah harta, kesehatan adalah harta, dan waktu yang tersisa ini adalah
harta. Janganlah bersedih, berbahagialah selalu untuk menyongsong kehidupan berikutnya!
Surabaya,
7 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar