Minggu, 02 September 2018
Spiritual Energy
Senin, 27 Agustus 2018
Menjadi Guru Penulis
Ketika
kita mendengar atau melihat informasi tentang seseorang dengan karya tulisnya
yang banyak, tentu ada rasa kepingin di benak kita. Ingin
dalam artian bisa menirunya. Punya kemampuan untuk menulis dan menghasilkan karya.
Apalagi karya tulis itu sudah dicetak atau diterbitkan. Sungguh membahagiakan.
Senada dengan kata mutiara yang disampaikan oleh sayyidina Ali.
"Semua orang akan mati kecuali karyannya, maka tulislah sesuatu yang
akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak" (Ali bin Abi Thalib)
Seorang
guru tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Namun, tidak hanya sekadar
rasa ingin, tetapi sudah dalam tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu memunculkan
pemahaman pada dirinya bahwa guru harus punya kemampuan menulis. Tentunya yang
saya maksud adalah menulis dalam arti luas. Seperti menulis karya ilmiah,
opini, esai, karya sastra, dll. Tapi pada kenyataanya masih sangat
sedikit guru yang melakukannya.
Saya
yakin setiap guru punya kemampuan menulis. Akan tetapi kemampuan dan kemauan
kadang tidak berjalan seimbang. hal itu disebabkan karena motivasinya yang
relatif rendah, mungkin karena pengaruh lingkungan. Padahal, peluang guru
menjadi seorang penulis sangatlah besar. Tentunya dengan kebiasaan guru membaca
materi pelajaran sebelum mengajar menjadi modal pokok seorang guru menjadi
penulis. Guru bisa mengawali menulis pelajaran yang dia ajarkan sendiri.
“Penulis
yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.
Itulah
ungkapan dari seorang Hernowo, penulis buku Mengikat Makna: Kiat-kiat
Ampuh untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis. Bahwa
kemampuan menulis memang harus diiringi dengan kebiasaan membaca. Dengan
membaca, rohani kita akan mendapatkan ‘gizi’ yang baik. Apalagi program
literasi di sekolah semakin digaung-gaungkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) satu tahun
ini. Hal Ini bisa menjadi spirit tersendiri bagi
seorang guru, yang tidak hanya sebagai warga sekolah tetapi lebih dari itu,
yaitu sebagai teladan. Kita tidak bisa serta merta menyuruh peserta didik untuk
aktif membaca hingga berani menulis, sedangkan Anda sebagai guru tidak mau ikut
larut di dalamnya, memberi contoh senang membaca dan berusaha membuat suatu
karya tulis.
Saya
pun aktif mencermati siapa sosok pemenang di event lomba Guru
Berprestasi yang dulu disebut Guru Teladan. Ternyata sang juara adalah mereka
yang aktif menulis baik di media cetak atau elektronik. Seperti Ahmadiyanto,
peraih Juara Pertama Guru Berprestasi Jenjang SMP Tingkat Nasional 2017. Seorang guru PKn di SMPN 1
Lampihong Kab. Balangan berhasil mengharumkan nama Balangan dan Kalimantan
Selatan di tingkat Nasional. Diketahui ia merupakan sosok yang gemar menulis
termasuk artikel untuk media cetak sebelum mulai aktif mengikuti berbagai lomba
guru.
Tulisan
sederhana ini hanya untuk penyemangat bagi saya pribadi dan teman-teman guru,
agar berperan aktif pada program literasi sekolah. Peserta didik butuh figur
teladan untuk mengantarkan mereka memahami slogan bahwa membaca membuka
cakrawala dunia itu apakah benar?, dan buku adalah jendela
dunia itu apakah ya?. Mari kita jawab dengan karya! Memang menulis itu
tidak mudah tapi harus segera dimulai agar menjadi terbiasa, karena semuanya
butuh latihan, dan latihan. Wallahu a’lam.
Minggu, 19 Agustus 2018
Memaknai Kemerdekaan Seutuhnya
Rabu, 08 Agustus 2018
Syukur Itu Bergerak dan Menggerakkan
Ungkapan di atas adalah
jawaban dari Albert Einstens, salah satu ilmuwan terbesar yang pernah hidup,
ketika ditanya tentang pencapaian tertingginya. Ternyata bukan temuan-temuannya,
tetapi mengucapkan terima kasih kepada orang lain bagi Einstens adalah
pencapaian yang tertinggi.
Terima kasih adalah
ungkapan syukur yang dikeluarkan dari lisan yang digerakkan dari hati untuk
dilanjutkan ke syukur perbuatan. Allah SWT Maha Tahu bahwa sedikit sekali
hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Allah SWT memberikan balasan yang berlimpah
bagi mereka yang menggunakan dengan maksimal segala nikmat yang sudah
diberikan-Nya dan mengancam dengan adzab yang pedih. Ini jelas bahwa ada hukum
tarik menarik (law of attraction) dalam firman-Nya, bahwa setiap pribadi yang
bersyukur akan Dia tambah nikmat kepadanya.
Kajian mengenai syukur
begitu sering dikumandangkan. Baik melalui media maupun di mimbar dakwah. Namun
terasa lewat begitu saja. Di antara hal yang menyebabkan banyak
orang tidak bertahan dalam rasa syukur adalah meningkatnya rasa cemas dan
lemahnya motivasi meningkatkan kualitas diri melalui apa yang sudah
dimilikinya. Oprah Winfrey punya konsep sederhana yang ia pegang untuk
menjalani hari-hari dalam kehidupannya. Yaitu jika Anda fokus pada apa
yang tidak Anda miliki, Anda tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apapun. Sering
kita mendengar atau mungkin juga kita mengalami hal mirip dengan fenomena ini.
Di desa, ketika ada seorang anak melihat pesawat terbang lewat di atas
kampungnya, si anak ini berkata kepada bapaknya. Dalam bahasa jawanya seperti
ini. “Pak, iku montor molok yo Pak, aku kepingin numpak iku Pak”.
Si bapak kemudian dengan cepat menjawab, “wis talah le, duwet teko
endi, iku ngono sing iso numpak wong sugeh-sugeh, duwete akeh, lah awakmu iku
ono sing dipangan dino iki ae wis untung, disyukuri ae, gak usah aneh-aneh.'' Ini
adalah cara bersyukur yang kurang benar. Syukur diartikan menerima saja.
Sampai-sampai si anak takut punya impian.
Ketika kebanyakan orang
merasa lemah, kekurangan, dan memandang orang lain lebih beruntung. Maka orang
ini dalam posisi diam, tidak bergerak, keinginan atau impian saja sebagai
pendobrak awal perubahan sudah tidak dipunyai, apalagi berfikir atau berusaha
sebagai bentuk ‘bergerak’ ke arah yang lebih baik. Maka ketika tidak ada
pergerakan dari hamba-hamba-Nya, maka bisa jadi Allah tidak akan menggerakkan
keajaiban-keajaibannya.
Ada sebuah kisah menarik
di zaman Nabi Musa. Pada suatu hari Nabi Musa didatangi seseorang dari kaumnya
yang bernama Sa’id. Sa’id ini adalah saudagar kaya. Kekayaanya berlimpah. Ia
bermaksud meminta resep ke Nabi Musa supaya kekayaannya tidak bertambah lagi
atau bahkan dikurangi. Karena ia takut kekayaannya menyebabkan dirinya menunggu
lama di hari penghisaban. Nabi Musa pun menjawab, memberikan resepnya, “jangan
sekali-kali mengucapkan alhamdulillah.” Kontan saja si Sa’id kaget dan
berkata, “bagaimana saya bisa tidak mengucapkan alhamdulillah,
sedangkan segala nikmat dan apa yang sudah saya miliki ini adalah
pemberian-Nya.” Sa’id itu pun pulang. Ia tetap selalu bersyukur dan
mengucapkan alhamdulillah dalam dzikirnya. Kekayaan Sa’id pun bertambah dan
selalu bertambah.
Berbeda ketika Nabi Musa
didatangi seseorang dari kaumnya juga, yang bernama Syaki. Syaki datang ke
rumah Nabi Musa. Ia menyampaikan keinginannya meminta resep agar ia bisa
menjadi kaya. Nabi musa pun memberi resepnya agar ia selalu bersyukur dan
sering mengucapkan alhamdulillah. Mendengar jawaban Nabi Musa seperti itu, Si
Syaki ini kecewa. Ia menimpali, “bagaimana saya bisa bersyukur wahai
Nabi, saya ini serba kekurangan dan tidak punya apa-apa, apa yang bisa saya
syukuri.” Ia pun pulang dan tidak menjalankan saran dari Nabi Musa.
Akhirnya Syaki ini hidupnya bertambah miskin.
Kisah di atas sangat
menginspirasi kita. Bahwa sejak dulu sudah ditawarkan konsep sederhana namun
sangat mujarab. Bahwa Nabi Musa tidak menyuruh yang lain kepada umatnya.
Seperti menjadi pedagang, atau menjadi pemimpin, dsb., tetapi menyuruh
senantiasa bersyukur.
Setelah kita bersyukur
Selanjutnya kita lihat di dalam Al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 10, Allah SWT
berfirman “maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” Wallahu
a’lam.