Oleh Mujianto, M.Pd.
Sering saya temui seorang
guru dengan kesederhanaannya. Kondisi keuangannya yang tidak berlebih, ternyata mampu mengantarkan
anaknya menempuh pendidikan tinggi, bahkan perguruan tinggi favorit di luar
negeri.
Salah satunya, adalah tetangga
saya, seorang guru agama di MI. Katakanlah nama beliau pak Solichin (nama
disamarkan), dua anak beliau mendapatkan beasiswa kuliah di al-Azhar Kairo,
Mesir. Menurut saya, itu hal yang luar biasa. Luar biasanya, beliau sudah
disibukkan dengan tugas mengajarnya, mengurusi murid-murid di sekolah, lalu kapan ada
waktu untuk anaknya sendiri di rumah, saat di pendidikan dasar dulu? Walaupun, di pendidikan menengah, anak beliau masuk pesantren. Amalan apa yang bisa membuat
si anak dimudahkan oleh Allah dalam menempuh pendidikannya?
Ada rasa ingin tahu pada
diri ini. Apa ikhtiar beliau? Tentu ada rahasia yang luar biasa, yang
menjadi pembeda dengan orang tua lainnya, khususnya orang tua yang profesinya
menjadi seorang guru, yang ingin menjadikan anaknya sukses dunia dan akhiratnya. Padahal, tidak ada cukup waktu untuk menemani anaknya.
Seorang guru adalah
pelita bagi murid-muridnya, namun ia juga seorang ayah atau ibu bagi
anak-anaknya sendiri. Dalam keseharian, guru menghabiskan banyak waktu, tenaga,
dan pikiran untuk mengajarkan ilmu kepada anak orang lain.
Di balik peran
profesional itu, tersimpan harapan dan doa yang dalam, agar ilmu yang
ditanamkan kepada murid juga berbuah kebaikan bagi anak kandungnya, anaknya
sendiri. Inilah bentuk ikhtiar yang luhur, menjadikan profesi sebagai ladang
doa, dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh, sebagai jalan keberkahan bagi keluarga.
Dalam pandangan
spiritual, setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas akan kembali kepada
pelakunya dalam bentuk kebaikan yang tak selalu disangka. Ketika seorang guru
bersungguh-sungguh membimbing murid hingga mereka paham, tumbuh, dan berhasil,
sesungguhnya ia sedang menanam benih yang bisa tumbuh di tempat lain, termasuk
dalam kehidupan anaknya sendiri.
Islam mengajarkan bahwa
siapa yang memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya. Maka
ketika seorang guru memudahkan jalan ilmu bagi murid, itu bisa menjadi sebab
Allah memudahkan jalan ilmu bagi anaknya.
Tak sedikit guru yang
saat mengajar muridnya, diam-diam menyelipkan doa dalam hatinya, “Ya Allah,
seperti aku ingin anak ini paham, semoga Engkau juga memahamkan anakku di
tempat lain.” Doa seperti ini, meski tak terdengar oleh murid, adalah bentuk zikir
yang tinggi nilainya.
Seorang guru bukan hanya
pengajar di kelas, tetapi juga seorang pendidik yang menanam nilai-nilai
kehidupan. Dalam peran gandanya sebagai guru dan orang tua, ada sebuah ikhtiar
mulia yang kerap luput disadari.
Bahwa dengan mencerdaskan
murid, sesungguhnya seorang guru sedang membuka jalan kecerdasan bagi anaknya
sendiri. Ini adalah bentuk amal yang berbalik manfaatnya, saat seorang guru
bersungguh-sungguh mencerdaskan anak orang lain, Allah akan mencerdaskan
anaknya lewat jalan-jalan yang tak selalu kasatmata.
Namun sebaliknya, jika
seorang guru mengajar dengan setengah hati, abai terhadap murid, dan tidak
sungguh-sungguh, maka ikhtiar kebaikan itu pun terhenti. Ia tidak hanya
menyia-nyiakan amanah profesinya, tetapi juga menutup jalan keberkahan yang
bisa kembali kepada keluarganya. Guru yang bersikap demikian, bisa berimbas ke
anaknya sendiri. Seringkali, anaknya mengalami tantangan yang tak kecil dalam
belajar, tidak karena mereka bodoh, tetapi karena keberkahan itu tak mengalir
sebagaimana mestinya. Ini bukan hukuman, tetapi teguran halus bahwa kebaikan
harus dimulai dari diri sendiri.
Guru yang jujur, sabar,
dan ikhlas dalam mengajar, sedang membuka jalan luas bagi anak-anaknya untuk
tumbuh dalam cahaya ilmu dan nilai. Dan siapa yang menanam cahaya, takkan
pernah hidup dalam gelap karena kebaikan selalu menemukan jalannya untuk
kembali kepada pemiliknya. Wallahu a’lam bis-shawab.