Selasa, 26 Agustus 2025

Kepatuhan Tanpa Berpikir

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Kepatuhan adalah salah satu elemen penting dalam menjaga keteraturan sosial. Tanpa kepatuhan terhadap hukum, dan norma, masyarakat bisa terjerumus ke dalam kekacauan. Namun, terdapat sisi gelap dari kepatuhan yang jarang dibicarakan, yaitu kepatuhan tanpa berpikir.

Kepatuhan tanpa berpikir adalah bentuk kepatuhan di mana seseorang menaati perintah, atau aturan tanpa mempertanyakan validitas, etika, atau logikanya. Dalam konteks ini, kepatuhan bukan lagi cerminan tanggung jawab, melainkan penyerahan diri secara pasif terhadap kekuasaan, atau kepentingan tertentu.

Hal itu membuktikan bahwa seseorang dapat mematikan nalar dan empati dirinya sendiri hanya demi “melakukan yang diperintahkan.” Kepatuhan seperti itu menjadi ladang subur bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Kepatuhan tanpa berpikir tentu berhubungan dengan tanggung jawab moral seseorang. Seseorang sering merasa tidak bersalah, padahal ia melakukan sesuatu benar-benar salah dan cukup enteng dijawab dengan kalimat “karena saya hanya menjalankan perintah.” Dalih seperti ini sering dipakai untuk bersembunyi. Janganlah kita lupa bahwa kepatuhan tidak menghapuskan tanggung jawab pribadi, dan semua ada nilai dan dampak yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalam dunia yang kompleks ini, tantangan moral dan etika semakin rumit. Kepatuhan buta tidak lagi bisa dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Tentu, diperlukan keberanian untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah yang saya taati ini benar?” Tanpa pertanyaan kritis seperti itu, seseorang hanya akan bergerak seperti robot, patuh tapi tidak sadar, hidup tapi tidak merdeka.

 

Terjadi di Banyak Institusi, Termasuk Lembaga Pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, guru seharusnya menjadi agen perubahan dan pembimbing moral yang aktif berpikir kritis. Namun, realitas di banyak sekolah menunjukkan hal sebaliknya, guru justru kerap menjadi pelaksana pasif kebijakan sekolah tanpa mempertanyakan relevansi, efektivitas, atau dampaknya terhadap peserta didik.

Dalam hal kepatuhan, guru mempunyai cobaan tersendiri. Sebagai seorang bawahan atau pelaksana, tentunya siap menjalankan perintah dari kepala satuan pendidikannya maupun sistem yang lebih tinggi. Namun, kepatuhan sebaiknya tetap dibarengi dengan nalar kritis, bukan tentang menawar tugas yang diberikan, tetapi berpikir mendalam, sebagai bentuk perhatian menemukan celah, apakah kebijakan ini akan baik bagi satuan pendidikannya?, dan adakah sesuatu cara yang lebih hebat dari itu?. Nalar kritis ini akan kembali kepada kualitas dan kemajuan lembaga, walaupun tidak mudah untuk dilakukan, karena membutuhkan keberanian dan kecerdasan.

Pada lembaga dengan sistem manajemen yang baik, guru akan diberikan ruang, dipersilakan mempertanyakan kebijakan secara konstruktif. Guru pun bisa menjalankan perannya sebagai pendidik sejati, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mampu memperjuangkan kualitas pendidikan yang lebih baik.

Mendorong guru untuk berpikir kritis terhadap kebijakan bukan berarti mendorong pembangkangan, melainkan menghidupkan kembali profesionalisme. Sekolah bukanlah pabrik yang hanya menjalankan instruksi, tetapi komunitas intelektual. Ketika guru hanya patuh tanpa berpikir, maka pendidikan kehilangan jiwanya.

Agama Islam sangat menghargai akal dan pikiran sebagai alat untuk memahami sesuatu yang benar dan yang salah. Rasulullah SAW. pun mendorong umatnya untuk bertanya dan mencari ilmu. Dalam Surah Al-Zumar ayat 9 disebutkan: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” Ini menjadi dalil bahwa kepatuhan yang ideal dalam Islam adalah yang dilandasi oleh pemahaman dan kesadaran,

Kembali kepada dunia pendidikan, pendidikan tidak hanya mengajarkan murid dari yang tidak bisa menjadi bisa tentang sesuatu hal, tetapi juga membangun kesadaran kritis, berpikir mendalam, menumbuhkan keberanian moral dan tanggung jawab individu. Wallahu a’lam bis-shawab.

Jumat, 22 Agustus 2025

Ujaran Sang Pemimpin Sejati

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin.”

(HR. al-Bukhari).

 

Ujaran dari seorang pemimpin sejati bukan sekadar rangkaian kata yang diucapkan di depan publik, tetapi cerminan dari karakter, dan visi yang dipegang teguh. Kata-kata pemimpin sejati seperti halnya mutiara, memiliki bobot moral yang kuat karena tidak lahir dari kepentingan pribadi dan sesaat, melainkan dari kesadaran akan tanggung jawab besar yang diemban.

Ujaran seorang pemimpin sejati tentunya tidak dimaksudkan untuk mencari tepuk tangan, ataupun sekadar balasan ucapan terima kasih tetapi untuk membangkitkan kesadaran, dan membentuk arah.

Pemimpin sejati memahami bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya memiliki dampak sosial yang luas. Ia tidak berbicara tanpa berpikir atau hanya untuk menangguk popularitas. Sebaliknya, ia menimbang setiap kalimat dengan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan perpecahan, kesalahpahaman, atau bahkan konflik. Ia sadar bahwa kata-kata yang keluar dari lisannya bisa menjadi alat pemersatu atau sebaliknya, penghancur.

Ciri utama ujaran pemimpin sejati adalah kejujuran. Ia tidak menutup-nutupi fakta atau menyembunyikan kebenaran demi menjaga citra. Di situlah integritasnya diuji, ketika ia berani berkata benar dalam situasi yang sulit.

Lebih dari itu, ujaran dari pemimpin sejati bersifat membangun dan menginspirasi. Ia tidak menggunakan kata-kata untuk merendahkan, menakut-nakuti, atau mengintimidasi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dengan kebijaksanaan yang tinggi akan memilih diksi yang menguatkan semangat kolektif, membangkitkan rasa percaya diri, serta menanamkan harapan yang masuk akal dan bisa diperjuangkan bersama. Walau dalam masa SULIT sekalipun.

Ujaran yang dilontarkan pemimpin sejati juga mencerminkan rasa hormat terhadap keragaman. Ia tidak mengutamakan satu kelompok dan mengabaikan yang lain. Kata-katanya merangkul semua lapisan ataupun golongan. Pemimpin sejati mampu menggunakan redaksi bahasa yang memperkuat semangat persatuan dan kesetaraan di tengah perbedaan.

Di era digital saat ini, ujaran pemimpin menyebar lebih cepat dan lebih luas dari sebelumnya. Karena itu, tanggung jawab moral atas ucapan menjadi semakin besar. Pemimpin sejati tidak boleh terpancing untuk menyampaikan ujaran yang dangkal, provokatif, atau menyudutkan pihak tertentu hanya karena tekanan opini publik atau kepentingan politik jangka pendek. Ia harus mampu menahan diri dan tetap mengedepankan kebijaksanaan, bahkan di tengah riuh rendahnya informasi yang saling bersilang.

Pemimpin sejati juga tahu kapan saatnya berbicara dan kapan saatnya diam. Tidak semua situasi menuntut respon cepat berupa ujaran publik. Kadang, keheningan yang tenang dan penuh pertimbangan justru lebih bermakna daripada ucapan yang terburu-buru. Ketika ia akhirnya berbicara, kata-katanya akan memiliki dampak yang lebih kuat karena lahir dari kontemplasi, bukan reaksi spontan.

Ujaran dari pemimpin sejati adalah cerminan jiwanya. Menurut Andrias Harefa Dalam buku Delapan Langkah Menjadi Pemimpin Autentik Berintegritas, digambarkan bahwa pemimpin autentik memiliki “compass” nilai-nilai utama yang memandu tutur kata dan tindakan mereka secara konsisten.

Kepercayaan publik kepada seorang pemimpin akan terbangun dari melihat integritasnya. Konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah tanda integritas sejati. Pemimpin tidak hanya berbicara dengan rangkaian kalimat indah, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan nyata. Wallahu a’lam bis-shawab.

Selasa, 19 Agustus 2025

Diam Pada Waktunya Adalah yang Terbaik

Oleh Mujianto, M.Pd.


Dalam kehidupan, diam sering kali disalahartikan sebagai bentuk kelemahan, ketundukan, atau bahkan kekalahan. Diam, dalam banyak konteks, justru menunjukkan kekuatan batin, pengendalian diri, dan kedewasaan emosional yang tidak dimiliki oleh semua orang.

Orang yang memilih diam bukan karena takut atau menyerah, melainkan karena ia tahu bahwa tidak semua hal perlu ditanggapi. Terkadang, diam adalah pilihan sadar untuk tidak menambah luka dalam relasi, untuk tidak menanggapi kebodohan dengan kebodohan, dan untuk menjaga martabat diri.

Ada kekuatan besar dalam memilih diam di saat yang tepat. Diam di sini bukan diartikan tidak tahu apa-apa, tetapi diam yang penuh kesadaran, diam yang memang dipilih, karena merupakan langkah cerdas. Diam bukan berarti tidak peduli, melainkan cara elegan untuk tidak ikut terbakar dalam kekacauan. Ketika situasi tak memungkinkan kita untuk didengar secara utuh, maka diam adalah bentuk kebijaksanaan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita cukup kuat untuk tidak membuktikan apa pun kepada siapa pun. Dan pada akhirnya, waktu dan kebenaran akan berbicara lebih lantang daripada semua argumen.

Diam juga memiliki batas dan konteks. Ada kalanya diam justru bisa disalahartikan jika dilakukan terus-menerus tanpa keberanian untuk bersuara ketika ketidakadilan terjadi. Oleh karena itu, diam yang bermakna bukanlah pasif atau apatis, melainkan sikap yang terkontrol, dan penuh kesadaran. Diam yang bijaksana tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berbicara.

 

Orang Licik dengan Segala Keunikannya

Menghadapi orang yang licik bukanlah perkara mudah. Selain memiliki dua wajah, mereka juga pandai memanipulasi. Mereka tahu bagaimana memancing reaksi, memutarbalikkan fakta agar menguntungkan diri sendiri, dan  akhirnya membuat orang lain yang merasa bersalah.

Sikap orang licik sangat tidak mengenakkan, selain ucapannya yang tidak bisa dipegang, hari ini berkata A, besok B, juga sering menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka buat sendiri.

Bereaksi dengan marah atau terburu-buru justru membuat kita masuk ke dalam permainan mereka. Di sinilah sikap diam menjadi senjata yang paling kuat karena ia bukan hanya menghindarkan kita dari jebakan, tetapi juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa dikendalikan oleh kelicikan.

Orang yang licik biasanya haus perhatian dan ingin melihat orang lain terpancing oleh provokasi mereka. Dengan tetap diam, kita memotong sumber kekuatan mereka. Diam bukan berarti kita tidak tahu atau tidak berdaya, melainkan kita memilih untuk tidak bermain dalam arena yang mereka ciptakan. Ini adalah bentuk kecerdasan emosional dan ketegasan yang tersembunyi. Sikap diam memberi pesan yang tegas: “Aku tahu permainanmu, tapi aku tidak tertarik untuk ikut serta.”

Diam memungkinkan kita mengamati dengan lebih jernih. Kita dapat melihat pola, strategi, dan kelemahan orang yang licik tanpa harus terburu-buru menanggapi. Diam memberi ruang bagi kebenaran untuk terungkap dengan sendirinya, karena tipu daya tidak akan bertahan lama di hadapan waktu. Kekhasan orang licik adalah terus berusaha membangun citra palsu.

Dalam diam, kita tidak merendahkan diri ke level permainan yang curang. Kita tidak perlu membalas dengan cara yang sama, karena kita tahu nilai kita lebih tinggi daripada permainan itu. Diam bukan kelemahan, tapi kekuatan yang tak mudah diganggu.

Mereka yang diam dengan kesadaran dan kendali penuh, padahal ia mampu menjawab, dan menguraikan tanggapan sebagai bentuk perlawanan, namun tidak melakukannya, mereka itu adalah pemenang. Wallahu a’lam bis-shawab

.

 

Ijazah Sanad dan Syahadah Guru al-Qur’an:


  1. Ijazah sanad Qira’at surat al-Fatihah riwayat imam Hafs th.2025
  2. Ijazah sanad Qira’at al-Qur’an bin-nadzar riwayat imam Ashim (Hafs & Syu’bah) proses mengkhatamkan
  3. Syahadah Guru Tahfiz metode Tilawati th. 2023
  4. Syahadah Guru al-Qur’an metode Tilawati th. 2006
  5. Syahadah Guru al-Qur’an metode Ummi th. 2012
  6. Syahadah Guru al-Qur’an metode Yanbu’a th. 2010

Rabu, 06 Agustus 2025

Ikhtiar Seorang Guru: Mengantarkan Anak-Anaknya ke Pintu Kesuksesan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.


Sering saya temui seorang guru dengan kesederhanaannya. Kondisi keuangannya yang tidak berlebih, ternyata mampu mengantarkan anaknya menempuh pendidikan tinggi, bahkan perguruan tinggi favorit di luar negeri.

Salah satunya, adalah tetangga saya, seorang guru agama di MI. Katakanlah nama beliau pak Solichin (nama disamarkan), dua anak beliau mendapatkan beasiswa kuliah di al-Azhar Kairo, Mesir. Menurut saya, itu hal yang luar biasa. Luar biasanya, beliau sudah disibukkan dengan tugas mengajarnya, mengurusi murid-murid di sekolah, lalu kapan ada waktu untuk anaknya sendiri di rumah, saat di pendidikan dasar dulu? Walaupun, di pendidikan menengah, anak beliau masuk pesantren. Amalan apa yang bisa membuat si anak dimudahkan oleh Allah dalam menempuh pendidikannya?

Ada rasa ingin tahu pada diri ini. Apa ikhtiar beliau? Tentu ada rahasia yang luar biasa, yang menjadi pembeda dengan orang tua lainnya, khususnya orang tua yang profesinya menjadi seorang guru, yang ingin menjadikan anaknya sukses dunia dan akhiratnya. Padahal, tidak ada cukup waktu untuk menemani anaknya.

Seorang guru adalah pelita bagi murid-muridnya, namun ia juga seorang ayah atau ibu bagi anak-anaknya sendiri. Dalam keseharian, guru menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengajarkan ilmu kepada anak orang lain.

Di balik peran profesional itu, tersimpan harapan dan doa yang dalam, agar ilmu yang ditanamkan kepada murid juga berbuah kebaikan bagi anak kandungnya, anaknya sendiri. Inilah bentuk ikhtiar yang luhur, menjadikan profesi sebagai ladang doa, dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh, sebagai jalan keberkahan bagi keluarga.

Dalam pandangan spiritual, setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk kebaikan yang tak selalu disangka. Ketika seorang guru bersungguh-sungguh membimbing murid hingga mereka paham, tumbuh, dan berhasil, sesungguhnya ia sedang menanam benih yang bisa tumbuh di tempat lain, termasuk dalam kehidupan anaknya sendiri.

Islam mengajarkan bahwa siapa yang memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya. Maka ketika seorang guru memudahkan jalan ilmu bagi murid, itu bisa menjadi sebab Allah memudahkan jalan ilmu bagi anaknya.

Tak sedikit guru yang saat mengajar muridnya, diam-diam menyelipkan doa dalam hatinya, “Ya Allah, seperti aku ingin anak ini paham, semoga Engkau juga memahamkan anakku di tempat lain.” Doa seperti ini, meski tak terdengar oleh murid, adalah bentuk zikir yang tinggi nilainya.

Seorang guru bukan hanya pengajar di kelas, tetapi juga seorang pendidik yang menanam nilai-nilai kehidupan. Dalam peran gandanya sebagai guru dan orang tua, ada sebuah ikhtiar mulia yang kerap luput disadari.

Bahwa dengan mencerdaskan murid, sesungguhnya seorang guru sedang membuka jalan kecerdasan bagi anaknya sendiri. Ini adalah bentuk amal yang berbalik manfaatnya, saat seorang guru bersungguh-sungguh mencerdaskan anak orang lain, Allah akan mencerdaskan anaknya lewat jalan-jalan yang tak selalu kasatmata.

Namun sebaliknya, jika seorang guru mengajar dengan setengah hati, abai terhadap murid, dan tidak sungguh-sungguh, maka ikhtiar kebaikan itu pun terhenti. Ia tidak hanya menyia-nyiakan amanah profesinya, tetapi juga menutup jalan keberkahan yang bisa kembali kepada keluarganya. Guru yang bersikap demikian, bisa berimbas ke anaknya sendiri. Seringkali, anaknya mengalami tantangan yang tak kecil dalam belajar, tidak karena mereka bodoh, tetapi karena keberkahan itu tak mengalir sebagaimana mestinya. Ini bukan hukuman, tetapi teguran halus bahwa kebaikan harus dimulai dari diri sendiri.

Guru yang jujur, sabar, dan ikhlas dalam mengajar, sedang membuka jalan luas bagi anak-anaknya untuk tumbuh dalam cahaya ilmu dan nilai. Dan siapa yang menanam cahaya, takkan pernah hidup dalam gelap karena kebaikan selalu menemukan jalannya untuk kembali kepada pemiliknya. Wallahu a’lam bis-shawab.

Selasa, 22 Juli 2025

Menciptakan Kebahagiaan Pada Diri Sendiri


Oleh Mujianto, M.Pd.


"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang."

(Surah Ar-Ra’d ayat 28)

 

Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, namun sering kali kita mencarinya di tempat yang salah. Banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa dari pencapaian besar, harta yang melimpah, atau pengakuan dari orang lain.

Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan oleh dunia luar, melainkan sesuatu yang dapat diciptakan sendiri dari dalam diri setiap individu. Menciptakan kebahagiaan sendiri bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi menjadikan diri sebagai sumber utama dari rasa tenang dan damai.

Menciptakan kebahagiaan bukanlah tentang menunggu momen-momen tertentu terjadi, melainkan tentang membangun kebiasaan, cara berpikir, dan gaya hidup yang mendukung kebahagiaan itu hadir. Rasulullah SAW. bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya." (HR. Muslim). Orang-orang yang bersyukur akan memiliki pikiran yang positif, sehingga meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diatur oleh Allah SWT. dan ada hikmah di dalamnya. Sikap ini melahirkan ketenangan hati dan menyebabkan kebahagiaan.

Langkah awal untuk menciptakan kebahagiaan dalam diri adalah dengan mengenali dan menerima diri apa adanya. Penerimaan diri berarti memahami kelebihan dan kelemahan pribadi. Saat seseorang mampu mengenali dan berdamai dengan dirinya sendiri, mereka akan memiliki fondasi emosional yang kuat untuk mengembangkan rasa bahagia.

Banyak orang merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, padahal setiap individu memiliki jalur dan pola hidup yang unik.

Penerimaan diri adalah cara utama dalam menemukan kebahagiaan dari dalam. Di dalam penerimaan diri terdapat bukti rasa syukur yang besar kepada Allah SWT. Sering kali kita merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, menghakimi kelemahan sendiri, dan mengabaikan potensi yang kita miliki. Dengan belajar menerima diri apa adanya kita dapat menciptakan ruang untuk bertumbuh tanpa adanya tekanan.

Aspek penting lain dalam menciptakan kebahagiaan adalah menjaga kesehatan mental dan fisik. Olahraga teratur, tidur yang cukup, serta mengonsumsi makanan yang sehat memiliki dampak besar terhadap suasana hati dan kestabilan emosi.

Merawat kesehatan mental bisa melalui rasa syukur yang selalu ditingkatkan, dan mengelola emosi negatif yang bisa mengganggu kebahagiaan dan pelan-pelan mengubahnya menjadi sikap husnuzan.

Selain itu, hubungan yang sehat dan dukungan sosial juga berperan besar dalam memperkuat kebahagiaan diri. Meskipun kebahagiaan berasal dari dalam diri, manusia tetap makhluk sosial yang membutuhkan koneksi. Menjaga hubungan yang saling menghargai, membangun komunikasi yang jujur, dan memberikan waktu untuk orang-orang terdekat adalah bagian penting dari kebahagiaan diri.

Menciptakan kebahagiaan pada diri sendiri adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Juga, bukan berarti menjalani hidup tanpa masalah, tetapi bagaimana kita merespons setiap kejadian yang kita alami dengan sikap yang bijak. 

Kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi, kita diberi kuasa untuk berikhtiar membentuk hidup yang lebih bermakna. Dalam dunia yang terus berubah ini, memiliki sumber kebahagiaan yang stabil dari dalam diri adalah sebuah keistimewaan. Wallahu a'lam bis-showab.


Senin, 21 Juli 2025

Sesuatu yang Tidak Mengenakkan Itu Juga Rezeki

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Dalam hidup, kita cenderung memaknai rezeki secara sempit. Rezeki dimaknai hanya sebatas materi, seperti uang, makanan, atau harta benda lainnya. Padahal, dalam perspektif yang lebih dalam, rezeki bisa berupa apa saja yang datang dari Sang Pemilik Alam Semesta ini, termasuk hal-hal yang tampaknya tidak menyenangkan.

Banyak orang luput memahami bahwa cobaan, kegagalan, bahkan rasa sakit, bisa menjadi bentuk rezeki bagi manusia. Di sinilah kita diingatkan untuk memperluas makna rezeki dan menyelami nilai spiritual yang terkandung di balik peristiwa-peristiwa yang tidak kita sukai.

Contoh sederhana, batuk sering dan terlalu cepat dianggap sebagai gangguan atau tanda bahwa tubuh sedang tidak sehat. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang medis, batuk justru bisa menjadi bentuk rezeki. Secara medis, batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang sangat penting. Ia bekerja untuk membersihkan saluran pernapasan dari lendir, kuman, debu, dan partikel yang dapat membahayakan sistem pernapasan. Artinya, batuk bukan hanya gejala penyakit, tetapi juga proses alami tubuh untuk menjaga kesehatan dan menyingkirkan zat yang tak dibutuhkan.

Rasa sakit tidak hanya memaksa kita untuk merintih, tetapi juga menunduk, merenung lalu tersadar berusaha lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

 

Ujian dengan Penderitaannya Adalah Rezeki yang Tersembunyi

Rezeki dalam bentuk ujian juga menjadi penanda bahwa kita sedang diperhatikan oleh Sang Khaliq. Semakin tinggi derajat seorang hamba, semakin berat pula ujian yang diberikan kepadanya. Artinya, ujian bukan tanda keburukan.

Tidak semua orang diberi kesempatan untuk tumbuh melalui penderitaan, karena hanya mereka yang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar yang mampu melaluinya. Jadi, rasa tidak mengenakkan itu bisa menjadi bentuk kepercayaan Tuhan kepada kita.

Tidak semua kenikmatan adalah rezeki yang membawa kebaikan. Rezeki yang hakiki adalah segala sesuatu yang mendatangkan keberkahan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Jika seseorang hanya mendapatkan yang enak-enak tetapi itu membuatnya lalai dari ibadah, menjadi sombong, atau bermaksiat, maka sejatinya itu bukanlah rezeki, melainkan ujian yang tersembunyi, bahkan bisa menjadi istidraj, yakni kenikmatan dunia yang Allah berikan sebelum azab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 44, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa kenikmatan dunia bisa menjadi cara Allah menguji atau bahkan menyesatkan mereka yang lupa diri. Oleh karena itu, bisa jadi, kenikmatan itu datang bukan sebagai bentuk cinta Allah, melainkan ujian untuk melihat ke mana hati kita akan condong.

Memahami bahwa “sesuatu yang tidak mengenakkan itu juga rezeki” adalah bentuk kedewasaan spiritual. Dunia tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi selalu memberi apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Maka, jika saat ini kita sedang berada dalam ketidaknyamanan, barangkali itulah rezeki yang sedang menyapa bukan untuk menyenangkan kita, tapi untuk menguatkan dan memuliakan kita. Wallahu a’lam bis-showab.