Oleh Mujianto, M.Pd.
Dalam hidup, kita
cenderung memaknai rezeki secara sempit. Rezeki dimaknai hanya sebatas materi,
seperti uang, makanan, atau harta benda lainnya. Padahal, dalam perspektif yang
lebih dalam, rezeki bisa berupa apa saja yang datang dari Sang Pemilik Alam Semesta ini, termasuk
hal-hal yang tampaknya tidak menyenangkan.
Banyak orang luput
memahami bahwa cobaan, kegagalan, bahkan rasa sakit, bisa menjadi bentuk rezeki bagi manusia. Di sinilah kita diingatkan untuk memperluas makna rezeki dan
menyelami nilai spiritual yang terkandung di balik peristiwa-peristiwa yang
tidak kita sukai.
Contoh sederhana, batuk
sering dan terlalu cepat dianggap sebagai gangguan atau tanda bahwa tubuh
sedang tidak sehat. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang medis, batuk
justru bisa menjadi bentuk rezeki. Secara medis, batuk adalah
mekanisme pertahanan tubuh yang sangat penting. Ia bekerja untuk membersihkan
saluran pernapasan dari lendir, kuman, debu, dan partikel yang dapat
membahayakan sistem pernapasan. Artinya, batuk bukan hanya gejala penyakit,
tetapi juga proses alami tubuh untuk menjaga kesehatan dan menyingkirkan zat
yang tak dibutuhkan.
Rasa sakit tidak hanya
memaksa kita untuk merintih, tetapi juga menunduk, merenung lalu tersadar
berusaha lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Ujian dengan Penderitaannya Adalah
Rezeki yang Tersembunyi
Rezeki dalam bentuk ujian
juga menjadi penanda bahwa kita sedang diperhatikan oleh Sang Khaliq. Semakin tinggi derajat seorang hamba, semakin berat
pula ujian yang diberikan kepadanya. Artinya, ujian bukan tanda keburukan.
Tidak semua orang diberi
kesempatan untuk tumbuh melalui penderitaan, karena hanya mereka yang disiapkan
untuk sesuatu yang lebih besar yang mampu melaluinya. Jadi, rasa tidak
mengenakkan itu bisa menjadi bentuk kepercayaan Tuhan kepada kita.
Tidak semua kenikmatan
adalah rezeki yang membawa kebaikan. Rezeki yang hakiki adalah segala sesuatu yang mendatangkan
keberkahan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Jika seseorang hanya
mendapatkan yang enak-enak tetapi itu membuatnya lalai dari ibadah, menjadi
sombong, atau bermaksiat, maka sejatinya itu bukanlah rezeki, melainkan ujian
yang tersembunyi, bahkan bisa menjadi istidraj, yakni kenikmatan dunia yang
Allah berikan sebelum azab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 44, “Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan
semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
Ayat di atas menunjukkan
bahwa kenikmatan dunia bisa menjadi cara Allah menguji atau bahkan menyesatkan
mereka yang lupa diri. Oleh karena itu, bisa jadi, kenikmatan itu datang bukan
sebagai bentuk cinta Allah, melainkan ujian untuk melihat ke mana hati kita
akan condong.
Memahami bahwa “sesuatu
yang tidak mengenakkan itu juga rezeki” adalah bentuk kedewasaan spiritual.
Dunia tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi selalu memberi apa yang
kita butuhkan untuk tumbuh. Maka, jika saat ini kita sedang berada dalam
ketidaknyamanan, barangkali itulah rezeki yang sedang menyapa bukan untuk
menyenangkan kita, tapi untuk menguatkan dan memuliakan kita. Wallahu a’lam
bis-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar