Senin, 09 September 2024

PADA SIAPA LAGI KITA PERCAYA?

 

                             

Oleh Mujianto, M.Pd.


Tidak ada seseorang yang kehidupannya berjalan selalu mulus. Semua pasti pernah mengalami kesulitan dan kegagalan.  Kegagalan demi kegagalan bukan untuk mematahkan harapan kita. Bahkan, kegagalan sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan. Banyak orang tumbuh dan menjadi hebat karena suatu kegagalan. Namun, karena nafsu dan ilmu yang belum cukup memahaminya, kegagalan dianggap selalu merupakan musibah.

Adakah orang yang di dalam kehidupannya tak pernah gagal atau susah di dunia ini? Kalau pun ada, pada perspektif yang berbeda, hal ini bisa menjadi bumerang bagi orang tersebut. Contohnya, di dalam sejarah kita pernah mengenal sosok Fir’aun. Fir’aun seorang raja yang merasa paling kuat, merasa tanpa kelemahan, segala keinginannya bisa ia penuhi, memiliki banyak pasukan setia, dan kerajaannya begitu megah.

Tanpa ia sadari, semua itu membuatnya begitu sombong dan akhirnya mengaku sebagai Tuhan yang harus disembah. Ternyata kehidupan yang tanpa pernah mengalami kegagalan, dan kesusahan malah menyebabkan sesuatu yang fatal. Menjadi bencana bagi orang tersebut. Seperti Fir’aun yang akhirnya musnah ditenggelamkan.

Karena keterbatasan ilmu yang kita miliki, sering berburuk sangka terhadap ujian dan takdir Allah Swt. Padahal di balik setiap ujian tersimpan hikmah yang begitu besar.

Jalan terbaik adalah memupuk kesabaran, meningkatkan ilmu agama, dan keimanan kita kepada Allah Swt.. Apabila saat ini kita sering menemui kesulitan dan kesedihan maka esok atau suatu saat nanti kita akan menemui kemudahan dan kebahagiaan. Semua hanya soal waktu. Tidak ada seseorang yang sepanjang hidupnya selalu menemui kesedihan dan sedikit pun tak merasa bahagia.

Allah Swt. Maha Mengetahui atas segala-galanya. Allah tahu rasa sakit yang diderita hamba-Nya, sekaligus punya obat terbaik dari rasa sakit itu.

Allah Swt. mempunyai sifat pengasih dan penyayang. Sekali lagi kita sama-sama mengingatkan, tugas seorang hamba adalah meningkatkan kesabaran, ilmu agama, dan keimanan kepada Allah Swt. ketika tidak ada upaya atas itu semua, maka kehidupan seseorang tidak terasa bermakna, kegagalan menjadi beban yang berat, lalu kehidupan semakin memburuk.

Perasaan selalu gelisah dan berburuk sangka kepada sang pencipta. Allah dianggap tidak adil, tidak sayang. Padahal semua perasaan itu terjadi karena keyakinannya kepada Allah sedang tidak baik-baik saja.  

Kalau hal ini masih berlarut-larut pada diri kita, mari kita jawab pertanyaan di bawah ini! Sebutkan, adakah yang lebih menyayangi kita daripada Allah? Adakah yang lebih mengerti kita daripada Allah? Kalau memang tidak ada, kenapa kita masih ragu dan selalu gelisah? Lalu pada siapa lagi kita percaya? Wallahu a’lam.

 

Semolowaru, 10 September 2024

Jumat, 06 September 2024

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG KITA

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

Barangsiapa yang menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk mengumpulkan harta karena takut miskin, maka dialah sebenarnya orang yang miskin. 

(Imam Al-Ghazali)

 

Jika hidup dan cita-cita hanya tentang pencapaian pribadi, tentu Rasulullah Saw. tak perlu sampai mempertaruhkan dirinya, dan tak perlu ketika ajal datang hendak menjemput yang dikhawatirkan adalah umatnya. Beliau bisa saja cukup beribadah bagi diri sendiri, lalu masuk surga.

Jika mimpi-mimpi hanya tentang pencapaian pribadi, tentu para sahabat seperti Abu Bakar, Ustman dan yang lain tak perlu menghibahkan hartanya untuk membela agama Allah Swt. dan membantu fakir miskin. Mereka bisa memilih ibadah yang lain, dan bersantai menikmati kekayaan yang dimilkinya.

Faktanya, mereka dan banyak orang mampu mengorbankan dengan segala yang dipunyai. Baik, berupa materi atau yang lain. Mereka dalam proses mengejar impian, bekerja dengan keras tidak hanya terpaut untuk menyejahterakan diri dan keluarganya saja, tetapi  ada nilai lebih dari itu yaitu panggilan jiwa bisa bermanfaat terhadap sesama.

Mereka juga percaya dan meyakini bahwa apa-apa yang melekat pada diri mereka adalah titipan dari Allah Swt. seperti harta, jabatan, pekerjaan, ketampanan dan lain sebagainya. Ibarat tukang parkir kendaraan, kita hanya dititipi saja.

Karena hanya dititipi, berarti semua akan kembali kepada pemiliknya yaitu Allah Swt. Hanya petugas parkir yang tidak tahu diri yang menyombongkan kendaraan yang bukan miliknya kepada orang lain. Allah Swt. berfirman “Kepunyaan Allah-lah apa yang dilangit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa:126).


Segala Ketetapan Allah Swt. Adalah Baik Bagi Kita

Di dalam kehidupan ini kita diajarkan bahwa siap menerima segala sesuatu yang akan terjadi dengan ikhlas, baik itu berupa keberhasilan ataupun kegagalan. Dan terkadang kegagalan itu tidak pernah kita harapkan, padahal  kita sudah mencegahnya agar jangan sampai terjadi.

Allah Swt. berfirman, “Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan mungkin kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Semoga bermanfaat!

 

Surabaya, 6 September 2024

Rabu, 14 Agustus 2024

TERIMA KASIH KESULITAN

 



Oleh Mujianto, M.Pd.



“Orang yang pesimis selalu melihat kesulitan di setiap kesempatan, sedangkan orang yang optimis selalu melihat kesempatan di setiap kesulitan”

(Ali bin Abi Thalib)

 

Di dalam kehidupan ini, pasti di suatu waktu kita menemukan kesulitan. Bahkan, karena terlalu beratnya kesulitan itu, kita sampai menangis, hampir putus asa. Jangankan untuk melalui, bertahan saja rasanya sudah tidak mampu lagi. Apalagi kesulitan itu datangnya tidak disangka-sangka.

Namun, kita tidak sadar, bahwa karena kesulitan itu sujud kita kepada Allah semakin lama, pengharapan kepada manusia semakin berkurang, dan rasa berserah seutuhnya kepada Allah semakin besar.

Sekiranya kita menggunakan akal dan hati, maka kesulitan adalah kebaikan yang mengantarkan kita kepada keyakinan, bahwa Allah mempunyai nama al-Aziz, Yang Maha Perkasa. Tidak ada yang mampu menolong kita selain Allah Swt.

Di saat nanti ketika Allah Swt. sudah menolong kita melewati kesulitan, jangan lagi menjauh, apalagi melupakan-Nya. Walau hidup kita nantinya sedang baik-baik saja, sujud kita akan tetap lama, dan berdoa tetap penuh pengharapan. Kesulitan benar-benar membawa pelajaran. Spiritualitas kehidupan kita semakin meningkat.

Allah Swt. berfirman di dalam surat al-Insyirah ayat 5 dan 6, “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” “Dan sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.”

Dan Rasulullah Saw. memberikan nasihat dalam sabdanya “Kenalilah (ingatlah) Allah di waktu senang, pasti Allah akan mengenalimu di waktu sempit.” (HR. Tirmidzi)

 

Surabaya, 14 Agustus 2024

Selasa, 13 Agustus 2024

ISTIRAHATLAH SEJENAK!

 



Oleh Mujianto, M.Pd.


 

“Terkadang kehidupan yang Anda keluhkan adalah kehidupan yang didambakan banyak orang.”

(Maqalah)


Kelelahan pasti pernah dirasakan oleh setiap orang. Jika datang lelah, bolehlah kita istirahat, walau sejenak. Bisa dengan duduk santai di kursi atau di manapun itu. Karena dengan beristirahat, kita bisa tahu bagian mana yang lelah, dan bagian mana yang salah. Dengan beristirahat, kita dapat mengumpulkan energi untuk berlari kembali, menyongsong esok hari dengan langkah yang lebih optimis.

Tubuh kita terdiri atas jiwa dan raga. Kedua hal ini juga bisa merasakan kelelahan. Merawat dan mengistirahatkan jiwa juga sama pentingnya dengan menjaga kesehatan raga kita. Terkadang, justru kelelahan mental yang tidak kita sadari dapat menyebabkan perasaan sedih dan gelisah.

Setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda untuk bisa memperoleh ketenangannya. Ada yang merasa nyaman dengan liburan bersama keluarga atau orang terkasihnya, berkumpul dengan komunitas, juga ada yang sekedar tidur yang lebih panjang dan berkualitas.

Sahabat, ada makna yang terkandung dari waktu istirahat kita. Istirahat yang berkualitas. Seperti yang dilakukan para sahabat Rasulullah Saw. Karena kebiasaannya ketika mengistirahatkan tubuhnya, juga mengistirahatkan egonya, kesedihannya, kemarahannya, prasangka buruk terhadap orang lain, yang seakan mendapatkan karunia lebih banyak dari dirinya, dan sifat-sifat negatif yang lain. Mereka, para sahabat beristirahat dalam tetesan air mata dan penuh rasa syukur.

Sahabat, selama kita masih diberi nyawa, hidup harus terus berjalan. Kita punya keyakinan bahwa Allah SWT. akan menunjukkan jalan dan sudah menyiapkan skenario terbaik untuk kebahagiaan kita. Namun jangan lupa, istirahatlah sejenak!

Surabaya, 13 Agustus 2024

Senin, 12 Agustus 2024

WAKTUMU BERHARGA

 



Oleh Mujianto, M.Pd. 


“Tidak akan pernah kembali waktu yang telah berlalu”

(Maqalah)


         Setiap dari kita memiliki waktu yang sama. Yaitu 24 jam dalam satu hari. Semua orang mengetahui hal itu, tapi tidak semua orang bisa menggunakan waktunya dengan baik. 

                Kita kadang tersadar betapa berharganya waktu saat kita dihadapkan pada permasalahan yang sulit. Seperti tugas pekerjaan yang menumpuk, memersiapkan momen ujian, berbagi waktu antara pekerjaan dengan keluarga, apalagi kalau ada yang dirawat di rumah sakit, dll.

       Kajian tentang memanfaatkan waktu sudah sering kita dengar. Allah SWT. pun sudah mengingatkan dalam al-Qur’an surat al-Asr. Apabila waktu tidak digunakan dengan baik, maka seseorang itu akan mengalami kerugian dan celaka nantinya.

  Orang cerdas pasti akan mampu mengatur dan menghargai waktu dengan sebaik-baiknya. Karena bagi mereka waktu bisa mengantarkan ke jalan kesuksesan, jika ia bisa mengendalikan dan mengisinya dengan suatu yang produktif.

 

Bersahabat dengan Waktu

            Layaknya sahabat, waktu sangat kita perhatikan, tidak jauh, selalu dekat dan membantu kita dalam kebaikan. Ada beberapa cara agar kita senantiasa bersahabat dengan waktu. Pertama,  genggam dan ajaklah waktu untuk menemani mencapai tujuan dan impian hidup kita. Setiap kali kita menggunakan waktu dengan efektif, kita melangkah lebih dekat ke arah impian hidup kita. Kedua, waktu adalah sarana pengembangan diri. Dalam 24 jam sehari, kita dapat meningkatkan kompetensi dan nilai kita. Baik dalam karir maupun kehidupan pribadi. Seperti belajar keterampilan baru, membaca buku, kursus dll. Ketiga, menambah kualitas hidup lebih baik. Kualitas hidup seseorang bisa dilihat dari cara mengatur waktu. Waktu untuk keluarga, pekerjaan, rekreasi, juga bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Keempat, menjaga kesehatan. Kesehatan adalah energi untuk mencapai tujuan. Kita bisa menjaganya dengan olahraga rutin, istirahat yang cukup dan tidur yang berkualitas.

            Tulisan singkat ini saya tutup dengan ungkapan yang sudah populer tentang berharganya sebuah waktu dan gambaran seberapa meruginya sebuah keterlambatan.

“Jika kamu ingin tahu betapa berharganya 1 menit waktu, bertanyalah pada seseorang yang hampir tertinggal keberangkatan pesawatnya.”

“Jika kamu ingin tahu betapa berharganya 1 detik waktu, bertanyalah pada seseorang yang selamat dari kecelakaannya.”

“Jika kamu ingin tahu betapa berharganya 1 milidetik waktu, bertanyalah pada seorang atlet yang memenangkan perlombaan larinya.” Semoga bermanfaat. 


Surabaya, 13 Agustus 2024

 

Senin, 22 Juli 2024

Hakikat Kerjasama

 



Oleh: Mujianto, M.Pd.

 

Sering kita melihat suatu kegiatan sukses dilaksanakan, lembaga berhasil menjalankan programnya, ataupun perusahaan semakin maju perkembangannya. Kita pun berasumsi bahwa keberhasilan dan kesuksesan tersebut karena hasil dari kumpulan atau kerjasama banyak pihak atau stakeholder di manajemen tersebut. Apakah ya seperti itu? Jawabannya belum tentu.

Dalam praktiknya kadangkala kesuksesan suatu tim tidak dari banyak unsur. Namun, dari satu atau dua unsur yang nampak berperan lebih, sehingga berpengaruh dalam kesuksesan tim. Namun, demi terkesan bijak, maka disampaikanlah, bahwa keberhasilan itu karena kerjasama banyak pihak.  

Menurut KBBI, kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah, dan sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Prof. Dr. Rachmat Hidajat, kerjasama merupakan suatu proses saling membantu dan bekerjasama melalui pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.

Melihat dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa kerjasama adalah suksesnya dan terjalankannya masing-masing tugas yang sudah terbagi. Istilah lainnya, tupoksi masing-masing anggota tim sudah dikerjakan. Sehingga kalau ada satu, dua bahkan lebih anggota tim yang belum melaksanakan tupoksinya, maka keberhasilan tim itu hakikatnya bukan dari kerjasama, tapi karena ada unsur yang dominan, sehingga keberhasilan tetap menghampiri. Yang lain bisa dikatakan hanya nunut atau penggembira karena tidak berpengaruh bahkan mengurangi keberhasilan.

            Ada ilustrasi sederhana yang mendukung gambaran kesimpulan di atas, yaitu sebuah tim sepak bola. Tim sepak bola sudah tersusun beberapa bagian dengan tugasnya masing-masing. Seperti pelatih dengan kemampuan meracik dan strategi mengolah tim, penyerang dengan naluri mencetak golnya, penjaga gawang dengan kemampuan menjaga gawangnya, begitu juga dengan pemain tengah, pemain belakang dll. Bila kerjasama terjadi, setiap unsur menjalankan tugasnya dengan maksimal. Betapa luar biasanya tim ini.

Namun, tidak bisa dipungkiri keberhasilan tim sepak bola ini akan tetap datang, walau ada unsur yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Seperti pelatihnya tidak hebat, tetapi karena pemainnya cerdas, sehingga di lapangan dapat mengambil tindakan yang tepat. Begitu juga ketika penyerang tidak bisa menjebolkan gawang lawan, tetapi karena penjaga gawang timnya sendiri ini hebat, sehingga tidak kebobolan. Maka kekalahan tim ini pun tidak terjadi.

Sobat, itulah hakikat kerjasama. Dibangun dari kumpulan kerja masing-masing individu yang sungguh-sungguh mengerjakan tugasnya, bukan dimaknai seperti halnya gotong-royong. Dengan demikian, kita harus ambil bagian. Tentunya dengan menjalankan peran kita dengan sebaik mungkin. Kita tidak tega melihat teman kita berjuang sendirian. Kita pun tentu tetap ingin disebut pemain, bukan penonton.

Allah SWT. berfirman di dalam surat at-Taubah ayat 105 “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Semoga bermanfaat!

Surabaya, 22 Juli 2024

 

Senin, 10 Juni 2024

Benarkah Akhlak Lebih Tinggi dari Ilmu?

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

            Banyak quotes atau kata mutiara yang dikemas dalam poster tersebar di medsos yang isinya membandingkan posisi ilmu dan akhlak. Juga nitizen yang ikut menanggapi sebuah unggahan video di medsos dengan ungkapan yang sama tentang perangai seseorang yang dilihatnya tidak baik. Lalu berkomentar, kurang lebih seperti ini, “Akhlak lebih tinggi dari Ilmu.”

Penulis tertarik membuat catatan. Karena perlu dipahami secara mendalam dulu. Apa itu akhlak? Apakah akhlak tidak bagian dari suatu ilmu? Apakah orang yang berakhlak tidak membutuhkan ilmunya ? Lalu, apakah akhlak hanya diartikan sebatas sopan dan santun? Dengan demikian, posisi ilmu ada dimana? Hal ini, menarik sekali untuk dibincangkan.

Akhlak yang sudah kita ketahui, terbagi menjadi dua. Akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak madzmumah (tercela). Akhlak terpuji cakupannya begitu luas, di antaranya meliputi sifat jujur, amanah, adil, dermawan, gigih, bijaksana, rela berkorban, sopan, santun, dll. Menurut Prof. Dr. M. Zainuddin, MA., guru besar bidang Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim, “Output pendidikan tercermin dari akhlak seseorang. Kata akhlak di sini sering diartikan secara sempit. Orang-orang memahami akhlak sebatas sopan santun. Padahal, akhlak karimah itu mencakup berbagai kebajikan.”

Akhlak Tidak Sebatas Sopan dan Santun

            Pasti kita semua punya sosok idola. Kita mengidolakan sosok tersebut salah satunya karena kesantunan dan kesopanannya. Bisa sosok kepala daerah, seorang ustaz atau bahkan artis. Kita sering melihat di layar kaca atau secara langsung dalam suatu kesempatan. Mungkin ada yang sangat berlebihan mengagumi idolanya, hingga mengabaikan bahkan menjatuhkan sosok lain karena dianggap “tidak lebih” dari sosok idolanya.  

Namun, beberapa waktu kemudian, kita pun dibuat tercengang. Yang kita idolakan itu, yang tampak santun itu, yang lembut tutur katannya itu, ternyata masuk jeruji besi, ada yang terbukti korupsi, kekerasan, menipu banyak orang dsb. Kita pun dibuat kecewa. Tidak mengira. Ternyata kesantunannya selama ini, hanya sebagai kedok atas kejahatan dan kepentingannya pribadi. Kita pun melihat sang idola di layar kaca masih tampak santun, wajah menunduk dengan tangan terborgol dan memakai baju tahanan.

Pertanyaannya, sebagai intropeksi, bolehkah kita menyalahkan diri sendiri sebagai muhasabah? Jawabannya sangat boleh. Bahkan harus. Karena dengan pemahaman sempit kita tentang makna sebuah akhlak, kita merendahkan atau su’udzon kepada sosok-sosok lain yang tidak sebanding dengan idola kita itu.

Akhlak Melekat pada Tanggung Jawab

Akhlak melekat pada tanggung jawab seseorang. Mungkin dari kita pernah dinasihati dengan suara tegas atau bahkan “dipukul” oleh ayah kita, karena tidak salat. Apakah kita menganggap ayah kita tidak berakhlak? Tentu, kita tidak berani menganggap seperti itu. Karena memang ilmu dan tanggung jawabnnya seperti itu. Orang tua menasihati anaknya dengan nada tegas karena sebelumnya dengan nada lirih tidak digubris. Dan orang tua boleh “memukul” anaknya yang tidak salat ketika tiba usia 10 tahun.

Setiap individu manusia yang masih hidup di dunia mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. Allah Swt. menyebut kita semua adalah khalifah fil-ard. (pemimpin di muka bumi). Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka dari itu setiap pemimpin dalam menjalankan perannya harus berdasarkan ilmu. Dengan ilmu itu, kita akan berhasil dalam menjalankan peran kita dan siap mempertanggunjawabkan di hadapan Allah Swt.

Barometer seseorang dikatakan berakhlak bisa dilihat dari kesungguhan dalam menjalankan tanggung jawabnya, karena orang sukses yang sebenarnya dalam menjalankan perannya pasti dibarengi dengan ilmu. Dan di dalam ilmu itu ada bagian mengajarkan tatanan akhlak yang baik.

Kita ambil salah satu contoh, yaitu peran guru. Siapa pun yang menjalankan peran guru, jika mau sukses yang sebenarnya harus tahu ilmunya. Dan di dalam ilmu itu pasti ada bagian yang mengatur tentang unsur akhlaknya. Di kampus calon sarjana guru akan mempelajari mata kuliah dasar-dasar pendidikan, teori belajar, filsafat pendidikan, bimbingan konseling, hingga psikologi pendidikan. Yang di jurusan tarbiyah ada tambahan ilmu akhlak,dan metode pendidikan agama Islam. Di kalangan santri ada kitab yang sudah masyhur salah satunya yaitu Ta’limul muta’allim yang memberikan panduan bagi guru dan murid agar sukses dalam menjalankan perannya.

Tidak hanya peran guru, semua peran profesi, atau tanggung jawab dengan tujuan baik pasti mengedepankan cara dan akhlak yang baik. dan semua harus dicari ilmunya. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari ilmu. Ilmu dan akhlak selalu beriringan. Akhlak yang baik bersumber dari ilmu yang baik. Sabda Rasulullullah Saw. yang selalu terngiang. Barang siapa mencari dunia maka dengan ilmu, barang siapa mencari akhirat maka dengan ilmu. Dan barang siapa mencari keduanya, maka dengan ilmu pula.

Tulisan sederhana ini hanya untuk mengurai wawasan dan membawa pesan kepada diri pribadi. Pesan pertama, semoga penulis tidak mudah berburuk sangka mengatakan seseorang kurang berakhlak dsb. hanya melihat tampilan luarnya saja. Ketika kita mendengar orang berkata kotor pada dasarnya ia kurang ilmu. Seperti anak kecil lewat di depan orang tua tanpa membungkuk. Apakah anak itu tidak berakhlak? Mungkin lebih tepatnya, bisa kita katakan, anak itu belum tahu ilmunya. Pesan kedua, menuntut ilmu tidak boleh berhenti hingga akhir hayat. Baginda Nabi Saw berpesan dalam hadisnya, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.” 

Ilmu dan akhlak berjalan beriringan. Keduanya adalah bekal utama khalifah fil-ard yang rahmatan lil ‘aalamiin. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat!

                                                                                                Waru, 11 Juni 2024