Selasa, 22 Juli 2025

Menciptakan Kebahagiaan Pada Diri Sendiri


Oleh Mujianto, M.Pd.


"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang."

(Surah Ar-Ra’d ayat 28)

 

Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, namun sering kali kita mencarinya di tempat yang salah. Banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa dari pencapaian besar, harta yang melimpah, atau pengakuan dari orang lain.

Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan oleh dunia luar, melainkan sesuatu yang dapat diciptakan sendiri dari dalam diri setiap individu. Menciptakan kebahagiaan sendiri bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi menjadikan diri sebagai sumber utama dari rasa tenang dan damai.

Menciptakan kebahagiaan bukanlah tentang menunggu momen-momen tertentu terjadi, melainkan tentang membangun kebiasaan, cara berpikir, dan gaya hidup yang mendukung kebahagiaan itu hadir. Rasulullah SAW. bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya." (HR. Muslim). Orang-orang yang bersyukur akan memiliki pikiran yang positif, sehingga meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diatur oleh Allah SWT. dan ada hikmah di dalamnya. Sikap ini melahirkan ketenangan hati dan menyebabkan kebahagiaan.

Langkah awal untuk menciptakan kebahagiaan dalam diri adalah dengan mengenali dan menerima diri apa adanya. Penerimaan diri berarti memahami kelebihan dan kelemahan pribadi. Saat seseorang mampu mengenali dan berdamai dengan dirinya sendiri, mereka akan memiliki fondasi emosional yang kuat untuk mengembangkan rasa bahagia.

Banyak orang merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, padahal setiap individu memiliki jalur dan pola hidup yang unik.

Penerimaan diri adalah cara utama dalam menemukan kebahagiaan dari dalam. Di dalam penerimaan diri terdapat bukti rasa syukur yang besar kepada Allah SWT. Sering kali kita merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, menghakimi kelemahan sendiri, dan mengabaikan potensi yang kita miliki. Dengan belajar menerima diri apa adanya kita dapat menciptakan ruang untuk bertumbuh tanpa adanya tekanan.

Aspek penting lain dalam menciptakan kebahagiaan adalah menjaga kesehatan mental dan fisik. Olahraga teratur, tidur yang cukup, serta mengonsumsi makanan yang sehat memiliki dampak besar terhadap suasana hati dan kestabilan emosi.

Merawat kesehatan mental bisa melalui rasa syukur yang selalu ditingkatkan, dan mengelola emosi negatif yang bisa mengganggu kebahagiaan dan pelan-pelan mengubahnya menjadi sikap husnuzan.

Selain itu, hubungan yang sehat dan dukungan sosial juga berperan besar dalam memperkuat kebahagiaan diri. Meskipun kebahagiaan berasal dari dalam diri, manusia tetap makhluk sosial yang membutuhkan koneksi. Menjaga hubungan yang saling menghargai, membangun komunikasi yang jujur, dan memberikan waktu untuk orang-orang terdekat adalah bagian penting dari kebahagiaan diri.

Menciptakan kebahagiaan pada diri sendiri adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Juga, bukan berarti menjalani hidup tanpa masalah, tetapi bagaimana kita merespons setiap kejadian yang kita alami dengan sikap yang bijak. 

Kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi, kita diberi kuasa untuk berikhtiar membentuk hidup yang lebih bermakna. Dalam dunia yang terus berubah ini, memiliki sumber kebahagiaan yang stabil dari dalam diri adalah sebuah keistimewaan. Wallahu a'lam bis-showab.


Senin, 21 Juli 2025

Sesuatu yang Tidak Mengenakkan Itu Juga Rezeki

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Dalam hidup, kita cenderung memaknai rezeki secara sempit. Rezeki dimaknai hanya sebatas materi, seperti uang, makanan, atau harta benda lainnya. Padahal, dalam perspektif yang lebih dalam, rezeki bisa berupa apa saja yang datang dari Sang Pemilik Alam Semesta ini, termasuk hal-hal yang tampaknya tidak menyenangkan.

Banyak orang luput memahami bahwa cobaan, kegagalan, bahkan rasa sakit, bisa menjadi bentuk rezeki bagi manusia. Di sinilah kita diingatkan untuk memperluas makna rezeki dan menyelami nilai spiritual yang terkandung di balik peristiwa-peristiwa yang tidak kita sukai.

Contoh sederhana, batuk sering dan terlalu cepat dianggap sebagai gangguan atau tanda bahwa tubuh sedang tidak sehat. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang medis, batuk justru bisa menjadi bentuk rezeki. Secara medis, batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang sangat penting. Ia bekerja untuk membersihkan saluran pernapasan dari lendir, kuman, debu, dan partikel yang dapat membahayakan sistem pernapasan. Artinya, batuk bukan hanya gejala penyakit, tetapi juga proses alami tubuh untuk menjaga kesehatan dan menyingkirkan zat yang tak dibutuhkan.

Rasa sakit tidak hanya memaksa kita untuk merintih, tetapi juga menunduk, merenung lalu tersadar berusaha lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

 

Ujian dengan Penderitaannya Adalah Rezeki yang Tersembunyi

Rezeki dalam bentuk ujian juga menjadi penanda bahwa kita sedang diperhatikan oleh Sang Khaliq. Semakin tinggi derajat seorang hamba, semakin berat pula ujian yang diberikan kepadanya. Artinya, ujian bukan tanda keburukan.

Tidak semua orang diberi kesempatan untuk tumbuh melalui penderitaan, karena hanya mereka yang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar yang mampu melaluinya. Jadi, rasa tidak mengenakkan itu bisa menjadi bentuk kepercayaan Tuhan kepada kita.

Tidak semua kenikmatan adalah rezeki yang membawa kebaikan. Rezeki yang hakiki adalah segala sesuatu yang mendatangkan keberkahan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Jika seseorang hanya mendapatkan yang enak-enak tetapi itu membuatnya lalai dari ibadah, menjadi sombong, atau bermaksiat, maka sejatinya itu bukanlah rezeki, melainkan ujian yang tersembunyi, bahkan bisa menjadi istidraj, yakni kenikmatan dunia yang Allah berikan sebelum azab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 44, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa kenikmatan dunia bisa menjadi cara Allah menguji atau bahkan menyesatkan mereka yang lupa diri. Oleh karena itu, bisa jadi, kenikmatan itu datang bukan sebagai bentuk cinta Allah, melainkan ujian untuk melihat ke mana hati kita akan condong.

Memahami bahwa “sesuatu yang tidak mengenakkan itu juga rezeki” adalah bentuk kedewasaan spiritual. Dunia tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi selalu memberi apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Maka, jika saat ini kita sedang berada dalam ketidaknyamanan, barangkali itulah rezeki yang sedang menyapa bukan untuk menyenangkan kita, tapi untuk menguatkan dan memuliakan kita. Wallahu a’lam bis-showab.

Rabu, 16 Juli 2025

Mengakui Kesalahan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Jadikan taubat bukan hanya untuk dosa-dosa yang telah kamu lakukan, tapi juga untuk kewajiban yang belum kamu tunaikan.

(Ibnu Taimiyyah)

 

Kesalahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Sejak awal kehidupan, manusia tumbuh dan belajar melalui proses mencoba, jatuh, gagal, lalu memperbaiki. Dalam dinamika itu, kesalahan muncul sebagai konsekuensi dari keterbatasan pengetahuan, emosi, dan pengalaman diri.

Tidak ada manusia yang luput dari salah, karena kesempurnaan bukanlah milik makhluk, melainkan milik Sang Pencipta. Menyadari kenyataan bahwa setiap orang pernah atau bisa saja melakukan kesalahan dapat menjadi dasar dari sikap empati, toleransi, dan keadilan dalam memandang serta bersosialisasi dengan sesama.

Setiap individu pasti pernah membuat kesalahan, baik kecil maupun besar. Namun yang membedakan seseorang yang memahami dan mau berkembang adalah kemampuannya untuk menghadapi dan mengakui kesalahan yang dilakukannya.

Menghadapi kesalahan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang lebih memilih menyalahkan keadaan, orang lain, atau bahkan menyangkal fakta demi melindungi harga diri. Namun, sikap seperti itu justru memperpanjang konflik batin dan menghambat pertumbuhan pribadi.

Mengakui kesalahan adalah bentuk tanggung jawab dan kematangan emosional. Saat seseorang mengakui kesalahannya, ia menunjukkan bahwa ia bersedia belajar, berubah, dan memperbaiki. Sikap ini mempererat hubungan dengan orang lain karena menunjukkan kejujuran dan kerendahan hati.

 

Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia dan Ampunan

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Tirmidzi). Hadis ini tidak hanya menunjukkan realitas bahwa kesalahan adalah keniscayaan, tetapi juga menegaskan bahwa kemuliaan manusia justru terletak pada kesediaannya untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan tersebut.

DI dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 53, Allah SWT berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Ayat ini menjadi penguat bahwa setiap kesalahan, sekecil atau sebesar apapun, selama disertai dengan taubat yang tulus, Allah akan mengampuni. Wallahu a’lam bis-showab.


Selasa, 15 Juli 2025

Berubah dan Berbuatlah, Tapi Jangan untuk Menyenangkan Orang Lain!

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Tahu akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."

QS. At-Taubah: 105

  

Perubahan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Setiap orang, cepat atau lambat, akan dihadapkan pada titik di mana mereka harus tumbuh, menyesuaikan diri, atau mengevaluasi kembali jalan hidupnya. Namun, yang sering kali menjadi persoalan adalah motivasi di balik perubahan itu.

Tidak sedikit orang yang berubah bukan karena mereka ingin atau butuh, tapi karena tekanan sosial, keinginan untuk diterima, atau rasa takut ditolak. Inilah yang membuat perubahan menjadi beban, bukan pertumbuhan.

Dalam kehidupan sosial, manusia memiliki kecenderungan alami untuk diterima dan disukai oleh lingkungannya. Ini adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia akan pengakuan. Namun, masalah mulai muncul ketika seseorang mulai mengorbankan jati dirinya demi memenuhi ekspektasi orang lain. Mengubah sikap, atau bahkan prinsip hidup hanya untuk menyenangkan orang lain.

Menyenangkan semua orang adalah misi mustahil, dan mencoba melakukannya hanya akan membawa kelelahan emosional. Penting untuk memahami bahwa kita tidak bisa mengendalikan cara orang lain memandang kita. Seberapa keras pun usaha kita untuk tampil seperti yang mereka inginkan, tetap akan ada kritik, tuntutan baru, dan ekspektasi yang tak pernah habis.

Berubahlah, tapi karena kita ingin tumbuh. Berubahlah, karena kita tahu ada ruang untuk menjadi lebih baik. Tapi jangan pernah berubah hanya untuk membuat orang lain senang, sementara kita sendiri merasa terasing dari diri sendiri. Dunia akan selalu punya pendapat, dan responnya masing-masing  tapi hidup yang kita jalani sepenuhnya adalah milik kita sendiri. Maka, jadilah versi terbaik dari diri kita sendiri.

 

Berbuat Karena untuk Mencapai Tujuan

Dalam perjalanan hidup, kita sering kali dihadapkan pada pilihan. Bertindak karena keinginan pribadi untuk berkembang, atau bertindak karena ingin terlihat baik di mata orang lain. Banyak orang terjebak dalam pola pikir bahwa validasi eksternal adalah tolok ukur keberhasilan.

Tindakan yang didasarkan pada keinginan menyenangkan orang lain biasanya hanya memberi kepuasan sesaat, bukan kepuasan yang bermakna dan bertahan lama. Melangkah mengejar prestasi yang seharusnya bagian dari tujuan hidup, bukan karena ingin mendapat tepuk tangan, pengakuan, atau diterima dalam lingkaran sosial tertentu.

Tindakan yang lahir dari tujuan yang benar, jauh lebih kuat dan berakar dalam. Tujuan yang benar memberi arah yang jelas, membentuk karakter, dan melahirkan konsistensi.

Berbuat untuk mencapai tujuan adalah bentuk penghargaan terhadap waktu dan potensi diri. Itu adalah komitmen pada pertumbuhan sejati. Sedangkan berbuat demi menyenangkan orang lain sering kali membuat kita lelah secara emosional.

Maka penting untuk selalu bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku melakukan ini karena itu bagian dari panggilan jiwaku, apakah ini prestasi yang harus aku usahakan? Atau hanya karena aku ingin terlihat baik dan berhasil di mata orang lain? Wallahu a’lam bis-shawab.

Minggu, 13 Juli 2025

3 Pilar Utama Membangun Lembaga Sekolah dari Dalam


 Oleh Mujianto, M.Pd.

Membangun lembaga sekolah tidak cukup hanya dengan infrastruktur fisik dan kurikulum formal yang lengkap. Justru, kekuatan utama dari sebuah sekolah terletak pada pembangunan internal yang mencakup budaya, nilai, visi, peraturan, komitmen serta relasi antara individu di dalamnya.

Transformasi sejati hanya mungkin terjadi ketika pembenahan dimulai dari dalam: dari pemimpin yang visioner, guru yang berintegritas, siswa yang terlibat aktif, dan sistem manajemen yang transparan, bijak serta reflektif. Dalam konteks ini, membangun lembaga sekolah dari dalam berarti ada hal yang menurut penulis wajib dipenuhi sebagai fondasi utama dari struktur-struktur atau nilai-nilai yang menopang seluruh proses pendidikan lembaga sekolah.

Pilar pertama adalah membentuk visi-misi sekolah yang kuat-kontekstual dan berupaya menjadikannya paradigma. Banyak sekolah memiliki visi dan misi, namun tidak semuanya hidup dan dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Banyak sekolah yang visi dan misi hanya sebagai pajangan di ruang guru, sudut-sudut ruangan, dan media sosisal sekolah. 

Visi yang dirumuskan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan, guru, kepala sekolah, siswa, dan orang tua akan memberi arah yang jelas dan menyatukan tujuan semua pihak. Visi ini harus mampu menjawab tantangan zaman serta memperhatikan karakteristik lokal tempat sekolah berada, agar tidak sekadar menjadi slogan kosong.

Agar visi dan misi tidak menjadi slogan kosong, seluruh elemen sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua perlu memahami, meyakini, dan menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dimulai dengan menjadikan visi sebagai rujukan dalam setiap pengambilan keputusan, menyelaraskan program kerja sekolah dengan misi yang ditetapkan. 

Visi yang hidup akan menciptakan kesadaran kolektif, memperkuat identitas sekolah, dan mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang bermakna. Dengan demikian, sekolah bukan hanya institusi pembelajaran, melainkan tempat di mana cita-cita bersama diwujudkan dalam tindakan nyata setiap hari.

 

Pilar kedua adalah mengokohkan lembaga sekolah melalui sistem yang konsisten dan komitmen stakeholder. Dalam membangun lembaga sekolah yang kuat dan berdaya saing, pondasi utama yang sering kali terabaikan adalah tata aturan yang jelas dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). 

Peraturan bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kerangka nilai dan perilaku yang mengarahkan dinamika kehidupan sekolah. Sementara itu, komitmen stakeholder, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat sekitar menjadi energi sosial yang mendorong berjalannya sistem pendidikan secara konsisten.

Membahas tentang komitmen, komitmen ini bukan sekadar hadir dalam rapat, tetapi dalam kompetensi semua pihak untuk bertanggung jawab atas peran masing-masing demi kemajuan bersama. Komitmen ini perlu didukung oleh sistem yang konsisten, transparan, dan adil dalam pelaksanaan aturan, penilaian kinerja, dan pengembangan profesional. Sistem yang sehat dan partisipatif akan menjaga komitmen tetap hidup dan berkembang.

Komitmen akan tumbuh subur jika semua pihak merasa memiliki visi yang sama dan melihat bahwa kontribusi mereka berdampak langsung terhadap kemajuan sekolah. Namun, komitmen tersebut hanya dapat bertahan dan berkembang jika ditopang oleh sistem yang konsisten dan adil. Sistem mencakup aturan yang jelas, mekanisme evaluasi yang transparan, serta kebijakan yang diterapkan secara merata tanpa tebang pilih.

Konsistensi sistem menjamin bahwa setiap bentuk komitmen tidak sia-sia, karena diakui, dihargai, dan diperkuat oleh struktur yang mendukung. Ketika ada ketimpangan antara semangat individu dan kelemahan sistem, maka kelelahan, frustrasi, dan apatisme mudah muncul.

Pilar ketiga adalah refleksi dan evaluasi berkelanjutan. Langkah ketiga ini menjadi kunci agar pembangunan internal sekolah tidak berhenti sebagai proyek sesaat. Sekolah harus memiliki sistem refleksi berkala yang melibatkan semua pihak, dari kepala sekolah hingga petugas kebersihan, sebagai bagian dari budaya perbaikan berkelanjutan. 

Dengan membangun diri dari dalam, sekolah tidak hanya akan menjadi institusi pendidikan, tetapi juga komunitas pembelajaran yang tumbuh bersama demi mencetak generasi masa depan yang tangguh dan bermakna. Waalahu ‘alam bis-sawab.

Selasa, 08 Juli 2025

Menilai Pendapat Secara Objektif: Fokus pada Isi, Bukan Pribadi

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Kebenaran tetap benar walau tidak ada yang menyebutnya, dan kebatilan tetap kebatilan meskipun disepakati seluruh manusia.”

(Ibn Ḥazm dalam karya al- Hikam fi Usul al-Ahkam)

 

“Kebenaran itu tetap benar, walaupun disampaikan oleh musuhmu. Dan kesalahan tetap salah, walau disampaikan oleh orang terdekatmu.”

(Abdullah ibn Mas’ud ra. dalam Hilyat al-Awliya)

 

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh perbedaan, kemampuan untuk menilai pendapat secara objektif menjadi kunci dalam membangun dialog yang sehat. Objektivitas akan mengarahkan kita untuk mampu memisahkan antara isi argumen dan siapa yang menyampaikannya. 

Banyak orang terjebak dalam cara berpikir ad hominem, yaitu menilai benar atau salahnya sebuah pendapat hanya berdasarkan identitas pembicara. Apakah ia disukai, dihormati, dibenci, atau dianggap rendah. Padahal, prinsip keadilan intelektual menuntut kita agar mengukur kebenaran berdasarkan, logika, dan manfaatnya, bukan emosi pribadi terhadap penyampainya.

Menilai pendapat secara objektif bukan hanya menunjukkan kecerdasan, tetapi juga kedewasaan. Kita harus belajar membedakan antara substansi dan sumber, antara isi pikiran dan identitas pribadi.

Jika sebuah argumen disampaikan dengan dalil kuat dan logika yang benar, maka ia layak diterima, meskipun berasal dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Sikap ini tidak hanya membuat diskusi lebih produktif, tetapi juga menjaga kita dari fanatisme dan kezaliman intelektual. Dengan memprioritaskan kebenaran atas perasaan personal, kita lebih dekat kepada hikmah, keadilan, dan adab berpikir yang Islami.

 

Prinsip Obyektivitas dalam Perspektif Islam

Dalam tafsir ayat QS. An-Nisa: 135, para ulama seperti Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa keadilan dalam menilai wajib ditegakkan bahkan terhadap diri sendiri, keluarga, atau pihak yang tidak disukai. Artinya, kita dituntut menimbang pendapat berdasar hujah, bukan sentimen pribadi.

Imam Syafi’i, yang dikenal sangat teguh pada pendapatnya, pernah mengakui bahwa ia tidak merasa benar mutlak. Kata beliau, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah, pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar” (al-Ghazali, al-Mustasfa).

Di dalam ajaran Islam ada konsep tabayyun, bahwa dalam menyerap setiap informasi atau pendapat harus diverifikasi secara konteks, bukan ditolak mentah-mentah karena kebencian atau fanatisme kelompok.

Namun, di tengah era digital saat ini, kita sering menjumpai masyarakat yang terjebak dalam budaya membenci tokoh, lalu menolak semua ucapannya. Ini tidak hanya bertentangan dengan adab Islam, tapi juga berbahaya secara intelektual. 

Jika suatu ide benar dan bermanfaat, seharusnya bisa diterima meskipun datang dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah mengatakan, “Siapa pun yang mencari kebenaran, maka ia akan menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya.” Wallahu a’lam bis-showab

Sabtu, 05 Juli 2025

Berlaku Adil Bagi Seorang Pemimpin

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

"Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."

(Surah Al-Ma'idah ayat 8)

 

Pada suatu waktu saya ditelepon oleh teman guru. Teman saya curhat berkenaan tentang sikap atasannya, baik kepala sekolah maupun yayasannya yang tidak menyukai dirinya. Ia tidak disukai bukan karena ia melanggar tata tertib atau tupoksi yang tidak dikerjakan, tetapi ia terlalu kritis dalam berpendapat. Ia menambahkan, bahwa pendapatnya dirasa bagus untuk kemajuan sekolah, ia pun menyampaikan dengan cara yang baik dan di forum yang tepat. Namun, bagi atasannya direspon berbeda. Ia dipandang sinis dan akhirnya tidak disukai, tentu dengan tanda kutip.

Saya yang mendengar keluhannya, berusaha mendalami, dan mencoba menjawab dari sisi tertentu, sisi sebagai guru sekaligus seorang karyawan atau bawahan. Kesabaran dalam menghadapi pemimpin yang tidak adil merupakan salah satu bentuk keteguhan hati dan kedewasaan spiritual yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Ketidakadilan yang dilakukan pemimpin bisa berupa perlakuan tidak setara, penyalahgunaan wewenang, atau keputusan yang merugikan bawahan tanpa alasan yang jelas. Kesabaran dalam konteks ini bukan berarti membiarkan kesalahan terus terjadi, tetapi merupakan kemampuan untuk menahan emosi, berpikir jernih, dan tidak bertindak reaktif. Islam memandang kesabaran sebagai salah satu bentuk kekuatan iman.

Kesabaran juga menjadi bekal penting agar seorang bawahan tetap fokus menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, tanpa terpengaruh oleh kekurangan pemimpinnya. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang dibenci oleh pemimpinnya karena kesalahan yang tidak diperbuatnya, maka Allah akan menjadi penolongnya selama ia bersabar.” Ini menunjukkan bahwa kesabaran dalam menghadapi ketidakadilan ataupun ketidakkompetenan seorang pemimpin memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah.

Keadilan dalam Konteks Kepemimpinan

Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu prinsip utama yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap individu, terlebih lagi oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin memikul amanah besar dalam mengatur urusan, menjaga hak-hak, dan menetapkan kebijakan yang memengaruhi kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, adil menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki pemimpin agar kekuasaan tidak menjadi alat kepentingan pribadi, melainkan sarana untuk menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

Keadilan dalam konteks kepemimpinan berarti memberikan hak kepada yang berhak tanpa memandang latar belakang, golongan, ataupun kepentingan pribadi. Islam menekankan bahwa pemimpin tidak boleh condong pada kelompok tertentu atau menzalimi pihak lain karena rasa suka maupun benci. Dalam Surah Al-Ma'idah ayat 8, Allah SWT berfirman: "Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." Ayat ini menjadi penegasan bahwa keadilan adalah wujud nyata dari ketakwaan dan integritas moral seorang pemimpin.

Rasulullah SAW. sendiri menjadi teladan utama dalam memimpin dengan adil. Dalam banyak peristiwa, beliau menunjukkan keadilan yang luar biasa, bahkan kepada musuh-musuhnya. Beliau tidak pernah membuat keputusan berdasarkan emosi pribadi, tetapi selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan prinsip kebenaran. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di sisi Allah di atas mimbar dari cahaya...” Ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya dihargai di dunia, tetapi juga diberi ganjaran tinggi di akhirat.

Berlaku adil adalah fondasi utama bagi kepemimpinan yang sukses dan diberkahi. Keadilan bukan hanya menjaga hak-hak bersama, tetapi juga mengangkat martabat kepemimpinan itu sendiri. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin bukan hanya bertanggung jawab di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT. Maka dari itu, pemimpin yang adil adalah mereka yang senantiasa takut akan hisab di akhirat dan menjadikan keadilan sebagai barometer dalam setiap keputusan yang diambil. Wallahu a’lam