Selasa, 08 Juli 2025

Menilai Pendapat Secara Objektif: Fokus pada Isi, Bukan Pribadi

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Kebenaran tetap benar walau tidak ada yang menyebutnya, dan kebatilan tetap kebatilan meskipun disepakati seluruh manusia.”

(Ibn Ḥazm dalam karya al- Hikam fi Usul al-Ahkam)

 

“Kebenaran itu tetap benar, walaupun disampaikan oleh musuhmu. Dan kesalahan tetap salah, walau disampaikan oleh orang terdekatmu.”

(Abdullah ibn Mas’ud ra. dalam Hilyat al-Awliya)

 

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh perbedaan, kemampuan untuk menilai pendapat secara objektif menjadi kunci dalam membangun dialog yang sehat. Objektivitas akan mengarahkan kita untuk mampu memisahkan antara isi argumen dan siapa yang menyampaikannya. 

Banyak orang terjebak dalam cara berpikir ad hominem, yaitu menilai benar atau salahnya sebuah pendapat hanya berdasarkan identitas pembicara. Apakah ia disukai, dihormati, dibenci, atau dianggap rendah. Padahal, prinsip keadilan intelektual menuntut kita agar mengukur kebenaran berdasarkan, logika, dan manfaatnya, bukan emosi pribadi terhadap penyampainya.

Menilai pendapat secara objektif bukan hanya menunjukkan kecerdasan, tetapi juga kedewasaan. Kita harus belajar membedakan antara substansi dan sumber, antara isi pikiran dan identitas pribadi.

Jika sebuah argumen disampaikan dengan dalil kuat dan logika yang benar, maka ia layak diterima, meskipun berasal dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Sikap ini tidak hanya membuat diskusi lebih produktif, tetapi juga menjaga kita dari fanatisme dan kezaliman intelektual. Dengan memprioritaskan kebenaran atas perasaan personal, kita lebih dekat kepada hikmah, keadilan, dan adab berpikir yang Islami.

 

Prinsip Obyektivitas dalam Perspektif Islam

Dalam tafsir ayat QS. An-Nisa: 135, para ulama seperti Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa keadilan dalam menilai wajib ditegakkan bahkan terhadap diri sendiri, keluarga, atau pihak yang tidak disukai. Artinya, kita dituntut menimbang pendapat berdasar hujah, bukan sentimen pribadi.

Imam Syafi’i, yang dikenal sangat teguh pada pendapatnya, pernah mengakui bahwa ia tidak merasa benar mutlak. Kata beliau, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah, pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar” (al-Ghazali, al-Mustasfa).

Di dalam ajaran Islam ada konsep tabayyun, bahwa dalam menyerap setiap informasi atau pendapat harus diverifikasi secara konteks, bukan ditolak mentah-mentah karena kebencian atau fanatisme kelompok.

Namun, di tengah era digital saat ini, kita sering menjumpai masyarakat yang terjebak dalam budaya membenci tokoh, lalu menolak semua ucapannya. Ini tidak hanya bertentangan dengan adab Islam, tapi juga berbahaya secara intelektual. 

Jika suatu ide benar dan bermanfaat, seharusnya bisa diterima meskipun datang dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah mengatakan, “Siapa pun yang mencari kebenaran, maka ia akan menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya.” Wallahu a’lam bis-showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar