Minggu, 19 Agustus 2018

Memaknai Kemerdekaan Seutuhnya



Oleh: Mujianto

Kita yang Belum Pernah Ikut Berperang

Memahami adalah langka awal dalam melakukan suatu hal. Pemahaman yang baik akan menghasilkan suatu yang baik pula. Terkait kemerdekaan, kita yang beruntung ini, kaum muda yang belum pernah merasakan perihnya penyiksaan, kejamnya pembunuhan, dan dasyatnya peperangan, tentu pemahaman tentang sebuah kemerdekaan tidak ‘setebal’ mereka para pejuang yang dengan gigih mempertahankan tanah air.
Peluru senjata api yang menembus anggota badan para pejuang memahamkan pada mereka bahwa badan yang sehat itu adalah anugerah. Sedangkan kerja paksa, perampasan dan pengasingan mengingatkan pada mereka bahwa kebebasan berpendapat, berkarya, dan menentukan nasib sendiri itu adalah segalanya. Mereka memahami dan terus berjuang menyudahi itu semua, agar jangan sampai anak-anak keturunannya dan rakyat Indonesia merasakan penderitaan yang sama.
            Kita yang belum pernah hidup pada masa penjajahan disarankan untuk mencoba merenung dalam kesendirian, membayangkan hingga muncul pemahaman lebih dalam mengenai perjuangan para pahlawan yang atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa diraihlah kemerdekaan.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas dan tidak terjajah lagi.
            Dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan berarti rakyat Indonesia bebas dari segala penjajahan bangsa asing, terutama kolonialisme Belanda yang 3,5 abad telah menduduki dan menjajah bangsa Indonesia dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah. Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia bebas menentukan  hidupnya secara mandiri tanpa dicampuri bangsa lain.
            Pertanyaan besar muncul. Apakah Indonesia benar-benar merdeka, khususnya merdeka dari pengaruh asing? Terutama kebijakan-kebijakan pemerintahannya?
            Atas nama investasi, tambang emas, kilang minyak, gas alam semuanya dikelola oleh pihak asing. Dan hasilnya sebagian besar dibawa mereka. Inilah yang disebut dengan penjajahan tidak langsung atau kita masih belum merdeka secara substansial. Bukannya kita hidup tidak bersosial, dengan tidak membutuhkan negara lain tetapi kemandirianlah yang perlu kita tonjolkan. Bahwa kita mampu bekerja dan berkarya untuk mengelola SDA kita sendiri.

Belajar dari Sejarah

            Ada hikmah besar di balik kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan baru untuk melakukan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia belum bisa mengisi kemerdekaan, bangsa ini masih tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya, karena masih ada negara yang tidak mengakui kedaulatan pemerintahan Republik Indonesia. Yaitu tentara Jepang dan sekutu. Seperti Pertempuran Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang tanggal 15 Oktober 1945, dan Pertempuran Ambara tanggal 15 Desember 1945.
            Setelah begitu susahnya meraih kemerdekaan dan mempertahankannya, kita rakyat Indonesia harus mampu berjuang pula dalam mengisinya. Berjuang sesuai dengan kemampuan dan profesi kita masing-masing.  Terutama mampu ‘membaca’ ulang sejarah menjadikannya sebagai dasar berprilaku.
Sejarah menjadi catatan terbaik untuk melangkah mau dibawa kemana negeri ini. Kolonialisme mengajarkan ketidakmanusiaan, kebengisan dan ketidakadilan. Ini sebuah tamparan keras bagi para elit yang duduk di pemerintahan agar tidak mengulang kembali ajaran kolonialisme, tetapi berjuang berusaha menyejahterakan rakyat. Berpura-pura bertindak atas nama rakyat, tetapi nyatanya hanya kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Sebagai penutup tulisan ini, dalam konsep Islam, kita diingatkan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap manusia, tetapi ada batasnya. Para pahlawan yang di antaranya adalah para ulama mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah anugerah yang dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ untuk berbuat baik, membenahi diri, peduli sesama dan mengutamakan kepentingan bangsa, serta mengutamakan kehidupan akhirat.  Dalam Al-Qur’an surat An-Naazi’at ayat 37, “Orang yang malampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya neraka adalah tempat tinggalnya”. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar