Oleh Mujianto, M.Pd.
Banyak
quotes atau kata mutiara yang dikemas dalam poster tersebar di medsos yang
isinya membandingkan posisi ilmu dan akhlak. Juga nitizen yang ikut menanggapi
sebuah unggahan video di medsos dengan ungkapan yang sama tentang perangai
seseorang yang dilihatnya tidak baik. Lalu berkomentar, kurang lebih seperti
ini, “Akhlak lebih tinggi dari Ilmu.”
Penulis
tertarik membuat catatan. Karena perlu dipahami secara mendalam dulu. Apa itu
akhlak? Apakah akhlak tidak bagian dari suatu ilmu? Apakah orang yang berakhlak
tidak membutuhkan ilmunya ? Lalu, apakah akhlak hanya diartikan sebatas sopan
dan santun? Dengan demikian, posisi ilmu ada dimana? Hal ini, menarik sekali
untuk dibincangkan.
Akhlak yang
sudah kita ketahui, terbagi menjadi dua. Akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak
madzmumah (tercela). Akhlak terpuji cakupannya begitu luas, di antaranya meliputi
sifat jujur, amanah, adil, dermawan, gigih, bijaksana, rela berkorban, sopan,
santun, dll. Menurut Prof. Dr. M. Zainuddin, MA., guru besar bidang Sosiologi
Agama UIN Maulana Malik Ibrahim, “Output pendidikan tercermin dari akhlak
seseorang. Kata akhlak di sini sering diartikan secara sempit. Orang-orang
memahami akhlak sebatas sopan santun. Padahal, akhlak karimah itu mencakup
berbagai kebajikan.”
Akhlak Tidak Sebatas Sopan dan Santun
Pasti
kita semua punya sosok idola. Kita mengidolakan sosok tersebut salah satunya karena
kesantunan dan kesopanannya. Bisa sosok kepala daerah, seorang ustaz atau
bahkan artis. Kita sering melihat di layar kaca atau secara langsung dalam
suatu kesempatan. Mungkin ada yang sangat berlebihan mengagumi idolanya, hingga
mengabaikan bahkan menjatuhkan sosok lain karena dianggap “tidak lebih” dari
sosok idolanya.
Namun,
beberapa waktu kemudian, kita pun dibuat tercengang. Yang kita idolakan itu, yang
tampak santun itu, yang lembut tutur katannya itu, ternyata masuk jeruji besi, ada
yang terbukti korupsi, kekerasan, menipu banyak orang dsb. Kita pun dibuat
kecewa. Tidak mengira. Ternyata kesantunannya selama ini, hanya sebagai kedok
atas kejahatan dan kepentingannya pribadi. Kita pun melihat sang idola di layar
kaca masih tampak santun, wajah menunduk dengan tangan terborgol dan memakai
baju tahanan.
Pertanyaannya,
sebagai intropeksi, bolehkah kita menyalahkan diri sendiri sebagai muhasabah?
Jawabannya sangat boleh. Bahkan harus. Karena dengan pemahaman sempit kita
tentang makna sebuah akhlak, kita merendahkan atau su’udzon kepada sosok-sosok
lain yang tidak sebanding dengan idola kita itu.
Akhlak Melekat pada Tanggung Jawab
Akhlak
melekat pada tanggung jawab seseorang. Mungkin dari kita pernah dinasihati
dengan suara tegas atau bahkan “dipukul” oleh ayah kita, karena tidak salat.
Apakah kita menganggap ayah kita tidak berakhlak? Tentu, kita tidak berani
menganggap seperti itu. Karena memang ilmu dan tanggung jawabnnya seperti itu.
Orang tua menasihati anaknya dengan nada tegas karena sebelumnya dengan nada
lirih tidak digubris. Dan orang tua boleh “memukul” anaknya yang tidak salat
ketika tiba usia 10 tahun.
Setiap
individu manusia yang masih hidup di dunia mempunyai peran dan tanggung jawab
masing-masing. Allah Swt. menyebut kita semua adalah khalifah fil-ard. (pemimpin
di muka bumi). Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Maka dari itu setiap pemimpin dalam menjalankan perannya harus
berdasarkan ilmu. Dengan ilmu itu, kita akan berhasil dalam menjalankan peran
kita dan siap mempertanggunjawabkan di hadapan Allah Swt.
Barometer seseorang
dikatakan berakhlak bisa dilihat dari kesungguhan dalam menjalankan tanggung
jawabnya, karena orang sukses yang sebenarnya dalam menjalankan perannya pasti
dibarengi dengan ilmu. Dan di dalam ilmu itu ada bagian mengajarkan tatanan
akhlak yang baik.
Kita ambil
salah satu contoh, yaitu peran guru. Siapa pun yang menjalankan peran guru,
jika mau sukses yang sebenarnya harus tahu ilmunya. Dan di dalam ilmu itu pasti
ada bagian yang mengatur tentang unsur akhlaknya. Di kampus calon sarjana guru
akan mempelajari mata kuliah dasar-dasar pendidikan, teori belajar, filsafat
pendidikan, bimbingan konseling, hingga psikologi pendidikan. Yang di jurusan tarbiyah
ada tambahan ilmu akhlak,dan metode pendidikan agama Islam. Di kalangan santri
ada kitab yang sudah masyhur salah satunya yaitu Ta’limul muta’allim yang
memberikan panduan bagi guru dan murid agar sukses dalam menjalankan perannya.
Tidak hanya
peran guru, semua peran profesi, atau tanggung jawab dengan tujuan baik pasti
mengedepankan cara dan akhlak yang baik. dan semua harus dicari ilmunya. Akhlak
tidak bisa dipisahkan dari ilmu. Ilmu dan akhlak selalu beriringan. Akhlak yang
baik bersumber dari ilmu yang baik. Sabda Rasulullullah Saw. yang selalu
terngiang. Barang siapa mencari dunia maka dengan ilmu, barang siapa mencari
akhirat maka dengan ilmu. Dan barang siapa mencari keduanya, maka dengan ilmu
pula.
Tulisan
sederhana ini hanya untuk mengurai wawasan dan membawa pesan kepada diri
pribadi. Pesan pertama, semoga penulis tidak mudah berburuk sangka
mengatakan seseorang kurang berakhlak dsb. hanya melihat tampilan luarnya saja.
Ketika kita mendengar orang berkata kotor pada dasarnya ia kurang ilmu. Seperti
anak kecil lewat di depan orang tua tanpa membungkuk. Apakah anak itu tidak
berakhlak? Mungkin lebih tepatnya, bisa kita katakan, anak itu belum tahu
ilmunya. Pesan kedua, menuntut ilmu tidak boleh berhenti hingga akhir hayat. Baginda
Nabi Saw berpesan dalam hadisnya,
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.”
Ilmu dan akhlak berjalan beriringan. Keduanya adalah bekal utama khalifah fil-ard
yang rahmatan lil ‘aalamiin. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat!
Waru, 11 Juni 2024