Rabu, 06 Agustus 2025

Ikhtiar Seorang Guru: Mengantarkan Anak-Anaknya ke Pintu Kesuksesan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.


Sering saya temui seorang guru dengan kesederhanaannya. Kondisi keuangannya yang tidak berlebih, ternyata mampu mengantarkan anaknya menempuh pendidikan tinggi, bahkan perguruan tinggi favorit di luar negeri.

Salah satunya, adalah tetangga saya, seorang guru agama di MI. Katakanlah nama beliau pak Solichin (nama disamarkan), dua anak beliau mendapatkan beasiswa kuliah di al-Azhar Kairo, Mesir. Menurut saya, itu hal yang luar biasa. Luar biasanya, beliau sudah disibukkan dengan tugas mengajarnya, mengurusi murid-murid di sekolah, lalu kapan ada waktu untuk anaknya sendiri di rumah, saat di pendidikan dasar dulu? Walaupun, di pendidikan menengah, anak beliau masuk pesantren. Amalan apa yang bisa membuat si anak dimudahkan oleh Allah dalam menempuh pendidikannya?

Ada rasa ingin tahu pada diri ini. Apa ikhtiar beliau? Tentu ada rahasia yang luar biasa, yang menjadi pembeda dengan orang tua lainnya, khususnya orang tua yang profesinya menjadi seorang guru, yang ingin menjadikan anaknya sukses dunia dan akhiratnya. Padahal, tidak ada cukup waktu untuk menemani anaknya.

Seorang guru adalah pelita bagi murid-muridnya, namun ia juga seorang ayah atau ibu bagi anak-anaknya sendiri. Dalam keseharian, guru menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengajarkan ilmu kepada anak orang lain.

Di balik peran profesional itu, tersimpan harapan dan doa yang dalam, agar ilmu yang ditanamkan kepada murid juga berbuah kebaikan bagi anak kandungnya, anaknya sendiri. Inilah bentuk ikhtiar yang luhur, menjadikan profesi sebagai ladang doa, dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh, sebagai jalan keberkahan bagi keluarga.

Dalam pandangan spiritual, setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk kebaikan yang tak selalu disangka. Ketika seorang guru bersungguh-sungguh membimbing murid hingga mereka paham, tumbuh, dan berhasil, sesungguhnya ia sedang menanam benih yang bisa tumbuh di tempat lain, termasuk dalam kehidupan anaknya sendiri.

Islam mengajarkan bahwa siapa yang memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya. Maka ketika seorang guru memudahkan jalan ilmu bagi murid, itu bisa menjadi sebab Allah memudahkan jalan ilmu bagi anaknya.

Tak sedikit guru yang saat mengajar muridnya, diam-diam menyelipkan doa dalam hatinya, “Ya Allah, seperti aku ingin anak ini paham, semoga Engkau juga memahamkan anakku di tempat lain.” Doa seperti ini, meski tak terdengar oleh murid, adalah bentuk zikir yang tinggi nilainya.

Seorang guru bukan hanya pengajar di kelas, tetapi juga seorang pendidik yang menanam nilai-nilai kehidupan. Dalam peran gandanya sebagai guru dan orang tua, ada sebuah ikhtiar mulia yang kerap luput disadari.

Bahwa dengan mencerdaskan murid, sesungguhnya seorang guru sedang membuka jalan kecerdasan bagi anaknya sendiri. Ini adalah bentuk amal yang berbalik manfaatnya, saat seorang guru bersungguh-sungguh mencerdaskan anak orang lain, Allah akan mencerdaskan anaknya lewat jalan-jalan yang tak selalu kasatmata.

Namun sebaliknya, jika seorang guru mengajar dengan setengah hati, abai terhadap murid, dan tidak sungguh-sungguh, maka ikhtiar kebaikan itu pun terhenti. Ia tidak hanya menyia-nyiakan amanah profesinya, tetapi juga menutup jalan keberkahan yang bisa kembali kepada keluarganya. Guru yang bersikap demikian, bisa berimbas ke anaknya sendiri. Seringkali, anaknya mengalami tantangan yang tak kecil dalam belajar, tidak karena mereka bodoh, tetapi karena keberkahan itu tak mengalir sebagaimana mestinya. Ini bukan hukuman, tetapi teguran halus bahwa kebaikan harus dimulai dari diri sendiri.

Guru yang jujur, sabar, dan ikhlas dalam mengajar, sedang membuka jalan luas bagi anak-anaknya untuk tumbuh dalam cahaya ilmu dan nilai. Dan siapa yang menanam cahaya, takkan pernah hidup dalam gelap karena kebaikan selalu menemukan jalannya untuk kembali kepada pemiliknya. Wallahu a’lam bis-shawab.

Selasa, 22 Juli 2025

Menciptakan Kebahagiaan Pada Diri Sendiri


Oleh Mujianto, M.Pd.


"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang."

(Surah Ar-Ra’d ayat 28)

 

Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, namun sering kali kita mencarinya di tempat yang salah. Banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa dari pencapaian besar, harta yang melimpah, atau pengakuan dari orang lain.

Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan oleh dunia luar, melainkan sesuatu yang dapat diciptakan sendiri dari dalam diri setiap individu. Menciptakan kebahagiaan sendiri bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi menjadikan diri sebagai sumber utama dari rasa tenang dan damai.

Menciptakan kebahagiaan bukanlah tentang menunggu momen-momen tertentu terjadi, melainkan tentang membangun kebiasaan, cara berpikir, dan gaya hidup yang mendukung kebahagiaan itu hadir. Rasulullah SAW. bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya." (HR. Muslim). Orang-orang yang bersyukur akan memiliki pikiran yang positif, sehingga meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diatur oleh Allah SWT. dan ada hikmah di dalamnya. Sikap ini melahirkan ketenangan hati dan menyebabkan kebahagiaan.

Langkah awal untuk menciptakan kebahagiaan dalam diri adalah dengan mengenali dan menerima diri apa adanya. Penerimaan diri berarti memahami kelebihan dan kelemahan pribadi. Saat seseorang mampu mengenali dan berdamai dengan dirinya sendiri, mereka akan memiliki fondasi emosional yang kuat untuk mengembangkan rasa bahagia.

Banyak orang merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, padahal setiap individu memiliki jalur dan pola hidup yang unik.

Penerimaan diri adalah cara utama dalam menemukan kebahagiaan dari dalam. Di dalam penerimaan diri terdapat bukti rasa syukur yang besar kepada Allah SWT. Sering kali kita merasa tidak bahagia karena terus membandingkan diri dengan orang lain, menghakimi kelemahan sendiri, dan mengabaikan potensi yang kita miliki. Dengan belajar menerima diri apa adanya kita dapat menciptakan ruang untuk bertumbuh tanpa adanya tekanan.

Aspek penting lain dalam menciptakan kebahagiaan adalah menjaga kesehatan mental dan fisik. Olahraga teratur, tidur yang cukup, serta mengonsumsi makanan yang sehat memiliki dampak besar terhadap suasana hati dan kestabilan emosi.

Merawat kesehatan mental bisa melalui rasa syukur yang selalu ditingkatkan, dan mengelola emosi negatif yang bisa mengganggu kebahagiaan dan pelan-pelan mengubahnya menjadi sikap husnuzan.

Selain itu, hubungan yang sehat dan dukungan sosial juga berperan besar dalam memperkuat kebahagiaan diri. Meskipun kebahagiaan berasal dari dalam diri, manusia tetap makhluk sosial yang membutuhkan koneksi. Menjaga hubungan yang saling menghargai, membangun komunikasi yang jujur, dan memberikan waktu untuk orang-orang terdekat adalah bagian penting dari kebahagiaan diri.

Menciptakan kebahagiaan pada diri sendiri adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Juga, bukan berarti menjalani hidup tanpa masalah, tetapi bagaimana kita merespons setiap kejadian yang kita alami dengan sikap yang bijak. 

Kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi, kita diberi kuasa untuk berikhtiar membentuk hidup yang lebih bermakna. Dalam dunia yang terus berubah ini, memiliki sumber kebahagiaan yang stabil dari dalam diri adalah sebuah keistimewaan. Wallahu a'lam bis-showab.


Senin, 21 Juli 2025

Sesuatu yang Tidak Mengenakkan Itu Juga Rezeki

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Dalam hidup, kita cenderung memaknai rezeki secara sempit. Rezeki dimaknai hanya sebatas materi, seperti uang, makanan, atau harta benda lainnya. Padahal, dalam perspektif yang lebih dalam, rezeki bisa berupa apa saja yang datang dari Sang Pemilik Alam Semesta ini, termasuk hal-hal yang tampaknya tidak menyenangkan.

Banyak orang luput memahami bahwa cobaan, kegagalan, bahkan rasa sakit, bisa menjadi bentuk rezeki bagi manusia. Di sinilah kita diingatkan untuk memperluas makna rezeki dan menyelami nilai spiritual yang terkandung di balik peristiwa-peristiwa yang tidak kita sukai.

Contoh sederhana, batuk sering dan terlalu cepat dianggap sebagai gangguan atau tanda bahwa tubuh sedang tidak sehat. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang medis, batuk justru bisa menjadi bentuk rezeki. Secara medis, batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang sangat penting. Ia bekerja untuk membersihkan saluran pernapasan dari lendir, kuman, debu, dan partikel yang dapat membahayakan sistem pernapasan. Artinya, batuk bukan hanya gejala penyakit, tetapi juga proses alami tubuh untuk menjaga kesehatan dan menyingkirkan zat yang tak dibutuhkan.

Rasa sakit tidak hanya memaksa kita untuk merintih, tetapi juga menunduk, merenung lalu tersadar berusaha lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

 

Ujian dengan Penderitaannya Adalah Rezeki yang Tersembunyi

Rezeki dalam bentuk ujian juga menjadi penanda bahwa kita sedang diperhatikan oleh Sang Khaliq. Semakin tinggi derajat seorang hamba, semakin berat pula ujian yang diberikan kepadanya. Artinya, ujian bukan tanda keburukan.

Tidak semua orang diberi kesempatan untuk tumbuh melalui penderitaan, karena hanya mereka yang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar yang mampu melaluinya. Jadi, rasa tidak mengenakkan itu bisa menjadi bentuk kepercayaan Tuhan kepada kita.

Tidak semua kenikmatan adalah rezeki yang membawa kebaikan. Rezeki yang hakiki adalah segala sesuatu yang mendatangkan keberkahan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Jika seseorang hanya mendapatkan yang enak-enak tetapi itu membuatnya lalai dari ibadah, menjadi sombong, atau bermaksiat, maka sejatinya itu bukanlah rezeki, melainkan ujian yang tersembunyi, bahkan bisa menjadi istidraj, yakni kenikmatan dunia yang Allah berikan sebelum azab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 44, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa kenikmatan dunia bisa menjadi cara Allah menguji atau bahkan menyesatkan mereka yang lupa diri. Oleh karena itu, bisa jadi, kenikmatan itu datang bukan sebagai bentuk cinta Allah, melainkan ujian untuk melihat ke mana hati kita akan condong.

Memahami bahwa “sesuatu yang tidak mengenakkan itu juga rezeki” adalah bentuk kedewasaan spiritual. Dunia tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi selalu memberi apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Maka, jika saat ini kita sedang berada dalam ketidaknyamanan, barangkali itulah rezeki yang sedang menyapa bukan untuk menyenangkan kita, tapi untuk menguatkan dan memuliakan kita. Wallahu a’lam bis-showab.

Rabu, 16 Juli 2025

Mengakui Kesalahan

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Jadikan taubat bukan hanya untuk dosa-dosa yang telah kamu lakukan, tapi juga untuk kewajiban yang belum kamu tunaikan.

(Ibnu Taimiyyah)

 

Kesalahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Sejak awal kehidupan, manusia tumbuh dan belajar melalui proses mencoba, jatuh, gagal, lalu memperbaiki. Dalam dinamika itu, kesalahan muncul sebagai konsekuensi dari keterbatasan pengetahuan, emosi, dan pengalaman diri.

Tidak ada manusia yang luput dari salah, karena kesempurnaan bukanlah milik makhluk, melainkan milik Sang Pencipta. Menyadari kenyataan bahwa setiap orang pernah atau bisa saja melakukan kesalahan dapat menjadi dasar dari sikap empati, toleransi, dan keadilan dalam memandang serta bersosialisasi dengan sesama.

Setiap individu pasti pernah membuat kesalahan, baik kecil maupun besar. Namun yang membedakan seseorang yang memahami dan mau berkembang adalah kemampuannya untuk menghadapi dan mengakui kesalahan yang dilakukannya.

Menghadapi kesalahan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang lebih memilih menyalahkan keadaan, orang lain, atau bahkan menyangkal fakta demi melindungi harga diri. Namun, sikap seperti itu justru memperpanjang konflik batin dan menghambat pertumbuhan pribadi.

Mengakui kesalahan adalah bentuk tanggung jawab dan kematangan emosional. Saat seseorang mengakui kesalahannya, ia menunjukkan bahwa ia bersedia belajar, berubah, dan memperbaiki. Sikap ini mempererat hubungan dengan orang lain karena menunjukkan kejujuran dan kerendahan hati.

 

Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia dan Ampunan

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Tirmidzi). Hadis ini tidak hanya menunjukkan realitas bahwa kesalahan adalah keniscayaan, tetapi juga menegaskan bahwa kemuliaan manusia justru terletak pada kesediaannya untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan tersebut.

DI dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 53, Allah SWT berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Ayat ini menjadi penguat bahwa setiap kesalahan, sekecil atau sebesar apapun, selama disertai dengan taubat yang tulus, Allah akan mengampuni. Wallahu a’lam bis-showab.


Selasa, 15 Juli 2025

Berubah dan Berbuatlah, Tapi Jangan untuk Menyenangkan Orang Lain!

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Tahu akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."

QS. At-Taubah: 105

  

Perubahan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Setiap orang, cepat atau lambat, akan dihadapkan pada titik di mana mereka harus tumbuh, menyesuaikan diri, atau mengevaluasi kembali jalan hidupnya. Namun, yang sering kali menjadi persoalan adalah motivasi di balik perubahan itu.

Tidak sedikit orang yang berubah bukan karena mereka ingin atau butuh, tapi karena tekanan sosial, keinginan untuk diterima, atau rasa takut ditolak. Inilah yang membuat perubahan menjadi beban, bukan pertumbuhan.

Dalam kehidupan sosial, manusia memiliki kecenderungan alami untuk diterima dan disukai oleh lingkungannya. Ini adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia akan pengakuan. Namun, masalah mulai muncul ketika seseorang mulai mengorbankan jati dirinya demi memenuhi ekspektasi orang lain. Mengubah sikap, atau bahkan prinsip hidup hanya untuk menyenangkan orang lain.

Menyenangkan semua orang adalah misi mustahil, dan mencoba melakukannya hanya akan membawa kelelahan emosional. Penting untuk memahami bahwa kita tidak bisa mengendalikan cara orang lain memandang kita. Seberapa keras pun usaha kita untuk tampil seperti yang mereka inginkan, tetap akan ada kritik, tuntutan baru, dan ekspektasi yang tak pernah habis.

Berubahlah, tapi karena kita ingin tumbuh. Berubahlah, karena kita tahu ada ruang untuk menjadi lebih baik. Tapi jangan pernah berubah hanya untuk membuat orang lain senang, sementara kita sendiri merasa terasing dari diri sendiri. Dunia akan selalu punya pendapat, dan responnya masing-masing  tapi hidup yang kita jalani sepenuhnya adalah milik kita sendiri. Maka, jadilah versi terbaik dari diri kita sendiri.

 

Berbuat Karena untuk Mencapai Tujuan

Dalam perjalanan hidup, kita sering kali dihadapkan pada pilihan. Bertindak karena keinginan pribadi untuk berkembang, atau bertindak karena ingin terlihat baik di mata orang lain. Banyak orang terjebak dalam pola pikir bahwa validasi eksternal adalah tolok ukur keberhasilan.

Tindakan yang didasarkan pada keinginan menyenangkan orang lain biasanya hanya memberi kepuasan sesaat, bukan kepuasan yang bermakna dan bertahan lama. Melangkah mengejar prestasi yang seharusnya bagian dari tujuan hidup, bukan karena ingin mendapat tepuk tangan, pengakuan, atau diterima dalam lingkaran sosial tertentu.

Tindakan yang lahir dari tujuan yang benar, jauh lebih kuat dan berakar dalam. Tujuan yang benar memberi arah yang jelas, membentuk karakter, dan melahirkan konsistensi.

Berbuat untuk mencapai tujuan adalah bentuk penghargaan terhadap waktu dan potensi diri. Itu adalah komitmen pada pertumbuhan sejati. Sedangkan berbuat demi menyenangkan orang lain sering kali membuat kita lelah secara emosional.

Maka penting untuk selalu bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku melakukan ini karena itu bagian dari panggilan jiwaku, apakah ini prestasi yang harus aku usahakan? Atau hanya karena aku ingin terlihat baik dan berhasil di mata orang lain? Wallahu a’lam bis-shawab.

Minggu, 13 Juli 2025

3 Pilar Utama Membangun Lembaga Sekolah dari Dalam


 Oleh Mujianto, M.Pd.

Membangun lembaga sekolah tidak cukup hanya dengan infrastruktur fisik dan kurikulum formal yang lengkap. Justru, kekuatan utama dari sebuah sekolah terletak pada pembangunan internal yang mencakup budaya, nilai, visi, peraturan, komitmen serta relasi antara individu di dalamnya.

Transformasi sejati hanya mungkin terjadi ketika pembenahan dimulai dari dalam: dari pemimpin yang visioner, guru yang berintegritas, siswa yang terlibat aktif, dan sistem manajemen yang transparan, bijak serta reflektif. Dalam konteks ini, membangun lembaga sekolah dari dalam berarti ada hal yang menurut penulis wajib dipenuhi sebagai fondasi utama dari struktur-struktur atau nilai-nilai yang menopang seluruh proses pendidikan lembaga sekolah.

Pilar pertama adalah membentuk visi-misi sekolah yang kuat-kontekstual dan berupaya menjadikannya paradigma. Banyak sekolah memiliki visi dan misi, namun tidak semuanya hidup dan dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Banyak sekolah yang visi dan misi hanya sebagai pajangan di ruang guru, sudut-sudut ruangan, dan media sosisal sekolah. 

Visi yang dirumuskan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan, guru, kepala sekolah, siswa, dan orang tua akan memberi arah yang jelas dan menyatukan tujuan semua pihak. Visi ini harus mampu menjawab tantangan zaman serta memperhatikan karakteristik lokal tempat sekolah berada, agar tidak sekadar menjadi slogan kosong.

Agar visi dan misi tidak menjadi slogan kosong, seluruh elemen sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua perlu memahami, meyakini, dan menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dimulai dengan menjadikan visi sebagai rujukan dalam setiap pengambilan keputusan, menyelaraskan program kerja sekolah dengan misi yang ditetapkan. 

Visi yang hidup akan menciptakan kesadaran kolektif, memperkuat identitas sekolah, dan mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang bermakna. Dengan demikian, sekolah bukan hanya institusi pembelajaran, melainkan tempat di mana cita-cita bersama diwujudkan dalam tindakan nyata setiap hari.

 

Pilar kedua adalah mengokohkan lembaga sekolah melalui sistem yang konsisten dan komitmen stakeholder. Dalam membangun lembaga sekolah yang kuat dan berdaya saing, pondasi utama yang sering kali terabaikan adalah tata aturan yang jelas dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). 

Peraturan bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kerangka nilai dan perilaku yang mengarahkan dinamika kehidupan sekolah. Sementara itu, komitmen stakeholder, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat sekitar menjadi energi sosial yang mendorong berjalannya sistem pendidikan secara konsisten.

Membahas tentang komitmen, komitmen ini bukan sekadar hadir dalam rapat, tetapi dalam kompetensi semua pihak untuk bertanggung jawab atas peran masing-masing demi kemajuan bersama. Komitmen ini perlu didukung oleh sistem yang konsisten, transparan, dan adil dalam pelaksanaan aturan, penilaian kinerja, dan pengembangan profesional. Sistem yang sehat dan partisipatif akan menjaga komitmen tetap hidup dan berkembang.

Komitmen akan tumbuh subur jika semua pihak merasa memiliki visi yang sama dan melihat bahwa kontribusi mereka berdampak langsung terhadap kemajuan sekolah. Namun, komitmen tersebut hanya dapat bertahan dan berkembang jika ditopang oleh sistem yang konsisten dan adil. Sistem mencakup aturan yang jelas, mekanisme evaluasi yang transparan, serta kebijakan yang diterapkan secara merata tanpa tebang pilih.

Konsistensi sistem menjamin bahwa setiap bentuk komitmen tidak sia-sia, karena diakui, dihargai, dan diperkuat oleh struktur yang mendukung. Ketika ada ketimpangan antara semangat individu dan kelemahan sistem, maka kelelahan, frustrasi, dan apatisme mudah muncul.

Pilar ketiga adalah refleksi dan evaluasi berkelanjutan. Langkah ketiga ini menjadi kunci agar pembangunan internal sekolah tidak berhenti sebagai proyek sesaat. Sekolah harus memiliki sistem refleksi berkala yang melibatkan semua pihak, dari kepala sekolah hingga petugas kebersihan, sebagai bagian dari budaya perbaikan berkelanjutan. 

Dengan membangun diri dari dalam, sekolah tidak hanya akan menjadi institusi pendidikan, tetapi juga komunitas pembelajaran yang tumbuh bersama demi mencetak generasi masa depan yang tangguh dan bermakna. Waalahu ‘alam bis-sawab.

Selasa, 08 Juli 2025

Menilai Pendapat Secara Objektif: Fokus pada Isi, Bukan Pribadi

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Kebenaran tetap benar walau tidak ada yang menyebutnya, dan kebatilan tetap kebatilan meskipun disepakati seluruh manusia.”

(Ibn Ḥazm dalam karya al- Hikam fi Usul al-Ahkam)

 

“Kebenaran itu tetap benar, walaupun disampaikan oleh musuhmu. Dan kesalahan tetap salah, walau disampaikan oleh orang terdekatmu.”

(Abdullah ibn Mas’ud ra. dalam Hilyat al-Awliya)

 

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh perbedaan, kemampuan untuk menilai pendapat secara objektif menjadi kunci dalam membangun dialog yang sehat. Objektivitas akan mengarahkan kita untuk mampu memisahkan antara isi argumen dan siapa yang menyampaikannya. 

Banyak orang terjebak dalam cara berpikir ad hominem, yaitu menilai benar atau salahnya sebuah pendapat hanya berdasarkan identitas pembicara. Apakah ia disukai, dihormati, dibenci, atau dianggap rendah. Padahal, prinsip keadilan intelektual menuntut kita agar mengukur kebenaran berdasarkan, logika, dan manfaatnya, bukan emosi pribadi terhadap penyampainya.

Menilai pendapat secara objektif bukan hanya menunjukkan kecerdasan, tetapi juga kedewasaan. Kita harus belajar membedakan antara substansi dan sumber, antara isi pikiran dan identitas pribadi.

Jika sebuah argumen disampaikan dengan dalil kuat dan logika yang benar, maka ia layak diterima, meskipun berasal dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Sikap ini tidak hanya membuat diskusi lebih produktif, tetapi juga menjaga kita dari fanatisme dan kezaliman intelektual. Dengan memprioritaskan kebenaran atas perasaan personal, kita lebih dekat kepada hikmah, keadilan, dan adab berpikir yang Islami.

 

Prinsip Obyektivitas dalam Perspektif Islam

Dalam tafsir ayat QS. An-Nisa: 135, para ulama seperti Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa keadilan dalam menilai wajib ditegakkan bahkan terhadap diri sendiri, keluarga, atau pihak yang tidak disukai. Artinya, kita dituntut menimbang pendapat berdasar hujah, bukan sentimen pribadi.

Imam Syafi’i, yang dikenal sangat teguh pada pendapatnya, pernah mengakui bahwa ia tidak merasa benar mutlak. Kata beliau, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah, pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar” (al-Ghazali, al-Mustasfa).

Di dalam ajaran Islam ada konsep tabayyun, bahwa dalam menyerap setiap informasi atau pendapat harus diverifikasi secara konteks, bukan ditolak mentah-mentah karena kebencian atau fanatisme kelompok.

Namun, di tengah era digital saat ini, kita sering menjumpai masyarakat yang terjebak dalam budaya membenci tokoh, lalu menolak semua ucapannya. Ini tidak hanya bertentangan dengan adab Islam, tapi juga berbahaya secara intelektual. 

Jika suatu ide benar dan bermanfaat, seharusnya bisa diterima meskipun datang dari pihak yang berbeda pandangan atau keyakinan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah mengatakan, “Siapa pun yang mencari kebenaran, maka ia akan menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya.” Wallahu a’lam bis-showab

Sabtu, 05 Juli 2025

Berlaku Adil Bagi Seorang Pemimpin

 


Oleh Mujianto, M.Pd.

"Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."

(Surah Al-Ma'idah ayat 8)

 

Pada suatu waktu saya ditelepon oleh teman guru. Teman saya curhat berkenaan tentang sikap atasannya, baik kepala sekolah maupun yayasannya yang tidak menyukai dirinya. Ia tidak disukai bukan karena ia melanggar tata tertib atau tupoksi yang tidak dikerjakan, tetapi ia terlalu kritis dalam berpendapat. Ia menambahkan, bahwa pendapatnya dirasa bagus untuk kemajuan sekolah, ia pun menyampaikan dengan cara yang baik dan di forum yang tepat. Namun, bagi atasannya direspon berbeda. Ia dipandang sinis dan akhirnya tidak disukai, tentu dengan tanda kutip.

Saya yang mendengar keluhannya, berusaha mendalami, dan mencoba menjawab dari sisi tertentu, sisi sebagai guru sekaligus seorang karyawan atau bawahan. Kesabaran dalam menghadapi pemimpin yang tidak adil merupakan salah satu bentuk keteguhan hati dan kedewasaan spiritual yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Ketidakadilan yang dilakukan pemimpin bisa berupa perlakuan tidak setara, penyalahgunaan wewenang, atau keputusan yang merugikan bawahan tanpa alasan yang jelas. Kesabaran dalam konteks ini bukan berarti membiarkan kesalahan terus terjadi, tetapi merupakan kemampuan untuk menahan emosi, berpikir jernih, dan tidak bertindak reaktif. Islam memandang kesabaran sebagai salah satu bentuk kekuatan iman.

Kesabaran juga menjadi bekal penting agar seorang bawahan tetap fokus menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, tanpa terpengaruh oleh kekurangan pemimpinnya. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang dibenci oleh pemimpinnya karena kesalahan yang tidak diperbuatnya, maka Allah akan menjadi penolongnya selama ia bersabar.” Ini menunjukkan bahwa kesabaran dalam menghadapi ketidakadilan ataupun ketidakkompetenan seorang pemimpin memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah.

Keadilan dalam Konteks Kepemimpinan

Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu prinsip utama yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap individu, terlebih lagi oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin memikul amanah besar dalam mengatur urusan, menjaga hak-hak, dan menetapkan kebijakan yang memengaruhi kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, adil menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki pemimpin agar kekuasaan tidak menjadi alat kepentingan pribadi, melainkan sarana untuk menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

Keadilan dalam konteks kepemimpinan berarti memberikan hak kepada yang berhak tanpa memandang latar belakang, golongan, ataupun kepentingan pribadi. Islam menekankan bahwa pemimpin tidak boleh condong pada kelompok tertentu atau menzalimi pihak lain karena rasa suka maupun benci. Dalam Surah Al-Ma'idah ayat 8, Allah SWT berfirman: "Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." Ayat ini menjadi penegasan bahwa keadilan adalah wujud nyata dari ketakwaan dan integritas moral seorang pemimpin.

Rasulullah SAW. sendiri menjadi teladan utama dalam memimpin dengan adil. Dalam banyak peristiwa, beliau menunjukkan keadilan yang luar biasa, bahkan kepada musuh-musuhnya. Beliau tidak pernah membuat keputusan berdasarkan emosi pribadi, tetapi selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan prinsip kebenaran. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di sisi Allah di atas mimbar dari cahaya...” Ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya dihargai di dunia, tetapi juga diberi ganjaran tinggi di akhirat.

Berlaku adil adalah fondasi utama bagi kepemimpinan yang sukses dan diberkahi. Keadilan bukan hanya menjaga hak-hak bersama, tetapi juga mengangkat martabat kepemimpinan itu sendiri. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin bukan hanya bertanggung jawab di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT. Maka dari itu, pemimpin yang adil adalah mereka yang senantiasa takut akan hisab di akhirat dan menjadikan keadilan sebagai barometer dalam setiap keputusan yang diambil. Wallahu a’lam

Rabu, 04 Juni 2025

RAPAT KERJA TAHUNAN: MEMFASILITASI DISKUSI YANG KONTRUKTIF DAN MENEROPONG KUALITAS KINERJA TIM

 

Oleh Mujianto, M.Pd.

 

Rapat kerja tahunan (RKT) merupakan kegiatan penting yang rutin dilaksanakan oleh berbagai organisasi, baik pemerintah, maupun lembaga swasta. Rapat kerja tahunan (RKT) merupakan momen strategis yang tidak hanya bertujuan untuk menyusun rencana dan target di tahun mendatang, tetapi juga menjadi ruang evaluasi menyeluruh terhadap kinerja tim dalam periode atau setahun sebelumnya.

Melalui kegiatan tersebut, organisasi dapat memperkuat koordinasi internal, mengintegrasikan masukan lintas divisi, dan memastikan bahwa seluruh anggota tim memiliki pemahaman yang sama terhadap arah dan tujuan organisasi.

Dalam rapat kerja tahunan, para pimpinan dan anggota organisasi memiliki kesempatan untuk meninjau hasil kerja selama satu tahun terakhir. Kinerja tiap departemen dianalisis, tantangan yang dihadapi dibahas secara terbuka, dan pencapaian dirayakan. Diskusi ini penting agar semua pihak memahami posisi organisasi saat ini serta peluang dan ‘ancaman’ di masa mendatang.

Namun, tantangan terbesar dari rapat kerja sering kali terletak pada menjaga agar diskusi tidak hanya berhenti di tataran wacana. Diskusi yang berlarut tanpa arah atau tidak berujung pada keputusan konkret dapat melemahkan semangat perubahan. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin rapat untuk memastikan bahwa setiap ide yang muncul ditindaklanjuti dengan rencana aksi yang jelas dan terukur.

 

Diskusi Yang Kontruktif

Diskusi yang konstruktif merupakan elemen penting dalam pengambilan keputusan yang efektif, baik di lingkungan organisasi, pendidikan, maupun komunitas. Untuk menciptakan diskusi semacam ini, diperlukan fasilitator yang mampu menjaga alur pembicaraan tetap fokus dan sehat. Peran fasilitator bukan sekadar mengatur giliran bicara, tetapi juga menciptakan suasana yang inklusif dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang.

Langkah awal dalam memfasilitasi diskusi konstruktif adalah menetapkan tujuan yang jelas dan aturan main yang disepakati bersama. Dengan cara ini, peserta memahami batasan serta arah yang ingin dicapai. Fasilitator juga perlu aktif mendengarkan dan memastikan semua suara mendapat ruang, terutama dari peserta yang cenderung pasif atau kurang percaya diri untuk berbicara.

Selain itu, penting bagi fasilitator untuk menangani perbedaan pendapat secara bijak. Alih-alih menghindari konflik, perbedaan harus diposisikan sebagai peluang untuk memperkaya perspektif. Dengan mengarahkan diskusi pada solusi, bukan pada individu, maka potensi gesekan dapat diminimalkan tanpa mengorbankan dinamika pemikiran.

Dengan pendekatan yang tepat, diskusi tidak hanya menjadi ajang bertukar pendapat, tetapi juga sarana membangun pemahaman bersama. Diskusi yang difasilitasi dengan baik akan mendorong partisipasi aktif, memperkuat kolaborasi, dan menghasilkan keputusan yang lebih matang serta dapat diterima oleh semua pihak.

           

Meneropong Kualitas Kinerja Tim

Kinerja yang solid ditandai oleh kolaborasi yang efektif, komunikasi yang terbuka, serta kemampuan setiap anggota dalam menjalankan peran secara optimal. Oleh karena itu, evaluasi perlu mencakup aspek kuantitatif maupun kualitatif.

Salah satu cara untuk meneropong kinerja tim secara mendalam adalah melalui refleksi rutin dan tidak menunggu satu tahun kemudian di agenda rapat kerja selanjutnya. Dengan mengadakan evaluasi berkala, baik secara individu maupun kelompok, tim dapat mengidentifikasi hambatan, menyesuaikan strategi, dan memperkuat kerja sama. Transparansi dan kejujuran menjadi kunci agar proses evaluasi ini benar-benar bermanfaat, bukan sekadar formalitas.

            Lebih jauh lagi, kualitas kinerja tim juga ditentukan oleh budaya kerja yang dibangun bersama. Tim yang memiliki kepercayaan, saling menghargai, dan komitmen terhadap tujuan bersama cenderung lebih adaptif dan produktif. Dengan demikian, meneropong kinerja tim berarti juga melihat seberapa kuat fondasi nilai dan semangat kolektif yang menopang kerja mereka sehari-hari.

Senin, 02 Juni 2025

KEPENTINGAN

 

Oleh Mujianto, M.Pd.


Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!

(Ir. H. Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, th. 1901 - 1970)

 

Kita selalu berbicara soal prinsip, tapi berperilaku sesuai kepentingan.

(Walter Savage Landor, penyair dari Britania Raya th. 1775 - 1864)

 

Secara etimologi, kepentingan memiliki arti kepemilikan, keinginan, urusan, dan lain-lain. konsep kepentingan dalam analisa sosial menurut Swedberg mirip dengan Weber, kepentingan mendorong tindakan manusia tetapi elemen sosial (dalam Weber, agama) menentukan ekspresi dan arah tindakan apa yang akan diambil. Kepentingan dapat berbentuk materi atau ide.

Kepentingan pribadi dan kepentingan bersama adalah dua hal yang sering kali berjalan berdampingan, namun bisa bertentangan jika tidak dikelola dengan bijak.

Lembaga dibentuk untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan aturan dan etika yang disepakati. Membawa kepentingan pribadi ke dalam lembaga adalah tindakan yang dapat merusak integritas dan stabilitas organisasi. Ketika seseorang memanfaatkan posisi atau wewenangnya untuk keuntungan pribadi, baik dalam bentuk materi, jabatan, maupun pengaruh, maka keputusan yang diambil cenderung tidak objektif dan mengabaikan nilai-nilai profesionalisme. Hal ini bisa menyebabkan ketidakadilan, menurunkan kepercayaan rekan kerja, serta menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan penuh konflik.

Oleh karena itu, semua anggotanya wajib mengedepankan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi. Komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas, dan kerja sama adalah kunci untuk menjaga kredibilitas lembaga. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan sistem, memicu ketidakpercayaan anggota, dan bahkan merusak reputasi lembaga atau komunitas tempat individu tersebut berada.

Mengedepankan kepentingan umum adalah salah satu bentuk nilai luhur Pancasila yang sangat penting untuk dapat dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ukuran mengedepankan kepentingan umum berkaitan erat dengan kemaslahatan bersama, tujuan bersama dan bernilai kemanusiaan.

Dalam praktiknya, menjaga kepentingan lembaga berarti tidak melakukan tindakan yang merugikan nama baik atau kestabilan organisasi, seperti menyalahgunakan wewenang,

 

Pemimpin Bijaksana: Menyatukan Kepentingan Pribadi dan Kepentingan Bersama dalam Satu Nilai Etis

Seorang pemimpin yang bijaksana tidak hanya dituntut untuk memiliki visi dan kemampuan manajerial, tetapi juga kepekaan etis dalam menyeimbangkan kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Kepemimpinan bukan sekadar posisi strategis untuk meraih pengaruh atau keuntungan pribadi, melainkan amanah besar yang harus dijalankan demi kesejahteraan banyak orang.

Ketika seorang pemimpin lebih mengutamakan keuntungan pribadi, baik dalam bentuk kekuasaan, maupun citra, ia cenderung menyalahgunakan kewenangannya. Sebaliknya, pemimpin yang menomorsatukan kepentingan umum menunjukkan integritas moral, karena ia sadar bahwa kepemimpinan sejati adalah pengabdian, bukan privilese (hak yang bersifat istimewa).

Kepentingan pribadi tidak harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Pemimpin yang bijaksana justru mampu menyelaraskan aspirasi pribadinya, seperti keinginan untuk dikenal sebagai pemimpin sukses dengan pencapaian tujuan kolektif, atau tujuan bersama. Dalam hal ini, etika menjadi fondasi yang mengarahkan ambisi pribadi agar tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial. Pemimpin yang memiliki cita-cita besar, tetapi tidak melupakan hak dan kebutuhan rakyat, akan menciptakan warisan kepemimpinan yang tidak hanya kuat secara politis, tetapi juga luhur secara moral.

Dengan demikian, kepemimpinan yang etis adalah kepemimpinan yang mampu menjembatani kepentingan pribadi dan umum dalam satu kesatuan nilai. Pemimpin yang bijaksana tahu kapan harus mengalah atas nama kebaikan bersama, namun juga tahu kapan harus tegas dalam menjaga prinsip. Ia bukan hanya bertindak berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasarkan nurani. Dalam dunia yang penuh godaan akan kekuasaan dan keuntungan pribadi, sosok seperti inilah yang mampu menjaga kepercayaan publik dan menjadi teladan moral bagi generasi yang akan datang.


Minggu, 25 Mei 2025

Karya Buku

 

Karya Buku

Antologi

Kumpulan Artikel 

“Waktu Tak Akan Kembali”


Kumpulan Artikel 

“Jejak-Jejak Para Tokoh”

 

Kumpulan Artikel 

“Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Masa Depan”

 


 

Kumpulan Cerpen 

“Mendidik dengan Cinta Berbuah Bahagia”


Kumpulan Puisi 

“Tujuh Hari dalam Giat Puisi



Karya Solo

“Dirimu Adalah Masa Depanmu”



Kamis, 22 Mei 2025

Profil Kang Muji


Nama                             : Mujianto, M.Pd.

Tempat, tanggal lahir       : Gresik, 8 Juni 1986

Alamat                           : Jl. Kolonel Sugiono no.36, Wedoro Timpian, Waru Sidoarjo

No. WA.                        : 085649217891

Jenis kelamin                  : laki-laki

Agama                           : Islam

Status                             : Menikah

Pendidikan terkhir           : S2/tahun 2019

 

Pendidikan Formal:

  1. S2 Pendidikan Agama Islam, Universitas Sunan Giri lulus tahun 2019
  2. S1 Pendidikan Agama Islam, STAI Taswirul Afkar lulus tahun 2014
  3. S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unesa 2006-2009
  4. SMA Assa’adah, Bungah, Gresik lulus tahun 2005
  5. SMP NU-1 Gresik lulus tahun 2002
  6. MI Da’watul Khoiriyyah lulus tahun 1999

 

Pendidikan Pesantren dan Pelatihan:

1. Pesantren Al-Ishlah Bungah, Gresik

2. Sertifikasi Public Speaking dengan gelar C.Ps. dari Lembaga Action Training Indonesia

 3. Sertifikasi Motivator dengan gelar non akademik C.Mt. dari Lembaga Action Training Indonesia

4. Pelatihan Menulis Artikel di Rumah Menulis Alqalam

5. Pelatihan Menulis Artikel dan Esai di WR. Academy Angkatan 10

Prestasi:

1. Juara 1 Lomba menulis Artikel Opini Tema Kurikulum 2013, Yayasan AL Muslim Jatim

 2. Juara 2 Lomba menulis Cerita Inspiratif Ramadan Bersama Al-Qur’an, Yayasan Cinta Al-Qur’an Ar-Rasyid, Jakarta, th. 2021.

3. Juara favorit 1 Lomba Penulisan Blog, KKG PAI Surabaya th. 2021.

4. Juara 3 Lomba Pembelajaran Daring KKG PAI Sukolilo th. 2022

Pengalaman Mengajar :

  1. Guru al-Qur’an di TPQ al-Karomah Wiyung Surabaya th. 2006-2014
  2. Guru al-Qur’an di yayasan Al- Muslim Sidoarjo th. 2010-2012
  3. Koordinator al-Qur’an di SMP-SMA Al Muslim Sidoarjo th. 2013-2015
  4. Koordinator al-Qur’an di SD Islam Raden Patah Surabaya th. 2019-2024
  5. Guru PAI di SD Islam Raden Patah Surabaya th. 2016-sekarang

Rabu, 21 Mei 2025

KEMATANGAN EMOSI

 



Oleh Mujianto, M.Pd.

 

“Dan sesungguhnya, Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”

(QS. An Najm : 43)

 

Emosi adalah inti dari pengalaman manusia yang paling mendasar, berperan sebagai jembatan antara pikiran, tubuh, dan lingkungan sosial. Setiap emosi mengandung informasi penting yang membantu individu menafsirkan situasi dan membuat keputusan yang adaptif. Misalnya, rasa cemas bisa menjadi sinyal akan adanya ancaman yang perlu diantisipasi, sementara rasa bahagia bisa menjadi petanda Tindakan seseorang diterima oleh orang di sekitarnya atau ia sedang menerima sesuatu yang disenangi.

Emosi bukanlah sesuatu yang statis atau tunggal, ia sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, budaya, dan konteks sosial. Cara seseorang mengekspresikan atau mengelola emosi sering kali mencerminkan nilai-nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.

 

Kematangan Emosi Tidak Berbanding Lurus dengan Tingkatan Usia

Kematangan emosi sering kali dikaitkan dengan usia. Semakin tua seseorang, semakin bijak ia dianggap. Namun kenyataannya, usia tidak selalu berjalan seiring dengan kedewasaan emosional. Ada orang muda yang mampu bersikap tenang dan dewasa menghadapi konflik, sementara ada pula yang sudah berumur namun masih reaktif dan egois. Ini membuktikan bahwa kematangan emosi bisa dicapai lebih cepat, asalkan seseorang secara sadar mau belajar dan mengembangkan dirinya.

Menurut Elizabeth Bergner Hurlock dalam buku Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, kematangan emosi adalah hasil dari proses perkembangan yang ditandai dengan kemampuan untuk bertindak secara realistis, stabil secara emosional, serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fleksibel.

Kunci utama dalam mempercepat kematangan emosi adalah kesadaran diri (self-awareness). Seseorang yang mau mengenali pola pikir dan perasaan pribadinya lebih terbuka terhadap refleksi dan perubahan. Ini bisa dimulai dari hal sederhana seperti mencatat emosi harian, menyadari reaksi terhadap stres, hingga bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang bisa saya pelajari dari situasi ini?” Kesadaran ini membuat seseorang lebih mampu mengelola emosinya secara dewasa, meskipun usianya masih muda.

Kematangan emosi bukan hasil dari jumlah berapa kali ulang tahun yang dirayakan, tapi dari kesediaan untuk terus belajar, berintrospeksi, dan membuka diri terhadap pengalaman hidup. Kita tidak harus menunggu tua untuk menjadi dewasa secara emosional.

Lingkungan juga berperan penting. Mereka yang tumbuh dalam keluarga atau komunitas yang mendukung komunikasi terbuka, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk belajar dari kesalahan, cenderung lebih cepat berkembang secara emosional. Di sisi lain, pengalaman sulit seperti menghadapi kegagalan, konflik, atau kehilangan, bila direspon dengan sikap terbuka dan reflektif, juga bisa menjadi pemicu percepatan kematangan emosi. Pengalaman-pengalaman ini memperkaya sudut pandang dan melatih ketahanan batin.

 

Melihat Masalah dari Sudut Pandang yang Beragam

Anak muda yang mudah berempati dan terbiasa melihat dunia dari sudut pandang orang lain akan lebih mudah mengembangkan sensitivitas sosial. Ini memperkaya interaksi dan menjauhkan dari sikap egois. Latihan empati bisa dilakukan melalui membaca, berdiskusi, terlibat dalam kegiatan sosial, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi. Semakin luas pengalaman sosial yang dimiliki, semakin cepat pula seseorang bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang secara emosional.

Membangun kematangan emosi juga menuntut kemampuan untuk mengelola masalah yng datang dan menunda kepuasan. Dalam era digital yang serba instan, kemampuan ini menjadi sebuah kelebihan tersendiri. Melatih disiplin diri, seperti menahan emosi saat marah atau memilih kata-kata dengan hati-hati saat berdiskusi, seseorang mulai membentuk kontrol diri yang kuat. Inilah fondasi dari kedewasaan emosional: bertindak bukan karena emosi sesaat, tapi karena kesadaran nilai dan tujuan jangka panjang.

Siapa pun, secepat mungkin bisa tumbuh lebih dewasa dan matang secara emosional. Melangkah lebih tenang, bijak, dan terkendali, demi membangun hubungan yang lebih sehat dan hidup yang lebih bermakna. Wallahu a’lam