Oleh Mujianto, M.Pd.
Kepatuhan adalah salah
satu elemen penting dalam menjaga keteraturan sosial. Tanpa kepatuhan terhadap
hukum, dan norma, masyarakat bisa terjerumus ke dalam kekacauan. Namun,
terdapat sisi gelap dari kepatuhan yang jarang dibicarakan, yaitu kepatuhan
tanpa berpikir.
Kepatuhan tanpa berpikir
adalah bentuk kepatuhan di mana seseorang menaati perintah, atau aturan tanpa
mempertanyakan validitas, etika, atau logikanya. Dalam konteks ini, kepatuhan
bukan lagi cerminan tanggung jawab, melainkan penyerahan diri secara pasif
terhadap kekuasaan, atau kepentingan tertentu.
Hal itu membuktikan bahwa
seseorang dapat mematikan nalar dan empati dirinya sendiri hanya demi
“melakukan yang diperintahkan.” Kepatuhan seperti itu menjadi ladang subur bagi
penyalahgunaan kekuasaan.
Kepatuhan tanpa berpikir tentu
berhubungan dengan tanggung jawab moral seseorang. Seseorang sering merasa
tidak bersalah, padahal ia melakukan sesuatu benar-benar salah dan cukup enteng
dijawab dengan kalimat “karena saya hanya menjalankan perintah.” Dalih seperti ini sering dipakai untuk bersembunyi. Janganlah kita lupa bahwa kepatuhan tidak
menghapuskan tanggung jawab pribadi, dan semua ada nilai dan dampak yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam dunia yang kompleks
ini, tantangan moral dan etika semakin rumit. Kepatuhan buta tidak lagi bisa
dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Tentu, diperlukan
keberanian untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah yang saya taati ini
benar?” Tanpa pertanyaan kritis seperti itu, seseorang hanya akan bergerak
seperti robot, patuh tapi tidak sadar, hidup tapi tidak merdeka.
Terjadi di Banyak Institusi, Termasuk
Lembaga Pendidikan.
Dalam dunia pendidikan,
guru seharusnya menjadi agen perubahan dan pembimbing moral yang aktif berpikir
kritis. Namun, realitas di banyak sekolah menunjukkan hal sebaliknya, guru
justru kerap menjadi pelaksana pasif kebijakan sekolah tanpa mempertanyakan
relevansi, efektivitas, atau dampaknya terhadap peserta didik.
Dalam hal kepatuhan, guru
mempunyai cobaan tersendiri. Sebagai seorang bawahan atau pelaksana, tentunya siap
menjalankan perintah dari kepala satuan pendidikannya maupun sistem yang lebih
tinggi. Namun, kepatuhan sebaiknya tetap dibarengi dengan nalar kritis, bukan
tentang menawar tugas yang diberikan, tetapi berpikir mendalam, sebagai bentuk
perhatian menemukan celah, apakah kebijakan ini akan baik bagi satuan
pendidikannya?, dan adakah sesuatu cara yang lebih hebat dari itu?. Nalar kritis
ini akan kembali kepada kualitas dan kemajuan lembaga, walaupun tidak mudah untuk
dilakukan, karena membutuhkan keberanian dan kecerdasan.
Pada lembaga dengan sistem
manajemen yang baik, guru akan diberikan ruang, dipersilakan mempertanyakan
kebijakan secara konstruktif. Guru pun bisa menjalankan perannya sebagai
pendidik sejati, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mampu memperjuangkan
kualitas pendidikan yang lebih baik.
Mendorong guru untuk berpikir
kritis terhadap kebijakan bukan berarti mendorong pembangkangan, melainkan
menghidupkan kembali profesionalisme. Sekolah bukanlah pabrik yang hanya
menjalankan instruksi, tetapi komunitas intelektual. Ketika guru hanya patuh
tanpa berpikir, maka pendidikan kehilangan jiwanya.
Agama Islam sangat
menghargai akal dan pikiran sebagai alat untuk memahami sesuatu yang benar dan
yang salah. Rasulullah SAW. pun mendorong umatnya untuk bertanya dan mencari
ilmu. Dalam Surah Al-Zumar ayat 9 disebutkan: “Katakanlah: ‘Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” Ini
menjadi dalil bahwa kepatuhan yang ideal dalam Islam adalah yang dilandasi oleh
pemahaman dan kesadaran,
Kembali kepada dunia pendidikan,
pendidikan tidak hanya mengajarkan murid dari yang tidak bisa menjadi bisa
tentang sesuatu hal, tetapi juga membangun kesadaran kritis, berpikir mendalam,
menumbuhkan keberanian moral dan tanggung jawab individu. Wallahu a’lam
bis-shawab.