Selasa, 15 September 2020

Sukses yang Sebenarnya

Oleh Mujianto, M.Pd.

Ayah dan Bunda yang berbahagia, pernahkah Ayah dan Bunda menanamkan pemahaman kepada putra-putrinya, apa arti kesuksesan yang sesungguhnya.

Sampai saat ini pemahaman tentang arti sukses, sering dimaknai secara sempit. Sukses diartikan berkecukupan secara materi. Memiliki rumah mewah, mobil  bermerek, dan lain sebagainya. Sehingga yang terlihat kemudian banyak orang berlomba-lomba mencari kekayaan, dengan cara apapun, dan memaksakan diri agar tampak di mata orang banyak, termasuk orang yang sukses.

Pemahaman orang tua yang keliru itu akan menular ke anak-anaknya. Sang anak akan selalu menyimpan di otaknya. Ucapan dan  sikap orang tua menjadi perhatiannya. Seperti ucapan orang tua dalam memberi semangat, agar rajin belajar dan berangkat ke sekolah,  “Ayo belajar yang pintar, biar jadi orang sukses!” kalimat itu sudah benar, namun makna sukses harus bisa dijabarkan dengan baik.

Makna Kesuksesan di Negara Maju

            Berkenaan dengan fasilitas, hampir sama prosesnya di negara maju dengan negara kita. Setiap orang tua memotivasi dan memberikan pendidikan kepada anaknya menuju kesuksesan. Namun, di negara maju dengan sistem pendidikannya, mengartikan kesuksesan adalah menjadi orang yang ahli atau terbaik di bidangnya. Orang tua di sana sejak dini mengenal betul potensi dan bakat anaknya, sehingga bisa membimbing dan  mengarahkannya.

Di sana profesi apapun adalah baik, selama dilakukan secara ahli, akan menjadi sesuatu yang istimewa. Seperti pelukis, tukang masak, pemusik, penerjemah dan lain sebagainya. Orang tua di negara ini sadar, dan berusaha keras sejak dini mengawal anaknya agar fokus dan berhasil di bidangnya. Sehingga akibat sukses yang diraihnya, otomatis hadiah berkecukupan harta akan didapatkannya. Mereka sadar betul, bahwa profesi harus dijalani secara expert, tidak setengah-setengah. Rata-rata profesi yang sudah mereka jalani adalah pilihan atau impian mereka sejak awal.  

            Berbeda di negara kita. Masih teringat ketika kita dulu kecil, dan juga hingga saat ini, jika ditanya besok kalau besar mau jadi apa? Maka jawaban yang muncul adalah profesi yang gajinya tinggi, seperti dokter, insinyur, pilot, atau pramugari. Sejak awal anak-anak sudah diberi gambaran mengenai profesi tersebut, sebagai simbol hidup enak atau terjamin. Bahkan, banyak orang tua sejak dini langsung mengarahkan hingga memaksa agar masuk ke salah satu profesi itu, padahal anaknya tidak berminat dan tidak ada bakat di bidang itu.

Sukses dalam Perspektif Islam

            Mencari hakikat kesuksesan bagi umat Islam adalah mudah. Kita bisa mengambil teladan para rasul, nabi, filsuf, atau para ulama yang kehidupannnya bermanfaat untuk orang lain.

            Ya, orang yang sukses adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain. Sesuai dengan hadis Nabi, “Sebaik-baik kalian (manusia) adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya.” Jika ia ditakdirkan punya jabatan, maka baginya adalah kesempatan besar untuk memberi maslahah buat banyak orang. Jika ia dilebihkan rezekinya, dan dipandang sebagai orang kaya, baginya adalah peluang untuk memberi. Orang sukses adalah orang yang berbuat sesuatu bukan dalam rangka menguntungkan dirinya sendiri, tapi lebih kepada orang lain.

            Orang tua tetap berusaha memahami potensi dan kelebihan anaknya. Setiap anak terlahir sebagai insan yang unik. Allah menganugerahkan kelebihan masing-masing. Lewat orang tua dan pendidikan, segala potensi itu bisa dikembangkan dan kelak menjadi orang yang bermanfaat.

           Kita tanamkan pemahaman kepada mereka, bahwa kita sebagai makhluk hanya bisa berusaha, yang mengabulkan harapan dan menjadikan kita sukses adalah Allah Swt. Allah lebih tahu apa dan bagaimana yang terbaik buat hamba-Nya. Namun, di dalam kehidupan ini ada hukum sunnatullah. Allah memberikan peluang. Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya. Man jadda wajada.

            So, puncak kesuksesan adalah mencurahkan semua potensi yang telah dianugerahkan oleh Sang Pencipta dan mempersembahkan yang terbaik bagi kehidupan sesama.   Hamba yang sukses selalu menebar dan menabur energi positif. Kebaikannya akan tetap terasa dan menjadi jariyah, walau ia sudah tidak ada di dunia lagi.

 


Rabu, 17 Juni 2020

HUKUM TABUR TUAI



Oleh Mujianto, M.Pd.

Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan dan bermanfaat bagi orang lain, maka semakin banyak pula kebaikan yang akan kembali kepada kita. Itulah Hukum Tabur Tuai. Siapa yang menabur akan menuai.

Semua hal positif yang kita lakukan lebih-lebih hal yang di luar tanggung jawab kita tetapi kita dengan senang hati mau mengerjakannya. Maka kita akan menuai balasan kebaikan, mungkin saat itu juga atau kelak pada suatu hari nanti.

Begitu juga sebaliknya, semakin banyak energi negatif yang ditebarkan seseorang, apalagi menyebabkan mudharat bagi orang lain, maka sesungguhnya ia sedang menanti keburukan, sebagai balasan yang suatu saat pasti diterimanya.

Tabungan energi positif sangat penting bagi kehidupan kita. Khususnya berkenaan bagi masa depan bahkan keluarga kita pun akan ikut merasakan manfaatnya kelak. Istilah lain akan dicairkan oleh Allah SWT.

Sejenak kita mengambil hikmah dari cerita pribadi bapak Jamil Azzaini, seorang pendiri Dompet Dhuafa Republika dan BMT yang omsetnya mencapai puluhan trilyun, sehingga bisa membuat sekolah dan pesantren gratis khususnya anak yatim di seluruh indonesia.

Cerita ini saya sarikan dari berbagai sumber. Pada tahun 2003, sang isteri sakit, dengan penyakit yang tidak diketahui jenisnya. Sehingga tidak kunjung sembuh. Upaya medis sudah dilakukan namun hasilnya tidak tampak. Berganti-ganti rumah sakit. 3 minggu di ruang ICU, satu malamnya pada waktu itu senilai 2,5 juta. Total istrinya dirawat selama 3 bulan di rumah sakit.

Selesai salat dhuha, ia mengadu kepada allah “Ya Allah Ya Tuhanku, gerangan energi negatif apa yang pernah aku lakukan? Maksiat apa yang pernah aku lakukan? Sehingga Engkau uji aku dengan cobaan seperti ini.”

Setelah berdoa, Allah memberikan petunjuk, tiba-tiba ia ingat kejadian beberapa puluh tahun yang lalu saat masih duduk di kelas 5 SD pernah mencuri uang ibu Rp. 150. Ia membatin jangan-jangan energi negatif ini yang menghalangi sehingga penyakit isteri saya tidak ketahuan.

Kemudian ia segera menelepon ibunya yang pada saat itu sedang menunggui sementara anak-anaknya selama isterinya sakit. Pak Jamil mengingatkan kesalahannya dan meminta ridho ibunya agar memaafkannya. Ibunya bilang uang yang saat itu disimpannya di bawah bantal untuk membayar hutang pada orang kaya di kampungnya, karena tidak ada uang untuk membayar, ibunya dicaci maki di depan banyak orang. Ibunya pun menggerutu, pokoknya kualat yang mengambil uang itu.

Si ibu kaget saat tahu kalau anaknya sendiri yang mengambil, ia beristighfar berkali-kali agar Allah segera mengampuni anaknya. Si ibu pun memaafkan dan mendoakan istri pak Jamil cepat sembuh.

Keajaiban pun datang. Di hari yang sama pak Jamil mendapat telepon yang mengabarkan sakit istrinya sudah ditemukan. Yaitu infeksi pankreas. Dengan kejadian itu, pak Jamil semakin yakin bahwa energi positif dan negatif itu ada, serta ada balasannya pula.

Bentuk Pencairan Tabungan Energi Positif

Kita bisa melihat, mengapa ada orang yang banyak disukai teman kerjanya, dan ada yang tidak diharapkan kehadirannya? Mengapa ada orang yang kata-katanya selalu didengar dan ada orang yang kata-katanya bak angin lalu? Mengapa ada orang yang anak-anaknya sholih-sholihah,bahkan berprestasi. Namun, ada yang anaknya sulit diatur? Mengapa ada orang yang tampak santai, kebutuhannya tercukupi lalu ada yang keuangannya banyak namun selalu gelisah tidak pernah merasa cukup?

Itulah energi positif, yang membedakan orang satu dengan yang lainnya. Dan Allah mencairkan tabungan energi positif dalam berbagai bentuk, tidak harus berbentuk rezeki atau harta, yaitu bisa tahta, kata, dan cinta. Sudah saya sampaikan di atas energi positif yang kita tebar, keluarga kita pun akan menuainya.

Penulis pun merasakan saat masih kecil hingga sekarang saat pulang kampung, kalau bertemu warga atau orang tua di sana yang belum kenal saya, terus bertanya ke orang lain atau langsung ke saya, “Sampeyan siapa, yugane sinten?” Lalu saya jawab dengan menyebut nama bapak saya. Orang itu pun lebih antusias dan merespon ramah. Mungkin hal ini berkat energi positif yang ditanam orang tua saya. Hingga anak-anaknya pun ikut merasakannya.

Menebar Energi Positif di Tempat Kerja

Di tempat kerja adalah tempat yang baik yang bisa kita gunakan untuk menambah energi positif. Dengan prinsip energi positif, kita bisa menata hati saat bekerja guna memberikan kemajuan kepada instansi, lebih –lebih menghadapi teman kerja yang mempunyai sifat dan tipe yang tidak selaras dan sering melemahkan kemajuan instansi.

Prinsip sederhana, sebagai ilustrasi, kita merasa bekerja ini layak diberi gaji atau imbalan sebesar 5 juta, tetapi yang kita dapat hanya 3 juta maka yang 2 juta itu adalah tabungan energi positif kita, dan Allah akan memberikan dalam bentuk lain, seperti kesehatan, keluarga yang harmonis, anak mendapat keberuntungan seperti beasiswa, atau berkah lainnya.

Tapi berhati-hatilah apabila kualitas kerja kita nilainya hanya 3 juta tapi yang kita dapatkan rutin 5 juta. Maka yang 2 juta adalah tabungan energi negatif yang sewaktu-waktu akan cair juga. Bisa berbentuk keluarga yang tidak harmonis, barang berharga kita rusak, atau hilang, atau kebutuhan pendidikan anak yang dibuat sulit, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar.

Dan yang lebih kita takutkan apabila ternyata energi negatif ini terkumpul, dicairkan di usia senja. Seperti, sering kita temui orang di akhir usianya tidak semakin bahagia, hidup sendirian, sakit-sakitan, dan hartanya yang dikumpulkannya tidak tampak keberkahannya, malah menjadi rebutan anak-anaknya.

Sobat, apapun perbuatan yang kita lakukan harus ada kesadaran bahwa Allah melihat kita, dan mengetahui hati kita.

Sebagai penutup tulisan ini, mari kita senantiasa mengingat firman Allah,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Al-Zalzalah: 7-8). 

Semoga`bermanfaat!.

                                                                                                Waru, 17 Juni 2020



Rabu, 06 Mei 2020

BAGAIMANA JIKA ANAK SAYA TIDAK SUKA SEKOLAH?



Oleh: Mujianto, M.Pd.

Mari sejenak kita menengok fenomena pendidikan di sekolah beberapa tahun yang lalu. Tepatnya di tahun 2006. Seorang anak bernama M. Izza Ahsin Sidqi, kelas 2 SMP di salah satu sekolah favorit di Salatiga. Anak yang kedua orang tuanya guru ini, menyatakan mengundurkan diri dari sekolah lantaran ada gejolak di dalam hatinya. Dia ingin bebas, fokus mengejar cita-citanya menjadi penulis, yang dirasanya tidak akan tercapai kalau dia masih datang bersekolah. Dan paling mengejutkan dia merasa tidak mampu belajar sesuai yang dimaksudkan oleh Kurikulum Pendidikan Indonesia. Kegelisahan dan harapannya tentang sekolah dia tuangkan di dalam salah satu bukunya “Dunia Tanpa Sekolah”

 

Para ayah dan bunda yang  berbahagia, pernahkah anak ayah dan bunda  malas atau tidak mau sekolah. Kalau pernah. Bagaimana, sulitkah membujuknya? atau minimal dibuat bingung, mencari apa penyebabnya.

 

Sekolah merupakan rutinitas yang biasa dijalankan anak setiap hari. Mereka harus bangun pagi, mengikuti pelajaran di sekolah hingga siang bahkan sore hari, lalu masih lagi ditambah PR. Kadang-kadang terjadi suatu masalah yang menyebabkan si anak malas atau menolak ke sekolah. Ada anak yang menolak secara terang-terangan, ada juga yang menolak dengan cara kiasan. Seperti pura-pura sakit.

 

Tulisan ini berusaha tidak menyinggung tentang adanya bulliying atau anak berat mengerjakan tugas sekolah sebagai penyebab anak tidak mau beramgkat ke sekolah. Tulisan ini berusaha menggugah cara pandang kita memahami makna sekolah, memilih sikap yang benar dan mengawal anak-anak kita menuju kesuksesannya.

 

Konon Soichiro Honda, pemilik usaha industri otomotif Honda Motor, pernah menyampaikan pendapatnya mengenai sekolah.

 

“Sekolah terlalu banyak memberi apa yang saya tidak ingin ketahui, tapi justru sangat sedikit memberikan apa yang sungguh-sungguh saya ingin ketahui. Oleh karena itu, saya hanya pergi ke sekolah apabila saya merasa ingin mengetahui sesuatu yang tidak saya temukan di luar sekolah.”

 

Dalam artikel di kompas, 27 Agustus 2012, saat akan ada rencana diselenggarakannya kurikulum baru, kurikulum 2013, Boediono (Wapres RI ke 11) dengan tegas menyampaikan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan. Maka muncullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa “berat”, tetapi tidak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.

 

Ayah dan bunda yang berbahagia. Setelah membaca pandangan tokoh di atas, apa yang harus kita lakukan? Saya tidak bermaksud mengajak memandang negatif sebuah lembaga sekolah, sembari membayangkan dulu ketika SMP gunanya apa ya saya belajar Sinus-Cosinus-Tangen, mengapa tidak diberikan saat SMA di jurusan IPA atau di perguruan tinggi jurusan matematika atau sejenisnya saja.

 

Ayah dan bunda harus terus semangat mendorong anak agar terus bersekolah sampai setinggi-tingginya. Yang menjadi catatan adalah yang pertama, kita di rumah menjadi lebih sayang kepada anak, menjadi pendamping yang dengan sadar, mengerti bahwa anak-anak sudah membawa sebagian beban dari sekolah.

 

Yang kedua, saat pembagian rapor tiba, ayah dan bunda tidak terburu-buru mau marah, panik jika sebagian besar nilai anak tidak semakin bagus, atau ranking yang semakin turun. Karena ayah dan bunda sudah semakin paham karena masa depan anak-anak bukan ditentukan oleh nilai rapor apalagi ranking kelas.  Apakah ayah dan bunda pernah ditanya saat sesi wawancara ketika melamar kerja? Tentu tidak. Yang sering, pertanyaannya adalah tentang kemampuan dan komitmen.

 

Yang ketiga, mengenal potensi dan bakat anak itu penting. Ketika orang tua sudah memahami potensi dan bakat anak, orang tua tersebut akan semakin mudah mengarahkan anaknya memilih bidang keahlian yang akan ditempuhnya. Di sekolah, orang tua bisa mengikutkan anaknya pada kegiatan ekstrakurikuler atau pengembangan diri.

 

So, pendidikan adalah proses panjang. Bersekolah adalah bagian dari proses itu. Anak-anak harus didorong antusias dan tetap bahagia berangkat ke sekolah. Selain belajar, anak-anak juga berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga sekolah. Jika ada masalah di sekolah, berkomunikasilah dengan gurunya, sambil terus mendampingi mereka menggali potensi dan mengembangkannya dari rumah. Wallahu A’lam.

                                                                                                Sidoarjo, 5 Mei 2020

 


MEMULAI DARI MANA MENDIDIK ANAK?



Oleh: Mujianto
Ada sebuah riwayat, baginda Rasulullah SAW pernah didatangi oleh salah satu umatnya  yang mengelukan tentang perilaku kelima anaknya yang kurang terpuji, dan sulit diatur. Baginda Nabi pun memberikan jawaban agar anak si orang tua itu bisa berubah menjadi lebih baik. Beliau berkata, “Wahai orang tua yang baik, mulai saat ini ubahlah satu demi satu perilakumu menjadi lebih baik, Insya’Allah anak-anakmu akan berubah menjadi lebih baik.”

Dalam perspektif Islam, proses pendidikan anak sebenarnya dimulai jauh sebelum si anak diciptakan di dunia ini. Yaitu melalui orang tuanya.

Mari kita mengingat sejenak siapa orang tua Imam Syafi’i. Tentu kita berpikir, seperti apakah orang tuanya, atau bagaimana mereka mempersiapkan diri sebelum menjadi orang tua.

Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Idris berjalan meyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut terbawa air, karena sedang sangat lapar, ia ambil buah itu dan langsung memakannya.

Ketika Idris sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya. Idris berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana da pohon delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.

Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah ia dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah baya.

“Saya telah memakan buah delima Anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah Anda mengikhlaskannya?” kata Idris. Orang tua itu terdiam sebentar, lalu menatap tajam kepada pemuda itu. “Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja di sini menjaga dan membersihkan kebun saya selamasebulan tanpa gaji,” kata si bapak kepada Idris.

Demi memelihara perutnya dari makanan yang tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya. Sebulan pun berlalu. Idris kemudian menemui pemilik kebun.

“Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun Anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah saya makan?” “Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya. Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.”

Idris terdiam. Ia merasa cobaan ini terlalu berat, akan tetapi ia harus memenuhi persyaratan itu. Idris pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan disaksikan beberapa orang.

Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh yang ditemui, namun seorang gadis cantik. Idris pun bergegas keluar dan langsung menemui mertuanya, bertanya perihal seorang gadis yang ditemuinya.

Si pemilik kebun menyampaikan bahwa yang ditemui Idris adalah benar-benar istrinya, yaitu putrinya sendiri. Tidak ada orang lain. Si pemilik kebun menjelaskan bahwa ia menyebut putrinya buta karena selalu menjaga pandangan yang dilarang, tuli karena selalu menjaga telinga dari pendengaran yang haram, bisu karena selalu menjaga dari ucapan yang tidak bermanfaat, dan lumpuh karena badanya tidak pernah digerakkan untuk melakukan maksiat.

Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja. Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak halal. Ia jadikan Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Syafi’I, seorang ulama besar, panutan jutaan kaum muslim di dunia.

Cerita di atas mengingatkan kita bahwa waktu mendidik anak yang tepat ternyata sudah harus dipersiapkan sejak awal, bahkan sebelum melangsungkan pernikahan. Cerita di atas juga memberikan penguatan kepada kita pada peribahasa, bahwa “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Walaupun orang tua nantinya tidak menjadi unsur tunggal sebagai penentu masa depan anak, karena pendidikan adalah proses panjang, proses seumur hidup.

Dalam pandangan psikologi pendidikan, diketahui bahwa sebagian besar perilaku anak adalah “mirroring” atau cerminan dari perilaku orang tuanya. Maka bisa kita ambil strateginya, bahwa mendidik yang efektif  haruslah dengan contoh atau suri tauladan. Anak akan meniru apa yang ia lihat bukan apa yang ia dengar. Sangat tidak efektif sekali, seorang ayah menyuruh anaknya salat berjamah di masjid, sedangkan ia masih di rumah. Seorang ibu menyuruh putrinya yang duduk di bangku SMP agar tidak berlebihan bermain medsos, tetapi ia sendiri tidak pernah lepas dari gatgetnya.

Ayah dan Bunda yang saya hormati.  Menutup tulisan ini, mungkin perlu kita baca kutipan dalam batu nisan Westminster Abbey, sang genius, arsitek istana Kerajaan Inggris. Sebagai pesan terakhirnya. Beginilah isinya:

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi mengubah dunia. Lalu seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah, maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi, celakanya mereka pun tidak mau diubah. Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari; andai saja yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku, kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia.’

Ayah dan Bunda, tidak ada kata terlambat, tetap semangat. Mulailah dari diri kita sendiri!. Wallahu a’lam.

                                                                                                             Sidoarjo, 6 Mei 2020