Senin, 27 Agustus 2018

Menjadi Guru Penulis


Oleh: Mujianto, M.Pd.

Ketika kita mendengar atau melihat informasi tentang seseorang dengan karya tulisnya yang banyak, tentu ada rasa kepingin di benak kita. Ingin dalam artian bisa menirunya. Punya kemampuan untuk menulis dan menghasilkan karya. Apalagi karya tulis itu sudah dicetak atau diterbitkan. Sungguh membahagiakan. Senada dengan kata mutiara yang disampaikan oleh sayyidina Ali.

"Semua orang akan mati kecuali karyannya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak" (Ali bin Abi Thalib)

 

Seorang guru tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Namun, tidak hanya sekadar rasa ingin, tetapi sudah dalam tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu memunculkan pemahaman pada dirinya bahwa guru harus punya kemampuan menulis. Tentunya yang saya maksud adalah menulis dalam arti luas. Seperti menulis karya ilmiah, opini, esai, karya sastra, dll.  Tapi pada kenyataanya masih sangat sedikit guru yang melakukannya. 

 

Saya yakin setiap guru punya kemampuan menulis. Akan tetapi kemampuan dan kemauan kadang tidak berjalan seimbang. hal itu disebabkan karena motivasinya yang relatif rendah, mungkin karena pengaruh lingkungan. Padahal, peluang guru menjadi seorang penulis sangatlah besar. Tentunya dengan kebiasaan guru membaca materi pelajaran sebelum mengajar menjadi modal pokok seorang guru menjadi penulis. Guru bisa mengawali menulis pelajaran yang dia ajarkan sendiri.

 

“Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.

 

Itulah ungkapan dari seorang Hernowo, penulis buku Mengikat Makna: Kiat-kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis. Bahwa kemampuan menulis memang harus diiringi dengan kebiasaan membaca. Dengan membaca, rohani kita akan mendapatkan ‘gizi’ yang baik. Apalagi program literasi di sekolah semakin digaung-gaungkan oleh Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) satu tahun ini.  Hal Ini bisa menjadi spirit tersendiri bagi seorang guru, yang tidak hanya sebagai warga sekolah tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai teladan. Kita tidak bisa serta merta menyuruh peserta didik untuk aktif membaca hingga berani menulis, sedangkan Anda sebagai guru tidak mau ikut larut di dalamnya, memberi contoh senang membaca dan berusaha membuat suatu karya tulis.

 

Saya pun aktif mencermati siapa sosok pemenang di event lomba Guru Berprestasi yang dulu disebut Guru Teladan. Ternyata sang juara adalah mereka yang aktif menulis baik di media cetak atau elektronik. Seperti Ahmadiyanto, peraih Juara Pertama Guru Berprestasi Jenjang SMP Tingkat Nasional 2017. Seorang guru PKn di SMPN 1 Lampihong Kab. Balangan berhasil mengharumkan nama Balangan dan Kalimantan Selatan di tingkat Nasional. Diketahui ia merupakan sosok yang gemar menulis termasuk artikel untuk media cetak sebelum mulai aktif mengikuti berbagai lomba guru.

 

Tulisan sederhana ini hanya untuk penyemangat bagi saya pribadi dan teman-teman guru, agar berperan aktif pada program literasi sekolah. Peserta didik butuh figur teladan untuk mengantarkan mereka memahami slogan bahwa membaca membuka cakrawala dunia itu apakah benar?, dan buku adalah jendela dunia itu apakah ya?. Mari kita jawab dengan karya! Memang menulis itu tidak mudah tapi harus segera dimulai agar menjadi terbiasa, karena semuanya butuh latihan, dan latihan. Wallahu a’lam.

 







Minggu, 19 Agustus 2018

Memaknai Kemerdekaan Seutuhnya



Oleh: Mujianto

Kita yang Belum Pernah Ikut Berperang

Memahami adalah langka awal dalam melakukan suatu hal. Pemahaman yang baik akan menghasilkan suatu yang baik pula. Terkait kemerdekaan, kita yang beruntung ini, kaum muda yang belum pernah merasakan perihnya penyiksaan, kejamnya pembunuhan, dan dasyatnya peperangan, tentu pemahaman tentang sebuah kemerdekaan tidak ‘setebal’ mereka para pejuang yang dengan gigih mempertahankan tanah air.
Peluru senjata api yang menembus anggota badan para pejuang memahamkan pada mereka bahwa badan yang sehat itu adalah anugerah. Sedangkan kerja paksa, perampasan dan pengasingan mengingatkan pada mereka bahwa kebebasan berpendapat, berkarya, dan menentukan nasib sendiri itu adalah segalanya. Mereka memahami dan terus berjuang menyudahi itu semua, agar jangan sampai anak-anak keturunannya dan rakyat Indonesia merasakan penderitaan yang sama.
            Kita yang belum pernah hidup pada masa penjajahan disarankan untuk mencoba merenung dalam kesendirian, membayangkan hingga muncul pemahaman lebih dalam mengenai perjuangan para pahlawan yang atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa diraihlah kemerdekaan.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas dan tidak terjajah lagi.
            Dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan berarti rakyat Indonesia bebas dari segala penjajahan bangsa asing, terutama kolonialisme Belanda yang 3,5 abad telah menduduki dan menjajah bangsa Indonesia dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah. Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia bebas menentukan  hidupnya secara mandiri tanpa dicampuri bangsa lain.
            Pertanyaan besar muncul. Apakah Indonesia benar-benar merdeka, khususnya merdeka dari pengaruh asing? Terutama kebijakan-kebijakan pemerintahannya?
            Atas nama investasi, tambang emas, kilang minyak, gas alam semuanya dikelola oleh pihak asing. Dan hasilnya sebagian besar dibawa mereka. Inilah yang disebut dengan penjajahan tidak langsung atau kita masih belum merdeka secara substansial. Bukannya kita hidup tidak bersosial, dengan tidak membutuhkan negara lain tetapi kemandirianlah yang perlu kita tonjolkan. Bahwa kita mampu bekerja dan berkarya untuk mengelola SDA kita sendiri.

Belajar dari Sejarah

            Ada hikmah besar di balik kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan baru untuk melakukan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia belum bisa mengisi kemerdekaan, bangsa ini masih tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya, karena masih ada negara yang tidak mengakui kedaulatan pemerintahan Republik Indonesia. Yaitu tentara Jepang dan sekutu. Seperti Pertempuran Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang tanggal 15 Oktober 1945, dan Pertempuran Ambara tanggal 15 Desember 1945.
            Setelah begitu susahnya meraih kemerdekaan dan mempertahankannya, kita rakyat Indonesia harus mampu berjuang pula dalam mengisinya. Berjuang sesuai dengan kemampuan dan profesi kita masing-masing.  Terutama mampu ‘membaca’ ulang sejarah menjadikannya sebagai dasar berprilaku.
Sejarah menjadi catatan terbaik untuk melangkah mau dibawa kemana negeri ini. Kolonialisme mengajarkan ketidakmanusiaan, kebengisan dan ketidakadilan. Ini sebuah tamparan keras bagi para elit yang duduk di pemerintahan agar tidak mengulang kembali ajaran kolonialisme, tetapi berjuang berusaha menyejahterakan rakyat. Berpura-pura bertindak atas nama rakyat, tetapi nyatanya hanya kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Sebagai penutup tulisan ini, dalam konsep Islam, kita diingatkan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap manusia, tetapi ada batasnya. Para pahlawan yang di antaranya adalah para ulama mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah anugerah yang dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ untuk berbuat baik, membenahi diri, peduli sesama dan mengutamakan kepentingan bangsa, serta mengutamakan kehidupan akhirat.  Dalam Al-Qur’an surat An-Naazi’at ayat 37, “Orang yang malampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya neraka adalah tempat tinggalnya”. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat!

Rabu, 08 Agustus 2018

Syukur Itu Bergerak dan Menggerakkan


0leh: Mujianto

Seratus kali dalam sehari saya mengingatkan diri bahwa kehidupan lahir batin saya bergantung pada pekerjaan orang lain, baik yang hidup maupun yang mati, dan bahwa saya harus memacu diri saya agar memberikan yang setara dengan yang sudah saya terima dan masih terus saya terima ini.” Albert Einsten (1879-1955). 

Ungkapan di atas adalah jawaban dari Albert Einstens, salah satu ilmuwan terbesar yang pernah hidup, ketika ditanya tentang pencapaian tertingginya. Ternyata bukan temuan-temuannya, tetapi mengucapkan terima kasih kepada orang lain bagi Einstens adalah pencapaian yang tertinggi.

Terima kasih adalah ungkapan syukur yang dikeluarkan dari lisan yang digerakkan dari hati untuk dilanjutkan ke syukur perbuatan. Allah SWT Maha Tahu bahwa sedikit sekali hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Allah SWT memberikan balasan yang berlimpah bagi mereka yang menggunakan dengan maksimal segala nikmat yang sudah diberikan-Nya dan mengancam dengan adzab yang pedih. Ini jelas bahwa ada hukum tarik menarik (law of attraction) dalam firman-Nya, bahwa setiap pribadi yang bersyukur akan Dia tambah nikmat kepadanya.

Kajian mengenai syukur begitu sering dikumandangkan. Baik melalui media maupun di mimbar dakwah. Namun terasa lewat begitu saja.  Di antara hal yang menyebabkan banyak orang tidak bertahan dalam rasa syukur adalah meningkatnya rasa cemas dan lemahnya motivasi meningkatkan kualitas diri melalui apa yang sudah dimilikinya. Oprah Winfrey punya konsep sederhana yang ia pegang untuk menjalani hari-hari dalam kehidupannya. Yaitu jika Anda fokus pada apa yang tidak Anda miliki, Anda tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apapun. Sering kita mendengar atau mungkin juga kita mengalami hal mirip dengan fenomena ini. Di desa, ketika ada seorang anak melihat pesawat terbang lewat di atas kampungnya, si anak ini berkata kepada bapaknya. Dalam bahasa jawanya seperti ini. “Pak, iku montor molok yo Pak, aku kepingin numpak iku Pak”. Si bapak kemudian dengan cepat menjawab, “wis talah le, duwet teko endi, iku ngono sing iso numpak wong sugeh-sugeh, duwete akeh, lah awakmu iku ono sing dipangan dino iki ae wis untung, disyukuri ae, gak usah aneh-aneh.''  Ini adalah cara bersyukur yang kurang benar. Syukur diartikan menerima saja. Sampai-sampai si anak takut punya impian.

Ketika kebanyakan orang merasa lemah, kekurangan, dan memandang orang lain lebih beruntung. Maka orang ini dalam posisi diam, tidak bergerak, keinginan atau impian saja sebagai pendobrak awal perubahan sudah tidak dipunyai, apalagi berfikir atau berusaha sebagai bentuk ‘bergerak’ ke arah yang lebih baik. Maka ketika tidak ada pergerakan dari hamba-hamba-Nya, maka bisa jadi Allah tidak akan menggerakkan keajaiban-keajaibannya. 
  

Ada sebuah kisah menarik di zaman Nabi Musa. Pada suatu hari Nabi Musa didatangi seseorang dari kaumnya yang bernama Sa’id. Sa’id ini adalah saudagar kaya. Kekayaanya berlimpah. Ia bermaksud meminta resep ke Nabi Musa supaya kekayaannya tidak bertambah lagi atau bahkan dikurangi. Karena ia takut kekayaannya menyebabkan dirinya menunggu lama di hari penghisaban. Nabi Musa pun menjawab, memberikan resepnya, “jangan sekali-kali mengucapkan alhamdulillah.” Kontan saja si Sa’id kaget dan berkata, “bagaimana saya bisa tidak mengucapkan alhamdulillah, sedangkan segala nikmat dan apa yang sudah saya miliki ini adalah pemberian-Nya.” Sa’id itu pun pulang. Ia tetap selalu bersyukur dan mengucapkan alhamdulillah dalam dzikirnya. Kekayaan Sa’id pun bertambah dan selalu bertambah.

Berbeda ketika Nabi Musa didatangi seseorang dari kaumnya juga, yang bernama Syaki. Syaki datang ke rumah Nabi Musa. Ia menyampaikan keinginannya meminta resep agar ia bisa menjadi kaya. Nabi musa pun memberi resepnya agar ia selalu bersyukur dan sering mengucapkan alhamdulillah. Mendengar jawaban Nabi Musa seperti itu, Si Syaki ini kecewa. Ia menimpali, “bagaimana saya bisa bersyukur wahai Nabi, saya ini serba kekurangan dan tidak punya apa-apa, apa yang bisa saya syukuri.” Ia pun pulang dan tidak menjalankan saran dari Nabi Musa. Akhirnya Syaki ini hidupnya bertambah miskin.

Kisah di atas sangat menginspirasi kita. Bahwa sejak dulu sudah ditawarkan konsep sederhana namun sangat mujarab. Bahwa Nabi Musa tidak menyuruh yang lain kepada umatnya. Seperti menjadi pedagang, atau menjadi pemimpin, dsb., tetapi menyuruh senantiasa bersyukur.
 

Setelah kita bersyukur Selanjutnya kita lihat di dalam Al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 10, Allah SWT berfirman “maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”  Wallahu a’lam.

 


Selasa, 07 Agustus 2018

Dirimu Adalah Masa Depanmu


Oleh: Mujianto,S.Pd.I*
Mungkin perlu saya awali tulisan ini dengan kutipan dalam batu nisan Westminster Abbey, sang genius, arsitek istana Kerajaan Inggris. Sebagai pesan terakhirnya. Beginilah isinya:
“ Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi mengubah dunia. Lalu seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah, maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi, celakanya mereka pun tidak mau diubah. Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari; andai saja yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku, kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia.”

Ada sebuah riwayat, Baginda Rosulullah SAW pernah didatangi oleh salah satu umatnya  yang mengelukan tentang perilaku kelima anaknya yang kurang terpuji, dan sulit diatur. Baginda Nabi pun memberikan jawaban agar anak si orang tua itu bisa berubah menjadi lebih baik. Beliau berkata, “Wahai orang tua yang baik, mulai saat ini ubahlah satu demi satu perilakumu menjadi lebih baik, Insya’Allah anak-anakmu akan berubah menjadi lebih baik.   Berusaha merubah diri sendiri dahulu adalah konsep ideal untuk mengubah sesuatu hal lain yang lingkupnya lebih besar. Seperti keluarga, masyarakat sekitar, bangsa, bahkan dunia. Karena memang harus dimulai dari perubahan dari unsur yang terkecil.

‘Dirimu adalah masa depanmu’ merupakan kalimat yang terdiri atas subyek dan predikat. Kalau kita balik akan menjadi ‘masa depanmu adalah dirimu’. Mengandung maksud bahwa yang menentukan masa depan seseorang pada dasarnya adalah dirinya sendiri. Bukan siapa-siapa, bukan orang lain. Dan sejalan dengan Firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mau merubah nasibnya sendiri”

Pentingnya Meningkatkan Konsep diri dan Mengajarkannya kepada Anak

Konsep diri adalah salah satu pembentuk karakter seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, istimewa atau tidak, pantas meraih masa depan yang cemerlang atau tidak. Salah satunya bergantung terhadap konsep diri yang ia miliki. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang baik, maka rasa percaya dirinya semakin tinggi dan pencapaian-pencapaian dalam berbagai bidang semakin besar.

Konsep diri terbentuk melalui wawasan seseorang, pengalaman, pergaulan, bisa juga dari figur-figur, tokoh-tokoh penting atau idolanya.

Ada anak yang ketika ditunjuk menjadi ketua panitia kegiatan atau tampil di depan kelas untuk presentasi materi tertentu, ia merasa sangat takut dan sudah membayangkan hal-hal yang negatif yang bakal terjadi. Padahal ia dianggap oleh guru dan teman-temannya mampu menjalankan tugas itu. Ini salah satu gambaran anak yang mempunyai konsep diri yang lemah. Sebaliknya berbeda dengan anak yang mempunyai konsep diri yang kuat, ia mempunyai kepercayaan diri yang tinggi bahwa ia akan bisa melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Maka orang tua perlu memberikan kata-kata positif sebagai tonggak penopang konsep dirinya yang akan berkata, “Anakku, tunjukkan Kamu pasti bisa!”, “Kamu anak hebat”, “Kamu punya jiwa kepemimpinan”, dan lain-lain.

Mengutip apa yang disampaikan Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono dalam buku Manage Your Mind for Success, konsep diri terdiri atas tiga komponen, yaitu:
1.      Diri Ideal (Self-Ideal)
Yaitu sosok individu yang kita ingin menjadi di masa depan. Diri ideal merupakan gambaran mengenai sosok yang sangat kita inginkan bisa menjadi seperti itu di masa depan.
2.      Citra Diri (Self-Image)
Yaitu cara kita melihat diri sendiri dan berpikir mengenai diri kita pada waktu saat ini.
3.      Harga Diri (Self-Esteem)
Yaitu kecenderungan dalam diri seseorang memandang dirinya sebagai pribadi yang mampu dan memiliki keunggulan serta kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang mendasar. Atau seberapa kita suka terhadap diri kita sendiri.

Aktualisasi Diri Anak Sesuai Talentanya Sejak Dini
Bersyukurlah bagi orang-orang yang bekerja atau mengaktualisasikan dirinya sesuai talentanya. Karena ia tidak akan merasa sedang bekerja sambil sesekali memperhatikan jarum jam, tapi ia akan mengalir merasakan kenikmatan dalam pekerjaannya. Pekerjaan dianggap sebagai hobi. Namun kabar dukanya adalah sangat jarang orang yang masuk kategori ini. Dan inilah yang perlu diusahakan orang tua untuk disampaikan kepada anaknya sejak dini. Mereka tahu bakatnya dan mampu mengembangkannya, sehingga kelak ia bisa mengambil keputusan besar dalam hidupnya yang dilandasi dengan kecintaan dan keikhlasan.

Ada dongeng yang meskipun menceritakan tentang dunia hewan bisa kita jadikan pelajaran. Ada raja hutan yang mengadakan konferensi dengan para binatang. Mereka ingin semua binatang penghuni hutan memiliki keahlian dasar. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya diputuskan. Keahlian dasar yang wajib dimiliki oleh penghuni hutan adalah; berenang, terbang, dan lompat. Maka untuk meningkatkan keahlian itu sepakat diadakan pelatihan. Di pekan pertama, ide itu mendapat sambutan yang luar biasa. Namun di pekan kedua dan selanjutnya terjadi keributan yang menimbulkan perselisihan. “ini pemaksaan, ini bertentangan dengan dunia perbinatangan”. Kata sebagian besar binatang yang mengikuti pelatihan. Mengapa terjadi pertentangan ?karena memang gajah, singa, dan binatang besar lainnya yang dilatih untuk terbang tidak pernah berhasil. Begitu pula burung, kelinci, kambing, dan binatang darat lainnya diminta berenang juga tidak pernah berhasil. Mereka semua stres karena harus mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi keahliannya.
Mengutip dari apa yang disampaikan Jamil Azzaini di buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku, bahwa ada langkah-langkah untuk mengaktualisasikan diri agar kita menjadi individu yang punya masa depan pilihan kita sendiri. Setelah itu berbarengan kita ajarkan kepada anak-anak kita.
Langkah I
Sadarilah bahwa kita Adalah Masterpiece
            Kita adalah mahakarya dari sang pencipta. Setiap individu adalah masterpiece yang tiada duanya. Begitu kita terlahir, tumbuh, dan meninggal maka tidak pernah dan tidak akan pernah ada lagi makhluk seperti kita. Kita benar-benar spesial. Masing-masing dari kita hanya satu-satunya yang ada di muka bumi ini. Tidak ada satupun makhluk yang kehidupannya sama persis dengan kita. Tuhan menciptakan kita semua benar-benar spesial.

            Sesuatu yang spesial pasti berharga mahal. Bila suatu produk diciptakan terbatas pastilah berharga sangat mahal. Jam tangan, mobil, handphone yang diciptakan terbatas berharga milyaran rupiah. Sementara kita bukan hanya diciptakan terbatas akan tetapi kita diciptakan hanya satu-satunya di muka bumi. Harga kita tentu super mahal.
Lankah II
Tetapkan Prestasi Terbaik yang Ingin Kita Raih
             Kita hidup mengikuti kebiasaan yang sudah berlaku, terus bekerja dengan keras namun kehilangan kesempatan mengetahui bahwa di dekat kita banyak peluang yang bisa memberi kebahagiaan kepada kita. Untuk menghindari hal tersebut kita harus menentukan arah hidup kita, tidak asal ikut-ikutan tradisi yang sudah ada.

            Untuk merancang masa depan, langkah pertama yang harus kita siapkan adalah tetapkan prestasi terbaik yang ingin kita raih selama hidup di muka bumi. Karena kita spesial dan berharga mahal jangan sia-siakan hidup kita.

            Untuk memulai sesuatu yang berprestasi dan berharga mahal maka renungkanlah hal berikut ini. Bila saatnya tiba nanti, Tuhan memanggil kita dan kemudian Dia berkata, “Saya menciptakan kamu dengan sangat spesial dan berharga mahal, coba ceritakan prestasi-prestasi apa yang pernah kamu capai ketika kamu hidup di muka bumi yang sebanding dengan harga kamu ?” apa yang hendak kita ceritakan kepada Tuhan ?

Langkah III
Jadilah Seorang Expert
            Pilihlah keahlian (expert) yang itu menyenangkan ketika kita mengerjakan. Bukan hanya itu, keahlian itupun bisa kita jadikan sumber penghasilan untuk kelangsungan hidup sebagai ibadah. Karena kita adalah masterpiece, pasti masing-masing di antara kita memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Maka temukanlah itu dan jalani hidup dengan terus-menerus memupuk aspek yang menjadi kelebihan kita. Apabila kita masih bingung menentukan expert apa yang ingin kita kembangkan,
Ada langkah-langkah berikutnya:
1.      Mulailah dengan mendaftar semua kegiatan yang telah Anda jalani dan banyak menghabiskan waktu.
2.      Kelompokkan kegiatan tersebut menjadi tiga bagian; kegiatan yang Anda kuasai, kegiatan yang Anda cintai, kegiatan yang menghasilkan. Boleh jadi satu kegiatan bisa termasuk ke dalam tiga bagian tersebut.
3.      Pilih dari daftar itu satu, dua atau tiga hal yang paling Anda kuasai, Anda cintai, dan menghasilkan.
4.      Lihatlah daftar kembali, ciptakan rencana untuk mendelegasikan semua kegiatan lain kepada orang lain. Kegiatan yang tidak Anda kuasai, cintai dan menghasilkan serahkanlah kepada orang lain. Biarkanlah hal itu dikuasai, dicintai dan memberi manfaat bagi orang lain. Dengan cara seperti ini Anda akan semakin fokus kepada hal yang benar-benar Anda kuasai, cintai, dan menghasilkan. Ini berarti Anda telah bersiap untuk menjadi seorang expert.
Menyiapkan Wadah yang Besar untuk Masa Depan yang Cemerlang
                        Setelah seseorang mengetahui dimana aspek yang menjadi kelebihannya maka langkah selanjutnya adalah berbuat lebih, bekerja keras menempahnya. Karena hal itu adalah yang menjadi fokus dan prioritas utama. Stephen Covey, penulis buku best seller, 7 Habits, berkata, “jangan memprioritaskan jadwal Anda tapi jadwalkan prioritas Anda.”

Sesungguhnya suatu kesuksesan datang sesuai wadah dalam diri kita. Gelas kecil yang hanya bisa menampung 200 ml, tentu tidak mampu menampung air lebih dari itu. Karena setiap isi mengiringi wadahnya.

            Kesuksesan selalu mencukupi sesuai wadah. Maka besarkan wadah kita. Sebagai sebuah kepantasan bagi seorang hamba, bahwa Allah SWT berhak memberikan masa depan yang diinginkan hambanya.

            Seperti rezeki selalu mengikuti tanggung jawab yang diberikan seseorang. Semakin banyak yang diberi penghidupan sebagai tanggung jawabnya maka semakin besar rezeki datang melimpahi.

            Mungkin banyak dari kita yang ingin menjadi ini dan itu, naik jabatan, namun sekadar nafsu keinginan belaka. Akhirnya tidak pernah tercapai ternyata dia lupa membesarkan wadahnya. Salah satu cara untuk membesarkan wadah adalah meningkatkan attention dan perilaku. Seseorang ingin menjadi manajer atau kepala cabang maka attention dan perilakunya diusahakan seolah-olah sudah jadi kepala cabang. Bukan gaya dan lagaknya sebagai bos melainkan berperilaku mudah menolong sesama, mengayomi, bekerjasama untuk menunjang keberhasilan bersama.

            Dengan demikian tanpa disadari unsur-unsur kebaikan pada diri seseorang akan berkembang, perilaku pun berubah, dan  pengetahuan bertambah dengan sendirinya. Seiring dengan bertambahnya ilmu, maka bertambahlah kepercayaan orang lain kepadanya dan tentunya akan semakin dekat dengan kesuksesannya. Wallahu A’lam.