Rabu, 06 Agustus 2025

Ikhtiar Seorang Guru: Mengantarkan Anak-Anaknya ke Pintu Kesuksesan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.


Sering saya temui seorang guru dengan kesederhanaannya. Kondisi keuangannya yang tidak berlebih, ternyata mampu mengantarkan anaknya menempuh pendidikan tinggi, bahkan perguruan tinggi favorit di luar negeri.

Salah satunya, adalah tetangga saya, seorang guru agama di MI. Katakanlah nama beliau pak Solichin (nama disamarkan), dua anak beliau mendapatkan beasiswa kuliah di al-Azhar Kairo, Mesir. Menurut saya, itu hal yang luar biasa. Luar biasanya, beliau sudah disibukkan dengan tugas mengajarnya, mengurusi murid-murid di sekolah, lalu kapan ada waktu untuk anaknya sendiri di rumah, saat di pendidikan dasar dulu? Walaupun, di pendidikan menengah, anak beliau masuk pesantren. Amalan apa yang bisa membuat si anak dimudahkan oleh Allah dalam menempuh pendidikannya?

Ada rasa ingin tahu pada diri ini. Apa ikhtiar beliau? Tentu ada rahasia yang luar biasa, yang menjadi pembeda dengan orang tua lainnya, khususnya orang tua yang profesinya menjadi seorang guru, yang ingin menjadikan anaknya sukses dunia dan akhiratnya. Padahal, tidak ada cukup waktu untuk menemani anaknya.

Seorang guru adalah pelita bagi murid-muridnya, namun ia juga seorang ayah atau ibu bagi anak-anaknya sendiri. Dalam keseharian, guru menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengajarkan ilmu kepada anak orang lain.

Di balik peran profesional itu, tersimpan harapan dan doa yang dalam, agar ilmu yang ditanamkan kepada murid juga berbuah kebaikan bagi anak kandungnya, anaknya sendiri. Inilah bentuk ikhtiar yang luhur, menjadikan profesi sebagai ladang doa, dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh, sebagai jalan keberkahan bagi keluarga.

Dalam pandangan spiritual, setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk kebaikan yang tak selalu disangka. Ketika seorang guru bersungguh-sungguh membimbing murid hingga mereka paham, tumbuh, dan berhasil, sesungguhnya ia sedang menanam benih yang bisa tumbuh di tempat lain, termasuk dalam kehidupan anaknya sendiri.

Islam mengajarkan bahwa siapa yang memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya. Maka ketika seorang guru memudahkan jalan ilmu bagi murid, itu bisa menjadi sebab Allah memudahkan jalan ilmu bagi anaknya.

Tak sedikit guru yang saat mengajar muridnya, diam-diam menyelipkan doa dalam hatinya, “Ya Allah, seperti aku ingin anak ini paham, semoga Engkau juga memahamkan anakku di tempat lain.” Doa seperti ini, meski tak terdengar oleh murid, adalah bentuk zikir yang tinggi nilainya.

Seorang guru bukan hanya pengajar di kelas, tetapi juga seorang pendidik yang menanam nilai-nilai kehidupan. Dalam peran gandanya sebagai guru dan orang tua, ada sebuah ikhtiar mulia yang kerap luput disadari.

Bahwa dengan mencerdaskan murid, sesungguhnya seorang guru sedang membuka jalan kecerdasan bagi anaknya sendiri. Ini adalah bentuk amal yang berbalik manfaatnya, saat seorang guru bersungguh-sungguh mencerdaskan anak orang lain, Allah akan mencerdaskan anaknya lewat jalan-jalan yang tak selalu kasatmata.

Namun sebaliknya, jika seorang guru mengajar dengan setengah hati, abai terhadap murid, dan tidak sungguh-sungguh, maka ikhtiar kebaikan itu pun terhenti. Ia tidak hanya menyia-nyiakan amanah profesinya, tetapi juga menutup jalan keberkahan yang bisa kembali kepada keluarganya. Guru yang bersikap demikian, bisa berimbas ke anaknya sendiri. Seringkali, anaknya mengalami tantangan yang tak kecil dalam belajar, tidak karena mereka bodoh, tetapi karena keberkahan itu tak mengalir sebagaimana mestinya. Ini bukan hukuman, tetapi teguran halus bahwa kebaikan harus dimulai dari diri sendiri.

Guru yang jujur, sabar, dan ikhlas dalam mengajar, sedang membuka jalan luas bagi anak-anaknya untuk tumbuh dalam cahaya ilmu dan nilai. Dan siapa yang menanam cahaya, takkan pernah hidup dalam gelap karena kebaikan selalu menemukan jalannya untuk kembali kepada pemiliknya. Wallahu a’lam bis-shawab.