Oleh Mujianto, M.Pd.
“Kebenaran tetap benar walau tidak
ada yang menyebutnya, dan kebatilan tetap kebatilan meskipun disepakati seluruh
manusia.”
(Ibn Ḥazm dalam karya al- Hikam fi Usul al-Ahkam)
“Kebenaran itu tetap benar, walaupun
disampaikan oleh musuhmu. Dan kesalahan tetap salah, walau disampaikan oleh
orang terdekatmu.”
(Abdullah ibn Mas’ud ra. dalam Hilyat
al-Awliya)
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh perbedaan, kemampuan untuk menilai pendapat secara objektif menjadi kunci dalam membangun dialog yang sehat. Objektivitas akan mengarahkan kita untuk mampu memisahkan antara isi argumen dan siapa yang menyampaikannya.
Banyak orang terjebak dalam cara berpikir ad hominem, yaitu
menilai benar atau salahnya sebuah pendapat hanya berdasarkan identitas
pembicara. Apakah ia disukai, dihormati, dibenci, atau dianggap rendah.
Padahal, prinsip keadilan intelektual menuntut kita agar mengukur kebenaran
berdasarkan, logika, dan manfaatnya, bukan emosi pribadi terhadap penyampainya.
Menilai pendapat secara
objektif bukan hanya menunjukkan kecerdasan, tetapi juga kedewasaan. Kita harus
belajar membedakan antara substansi dan sumber, antara isi pikiran dan identitas
pribadi.
Jika sebuah argumen
disampaikan dengan dalil kuat dan logika yang benar, maka ia layak diterima,
meskipun berasal dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Sikap ini
tidak hanya membuat diskusi lebih produktif, tetapi juga menjaga kita dari
fanatisme dan kezaliman intelektual. Dengan memprioritaskan kebenaran atas
perasaan personal, kita lebih dekat kepada hikmah, keadilan, dan adab berpikir
yang Islami.
Prinsip Obyektivitas dalam Perspektif
Islam
Dalam tafsir ayat QS.
An-Nisa: 135, para ulama seperti Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa
keadilan dalam menilai wajib ditegakkan bahkan terhadap diri sendiri, keluarga,
atau pihak yang tidak disukai. Artinya, kita dituntut menimbang pendapat
berdasar hujah, bukan sentimen pribadi.
Imam Syafi’i, yang
dikenal sangat teguh pada pendapatnya, pernah mengakui bahwa ia tidak merasa
benar mutlak. Kata beliau, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah,
pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar” (al-Ghazali, al-Mustasfa).
Di dalam ajaran Islam ada
konsep tabayyun, bahwa dalam menyerap setiap informasi atau pendapat
harus diverifikasi secara konteks, bukan ditolak mentah-mentah karena kebencian
atau fanatisme kelompok.
Namun, di tengah era digital saat ini, kita sering menjumpai masyarakat yang terjebak dalam budaya membenci tokoh, lalu menolak semua ucapannya. Ini tidak hanya bertentangan dengan adab Islam, tapi juga berbahaya secara intelektual.
Jika suatu ide benar dan bermanfaat, seharusnya bisa diterima meskipun datang
dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
dalam Miftah Dar as-Sa’adah mengatakan, “Siapa pun yang mencari
kebenaran, maka ia akan menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya.” Wallahu
a’lam bis-showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar